Kredit, Krisis dan Reformasi Sistem Perbankan

Bail-out Bank Century senilai Rp 6,7 trilyun menuai kontroversi. Potensi krisis perbankan sistemik dan trauma gelombang kebangkrutan perbankan nasional pasca krisis finansial 1997, menjadi alasan utama mengapa bank gagal ini diselamatkan. Namun moral hazard pemilik bank kecil ini hingga skenario penyelamatan deposan besar, berbaur menyelimuti skandal ini.
Terlepas dari perdebatan seputar bail-out Bank Century ini, kasus ini kembali membuktikan kerawanan sistem perbankan konvensional. Dalam sistem fractional-reserve banking, hanya diperlukan rasio cadangan tunai yang kecil saja agar bank dapat beroperasi secara aman. Secara natural kemudian, sistem ini rawan dengan penarikan besar-besaran oleh para deposan. Namun sistem ini disukai karena memungkinkan ekspansi moneter secara signifikan melalui penciptaan kredit yang akan mendorong pertumbuhan dan pada saat yang sama sektor perbankan mendapatkan keuntungan dengan mengenakan bunga pada uang yang mereka ciptakan (kredit).
Ketika bank menciptakan aset uang, bank juga menciptakan utang untuk nasabah peminjam-nya. Pada akhir proses ini, perekonomian menjadi lebih likuid namun sebenarnya tidak ada penambahan kesejahteraan secara riil. Sistem ini bertanggungjawab atas gelembung perekonomian melalui efek leverage.
Pinjaman bank yang didapat berdasarkan agunan seringkali digunakan untuk membeli aset, yang kemudian, aset tersebut digunakan lagi untuk proses peminjaman berikutnya. Ketika suatu jenis aset menjadi fokus dari piramida proses penjaminan dan peminjaman dana perbankan, harga aset tersebut cenderung meningkat sehingga membuat nilai jaminan meningkat dan karenanya menimbulkan kepercayaan peminjam (perbankan) untuk meminjamkan dana lebih besar lagi. Dalam skala yang luas, praktek ini dengan sangat cepat akan berkembang menjadi sebuah “gelembung ekonomi spekulatif” (El-Diwany, 2003).
Kegiatan ekonomi berbasis efek leverage yang spekulatif ini sering berakhir dengan kerugian massal. Kenaikan harga aset akan mendorong otoritas moneter menaikkan suku bunga, sehingga sebagian peminjam akan gagal bayar, kredit ke kegiatan spekulatif ini dihentikan, pembeli baru menurun dan kenaikan harga aset berakhir. Hal inilah yang terjadi dalam kasus krisis finansial global 2008 yang dipicu oleh bubble di sektor perumahan Amerika Serikat.
Di masa resesi 2001, investasi perumahan AS meningkat, yang dipicu oleh penurunan suku bunga mortgage yang paling rendah dalam sejarah AS dalam 30 tahun terakhir. Berakhirnya roaring nineties membuat the Fed berusaha mencari sumber pertumbuhan baru. Investasi perumahan menjadi pilihan. Kombinasi penurunan suku bunga secara agresif dan kebijakan kredit perbankan yang ekspansif, telah mendorong bubble di sektor perumahan AS. Di tahun 2006, investasi perumahan mengalami penurunan seiring kenaikan suku bunga. Pada Juli 2007, gelembung ini pecah, sebagian besar nasabah mengalami gagal bayar. Harga perumahan di AS turun hingga 30%.
Ketika menganalisis great depression 1929, berbeda dengan Keynes (1936) yang menekankan pada faktor permintaan agregat, Fisher (1935, 1937) menyatakan bahwa “esensi depresi” adalah jatuhnya uang bank dari $22 milyar pada 1929 menjadi $14 milyar pada 1933 dan “esensi pemulihan” antara 1933-1937 adalah ekspansi uang bank menjadi $23 milyar. Penjelasan ambruknya perbankan dan jatuhnya uang beredar sebagai penyebab terpenting great depression dikuatkan Friedman dan Schwartz (1963). Hampir 70 tahun kemudian, Stiglitz dan Greenwald (2003) mempertegas hal ini bahwa yang mempengaruhi aktivitas ekonomi adalah terms of credit dan quantity of credit, bukan quantity of money.
