Hiruk pikuk hak angket century berpuncak pekan lalu pada pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR dimana empat fraksi secara lugas menyebut Boediono dan Sri Mulyani sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kasus Bank Century. Disebutnya dua pejabat publik kunci ini dengan segera menaikkan eskalasi politik nasional. Fraksi Hanura bahkan secara terbuka telah meminta agar Wapres Boediono dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Arah bola liar angket century ini akan ditentukan pada rapat paripurna DPR 2-3 Maret 2010 mendatang.
Berbeda dengan agenda politik angket century yang sangat gaduh karena melibatkan kepentingan pragmatis jangka pendek berbagai kekuatan politik, agenda ekonomi angket century seolah terpinggirkan dan tidak mendapat perhatian yang memadai. Padahal, tuntasnya agenda ekonomi yang umumnya bersifat sistemik inilah, yang akan menjamin bahwa skandal serupa tidak akan terulang lagi di masa depan.
Belajar dari Skandal Century
Terdapat beberapa pelajaran penting dari skandal bank century. Pertama, lemahnya dan rawannya pengawasan perbankan oleh BI. Skandal Bank Century telah dimulai bahkan sejak bank ini belum berdiri yaitu sejak tahun 2000-an dimana Bank CIC yang kemudian bertransformasi menjadi Bank Century mendapatkan berbagai kelonggaran secara signifikan dan masif hingga tahun 2008. BI sebenarnya telah banyak belajar dari krisis 1997 yang telah meluluhlantakkan sistem perbankan nasional dan memicu gelombang bailout massal, namun skandal century ini menjadi saksi bahwa pengawasan perbankan pasca krisis 1997 masih menyimpan kelemahan mendasar dan akan terus rawan penyelewengan selama tidak terdapat mekanisme check and balances yang memadai.
Independensi BI berdasarkan UU No. 23/1999 yang semula ditujukan untuk meningkatkan kredibilitas BI dan mencegah terulangnya krisis, kini justru telah memicu krisis lainnya. Bank Century sejak awal hanya dapat bertahan dan sekian lama melakukan kejahatan perbankan hanya karena mendapat keistimewaan dari otoritas pengawas. Lemahnya pengawasan perbankan oleh BI, nampak lebih disebabkan oleh kelemahan pejabat-nya dibandingkan kelemahan sistem-nya. Moral hazard mendorong pejabat BI terkait menutup-nutupi kebusukan Bank Century agar tidak meledak di masa jabatannya, seraya berharap masalah akan terurai seiring waktu. Yang terjadi kemudian, BI memelihara api dalam sekam. Hal ini diperparah oleh kedekatan yang mengarah pada indikasi korupsi antara pemilik bank dan pejabat BI terkait, bahkan hingga ke tingkat Dewan Gubernur.
Kelemahan pengawasan ini bahkan berlanjut setelah Bank Century ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus (SSU) pada 6 November 2008 dan menerima FPJP. On-site supervisory presence BI sebenarnya mampu mendeteksi bahwa sebelum 14 November 2008 CAR Bank Century telah anjlok menjadi -3,53% sehingga tidak layak menerima FPJP baik berdasarkan ketentuan CAR minimal 8% maupun CAR positif, namun FPJP Rp 689 milyar tetap diberikan. Pengawasan BI di masa SSU ini juga tidak mampu mencegah pembayaran dana kepada pihak terkait setelah FPJP diberikan.
Puncak kelemahan pengawasan BI adalah kegagalan menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu dalam bailout oleh KSSK. Ketika membawa Bank Century ke KSSK pada 20 November 2008 BI masih menggunakan CAR Bank Century -3,53% dengan kebutuhan bailout yang diminimalkan Rp 632 milyar, padahal berdasarkan ketentuan PPAP (pengakuan kerugian) yang sebenarnya per 31 Oktober 2008 CAR Bank Century adalah -256,1% dengan kebutuhan bailout Rp 4,2 trilyun. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas SSB macet yang mengakibatkan penurunan ekuitas, setelah Bank Century diambil alih LPS pada 21 November 2008 sehingga terjadi pembengkakan biaya bailout dari Rp 632 milyar menjadi Rp 6,7 trilyun. Skandal pembengkakan biaya bailout ini baru terungkap ke publik pada 27 Agustus 2009 dalam RDP Komisi XI DPR yang akhirnya menggelinding menjadi bola liar angket century.
Kedua, tidak sehatnya operasional bank dan minimnya kontribusi bank dalam intermediasi keuangan. Bank Century minim berinteraksi dengan sektor riil, namun sangat ekstensif dalam berinteraksi dengan sektor keuangan secara tidak prudent dan manipulatif, yang berujung pada kerugian bank.
Praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran oleh pemegang saham pengendali, pengurus bank dan pihak terkait telah merugikan Bank Century sekurang-kurangnya Rp 5,87 trilyun yang kemudian akhirnya ditutup dengan dana PMS dari LPS. Kejahatan perbankan yang terkait dengan Rafat Ali Rizvi dan Hesyam al-Warraq menyebabkan kerugian Bank Century senilai Rp 3,11 trilyun, antara lain: kerugian surat-surat berharga Rp 581,3 milyar, kerugian transaksi asset exchange agreement Rp 753,9 milyar, dan kerugian transaksi asset management agreement Rp 1,78 trilyun. Sedangkan kejahatan perbankan yang terkait dengan Robert Tantular menyebabkan kerugian Bank Century Rp 2,75 trilyun, antara lain: kewajiban reksadana PT Antaboga kepada nasabahnya Rp 1,45 trilyun, kredit macet kepada kroni Rp 453,9 milyar, kerugian L/C macet kepada kroni Rp 1,87 trilyun, biaya fiktif Rp 211 milyar, dan penggelapan bank notes Rp 196 milyar.
Ketiga, mekanisme pencegahan dan penanganan krisis keuangan yang belum sempurna. KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan lebih didasarkan pada pertimbangan aspek psikologis, kriteria yang tidak terukur dan karenanya menjadi debatable, nyaris tak berujung pangkal. Proses bailout oleh KSSK juga dilakukan tanpa melalui assessment yang memadai terhadap Bank Century dan sepenuhnya menggantungkan diri pada data BI. Padahal KSSK telah mengikuti perkembangan kasus Bank Century sejak rapat tanggal 14, 17, 18 dan 19 November 2008. LPS juga mengambil alih Bank Century tanpa melakukan perhitungan perkiraan biaya penyelamatan. Akibatnya, LPS tidak bisa memperkirakan exposure yang dihadapinya dan sepenuhnya menggantungkan diri pada perhitungan BI.
Agenda Sistemik ke Depan
Reformasi terpenting ke depan adalah reformasi dalam bidang pengawasan perbankan. Pilihan kebijakan yang tersedia adalah mempertahankan fungsi pengawasan perbankan di BI, namun dengan upaya perbaikan yang signifikan atau memisahkan kewenangan pengawasan perbankan dari BI, yaitu dengan membentuk OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Dengan sentimen negatif terhadap BI yang sedermikian besar saat ini, amat sulit menahan laju wacana pembentukan OJK dimana RUU OJK kini telah masuk dan siap dibahas di parlemen. Namun pilihan ini memiliki konsekuensi biaya koordinasi yang lebih mahal dan sulit antara otoritas moneter (BI) dan otoritas perbankan (OJK) sehingga berpotensi menurunkan kinerja BI dalam pengelolaan moneter dan nilai tukar. Salah satu pilihan yang tersedia adalah menetapkan OJK sebagai lembaga ad-hoc yang selama masa tugasnya berkewajiban melakukan koordinasi yang intensif dengan BI.
Reformasi lain yang dibutuhkan adalah reformasi untuk pemberantasan kejahatan perbankan dan keuangan yang lebih efektif. Kejahatan perbankan dan keuangan telah banyak merugikan negara dalam skala yang sangat signifikan. Kejahatan ini umumnya bersifat lintas batas antara sektor perbankan, asuransi, pasar modal, pasar uang dan pajak. Namun penanganan tindak pidana di sektor perbankan dan keuangan ini seringkali terkendala oleh kelemahan dalam kerangka regulasi dan institusional seperti ketidakharmonisan antara UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU PPATK dan UU Perpajakan. Dibutuhkan langkah progresif seperti mendorong “RUU Pemberantasan Tindak Pidana Kejahatan Perbankan dan Keuangan” yang diharapkan dapat menjadi extra-ordinary effort dalam pemberantasan tindak pidana perbankan dan keuangan atau bahkan dapat menjadi dasar pendirian lembaga “super-body” atau unit khusus di KPK yang memiliki kewenangan penyidikan sekaligus penuntutan untuk kejahatan perbankan dan keuangan.
Dibutuhkan juga perbaikan UU Perbankan dan UU BI untuk memperkuat ketentuan kehati-hatian perbankan. Salah satu langkah progresif disini adalah pembatasan kegiatan perbankan di sektor keuangan yang bersifat spekulatif dan beresiko tinggi. Perbankan harus bergeser dari financial-based institution menjadi real sector-based institution. Terkait hal ini, pengembangan perbankan syariah menjadi hal yang relevan dan signifikan dalam mempromosikan stabilitas sektor keuangan.
Sedangkan terkait pencegahan dan penanganan krisis, dibutuhkan harmonisasi antara RUU JPSK, UU LPS dan UU BI. Selain membutuhkan kecepatan, pencegahan dan penanganan krisis juga membutuhkan validitas dan presisi baik dari sisi hukum maupun ekonomi. Kisruh mekanisme pengalihan bank gagal berdampak sistemik dari KSSK ke LPS dan peran Komite Koordinasi misalnya, terjadi karena Perppu JPSK dan UU LPS tidak sejalan. Mekanisme penetapan bank gagal berdampak sistemik juga harus diperjelas secara rinci dan prudent tanpa mengorbankan kecepatan. RUU JPSK juga harus dilengkapi dengan ketentuan good governance untuk transparansi dan kredibilitas pembuatan kebijakan.
Yusuf Wibisono, “Agenda Ekonomi Sistemik Hak Angket Bank Century”, Koran Tempo, 3 Maret 2010.