Subsidi BBM dan Keadilan Ekonomi

Rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi kembali menuai perdebatan. Setiap kali subsidi BBM membengkak dan beban APBN tak tertahankan, setiap kali itu pula energi bangsa ini terkuras.
Masalah subsidi BBM harus diurai dari sisi “hulu”-nya, yaitu ketidakmandirian dan inefisiensi pengelolaan sektor minyak dan gas bumi (migas). Pasal 33 UUD 1945 secara jelas mengamanatkan bahwa sumber daya strategis bangsa dikuasai oleh negara, agar dikelola secara profesional dan berkelanjutan, dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Untuk sektor migas, hal ini semakin relevan mengingat kedudukannya yang sangat penting sebagai sumber energi utama yang hingga kini belum tergantikan dan sifatnya yang tidak dapat diperbaharui.
Di tingkat global, kini terjadi kecenderungan meningkatnya nasionalisme energi, khususnya oleh kekuatan ekonomi dunia seperti Amerika Serikat, China, Jepang, India, Rusia dan Korea yang kini secara ketat berkompetisi untuk mengamankan pasokan energi mereka dengan berupaya menjadi investor utama di berbagai negara berkembang penghasil energi dan sumber daya. Menjadi ironis jika Indonesia justru mengobral sumber energi strategis-nya yang terbatas, yang diperkirakan akan habis sekitar 11 tahun ke depan jika tidak ditemukan cadangan baru, menjualnya dengan harga murah, dan membiarkannya dikuasai asing bahkan dengan mengorbankan kepentingan nasional.
Ke depan, dibutuhkan reformasi terhadap pengelolaan sektor migas nasional. Indonesia sejak awal menganut pola production sharing contract (PSC) untuk mengelola migas nasional dengan alasan utama keterbatasan teknologi dan modal, serta tingginya resiko, dengan pola bagi hasil kini sekitar 85%: 15% untuk minyak dan 70%: 30% untuk gas. Kelemahan utama pola PSC ini adalah rendahnya learning process dari entitas bisnis nasional untuk mengelola migas nasional secara mandiri. Kita telah mengelola migas sejak 1957, namun hingga kini pemain besar nasional hanya Pertamina, dan segelintir swasta seperti Medco dan Energi Mega Persada. Itupun masih menjadi pemain marjinal di negeri sendiri. Pola PSC dengan cost-recovery juga rentan dengan mark-up dan korupsi, biaya produksi cenderung tidak terkontrol.
Pola alternatif yang menarik adalah pola kepemilikan (ownership). Dalam pola ini pihak asing yang ingin mengelola migas nasional harus mau melepas kepemilikan saham mayoritas-nya ke pemerintah, menjadi perusahaan joint-venture, sehingga pemerintah sebagai pemegang saham pengendali dapat efektif mengontrol dan mengendalikan perusahaan. Dengan pola ini, learning process, termasuk transfer teknologi, dapat terjadi lebih cepat dan biaya produksi dapat dikontrol secara efektif.
Reformasi sektor migas mendesak dilakukan mengingat produksi migas nasional yang terus stagnan dalam satu dekade terakhir di tengah biaya produksi (cost recovery) yang terus meningkat, yang kini telah menembus puluhan miliar dollar per tahun. Indonesia kini telah menjadi net oil importer, bahkan secara permanen. Produksi yang terus menurun inipun sebagian besar, sekitar 75%, didominasi operator asing. Indonesia juga tidak cukup memiliki kilang minyak sehingga tidak mampu mengolah produksi migas nasional secara mandiri. Implikasinya, ketergantungan terhadap impor migas menjadi sangat tinggi, mengancam ketahanan energi nasional, menguras cadangan devisa serta menimbulkan kerawanan terhadap neraca pembayaran dan stabilitas kurs mata uang. Rupiah kini telah menembus titik psikologis Rp 10.000,- per US$.
Sementara itu disisi “hilir”, permasalahan banyak terletak pada buruknya desain program kompensasi dan lemahnya affirmative policy. Subsidi bukanlah sesuatu yang tabu dalam ekonomi. Untuk Indonesia, subsidi bahkan harus dilakukan untuk mereka yang tidak mampu, sesuai Pasal 34 UUD 1945. Yang menjadi isu disini adalah desain subsidi agar efektif dan tepat sasaran. Secara teoritis, desain subsidi terbaik adalah subsidi yang diarahkan dan tepat diterima oleh mereka yang berhak (targeted subsidy).