Fluktuasi perekonomian yang dipicu oleh fluktuasi kredit ini tidak terhindarkan dalam sistem fractional-reserve banking dimana bank menciptakan dan menghancurkan uang melalui aktivitas kredit dan investasi. Ketika kredit mengalami kegagalan signifikan, bank dengan cepat akan mengalami keambrukan, dan krisis dengan cepat menyebar seiring penarikan dana oleh nasabah yang panik. Dalam sistem ini, jumlah uang beredar akan mengalami kontraksi ketika penabung mengambil uangnya secara signifikan (bank run) dan peminjam gagal membayar pinjaman. Dengan kata lain, krisis bersifat endogen dan berakar dari kelemahan dalam sistem perbankan konvensional saat ini. Respon kebijakan dan intervensi ad-hoc seperti bail-out hingga pengetatan regulasi di sektor perbankan tidak akan efektif mencegah krisis perbankan, dan bahkan justru berpotensi memperdalam krisis melalui moral hazard.
Solusi sistemik, namun agak kurang populer, untuk menghapus keburukan sistem fractional-reserve banking ini adalah ide full-reserve banking (Fisher, 1935). Dampak esensial dari penerapan 100 percent reserve adalah memisahkan fungsi peminjaman (lending) perbankan dari penciptaan uang (money creation), sehingga akan secara efektif mengkontrol jumlah uang beredar dan membuatnya semata sebagai fungsi pemerintah. Merubah fractional-reserve banking dengan cadangan yang setara kewajiban bank, akan menghapus kemampuan bank untuk menciptakan uang. Demand deposit akan sepenuhnya konvertibel menjadi mata uang dengan keseluruhan jumlah uang beredar sepenuhnya dibawah kontrol pemerintah.
Proposal Fisher ini akan membawa kita pada pentingnya peran equity financing, bukan debt financing, semangat yang sama dengan perbankan Islam yang mengusung konsep bagi hasil. Dalam dunia yang ideal, pembiayaan ekuitas dan investasi langsung seharusnya memainkan peranan yang lebih besar. Dengan keseimbangan yang lebih baik antara utang dan ekuitas, risk-sharing akan meningkat secara luar biasa dan krisis finansial akan reda seketika (Rogoff, 1999).
Dengan equity-based banking system, nasabah akan diperlakukan seperti pemegang saham. Return kepada nasabah didasarkan pada laba/rugi bank dan nilai nominal dana nasabah tidak dijamin, hal yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh venture capital. Implikasinya, equity-based banking system akan lebih kondusif bagi stabilitas finansial karena dana nasabah dapat menyerap kerugian yang ditimbulkan oleh guncangan di sektor riil, hasil yang serupa dengan apa yang akan kita peroleh dari penerapan 100 percent reserve system.
Sistem perbankan dengan cadangan penuh, atau narrow banking, memiliki banyak keunggulan lain seperti menghapus moral hazard, meniadakan kebutuhan jaminan simpanan dan lender of last resort, dan lebih berkeadilan karena menurunkan probabilitas pembayar pajak menanggung beban biaya rekapitalisasi bank. Perbankan dengan sistem bagi hasil akan menghapus kemungkinan mismatch antara aset dan kewajiban karena return dari kewajiban terkait secara langsung dengan return aset yang berbasis pada aktivitas investasi di sektor riil. Hal ini berimplikasi bahwa return sektor finansial ditentukan oleh return sektor riil.
Fisher menyebut restrukturisasi-nya ini sebagai “… more than any proposal, will help conserve our capitalist system …”. Dengan kata lain, bagi Fisher, bail-out, penjaminan dana nasabah dan intervensi ad-hoc lainnya hanya obat penenang sementara, namun krisis perbankan akan terulang lagi, sebagaimana yang kini dialami dunia kapitalis berpuluh-kali. Dunia membutuhkan pembenahan yang lebih sistemik.

Yusuf Wibisono, “Bank Century dan Reformasi Sistem Perbankan”, Koran Tempo, 8 September 2009