Namun, implementasi setiap targeted-subsidy program membutuhkan basis data yang akurat dan selalu di update. Tanpa hal ini, subsidi akan menghadapi masalah kebocoran yang masif karena tingkat kesalahan penerima (inclusion error ataupun exclusion error) yang tinggi. Permasalahan berikutnya terkait dengan bentuk program. Targeted subsidy yang mengambil bentuk program bantuan tunai, baik unconditional cash transfer seperti BLT, maupun conditional cash transfer seperti PKH, menyimpan banyak masalah, karena rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik, rawan korupsi, dan menimbulkan dampak negatif terhadap social capital masyarakat.
Terkait kesulitan yang dihadapi tentang basis data inilah kemudian muncul subsidi atas komoditas yang dipandang penting bagi masyarakat (commodity subsidies) seperti BBM. Kelemahan utama subsidi komoditas ini adalah pengguna komoditas yang disubsidi tidak dapat dibatasi. Targeting subsidi untuk BBM, agar tepat sasaran, sulit dilakukan karena adanya kemudahan transportasi dan distribusi membuat pengalihan penggunaan dan penjualan di pasar gelap hampir tidak mungkin dihalangi. Terlebih lagi dengan wilayah geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari kepulauan yang dipisahkan oleh lautan.
Subsidi BBM semakin tidak tepat sasaran ketika disparitas harga BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi semakin lebar. Semakin lebar disparitas harga, semakin besar insentif untuk penyalahgunaan BBM bersubsidi. Pengguna premium terbesar, sekitar 55%, tercatat adalah kendaraan roda empat pribadi yang merupakan kelompok menengah-atas. Ketidaktepatan sasaran subsidi BBM juga terjadi dalam dimensi regional dimana BBM bersubsidi sekitar 60%-nya habis di Jawa-Bali saja.
Untuk Indonesia dimana basis data kemiskinan lemah, program subsidi yang menentukan sendiri penerimanya (self-targeted subsidiy) seperti beras raskin, BOS, hingga subsidi kereta api kelas ekonomi, akan jauh lebih tepat sasaran dan terhindar dari masalah targeting. Karena itu, terlepas dari kondisi defisit APBN, subsidi BBM sudah selayaknya dicabut, namun tentu dilakukan secara bertahap, disertai pemberian kompensasi bagi masyarakat miskin, dan pemilihan timing yang tepat.
Selain program kompensasi yang tepat, bukan dalam bentuk cash transfer seperti BLSM, pemerintah seharusnya juga melakukan berbagai affirmative policy, yaitu membangun mass rapid transportation yang handal, dapat dibangun dalam waktu cepat dan dalam cara yang berkeadilan, yaitu pembangunan Bus Rapid Transport (BRT) dan kereta api, baik komuter maupun lintas provinsi, khususnya untuk daerah perkotaan di Jawa dan Sumatera seperti Jabodetabek, Bandung, Surabaya dan Medan.
Saatnya kini subsidi BBM dilepaskan dari politik. Melanjutkan subsidi BBM membuat berbagai distorsi dalam perekonomian semakin tak terkendali, khususnya konsumsi BBM dari kendaraan bermotor pribadi dan penyelundupan. Subsidi BBM didominasi oleh bensin premium, yang 97% distribusi-nya disalurkan melalui SPBU. Kemacetan di berbagai kota besar akan semakin meningkat menuju kemacetan total (grid-lock).
Ironisnya, pemerintah memfasilitasi hal ini dengan terus membiarkan transportasi massal dalam kondisi buruk, sehingga penjualan kendaraan bermotor pribadi terus melonjak. Fokus pembangunan infrastruktur transportasi juga sangat berorientasi pada jalan dan kendaraan pribadi, khususnya pembangunan jalan tol, termasuk jalan tol dalam kota. Rencana pembangunan jalan tol Trans-Jawa dan Trans-Sumatera, serta kini Jembatan Selat Sunda (JSS), merupakan contoh nyata dari buruknya affirmative policy. Dan preseden terburuk adalah kasus penurunan harga BBM tahun 2008 untuk pencitraan Pemilu 2009 setelah perekonomian menerima kenaikan harga BBM tahun 2005 sebagai ekuilibrium baru. Bila kemudian resistensi terhadap pencabutan subsidi BBM sangat kuat, sebaiknya pemerintah banyak berkaca sebelum mengeluh dan menyalahkan pihak lain.

Yusuf Wibisono, “Subsidi dan Keadilan Ekonomi”, Republika, 18 Juni 2013.