Menimbang Keuangan Mikro: Perspektif Islam

Tidak berlebihan jika dikatakan dekade ini adalah dekade kredit mikro. Usai Microcredit Summit 1997 di Washington yang dihadiri 144 negara dan dilanjutkan dengan Global Microcredit Summit pertama dan kedua di New Delhi dan Dhaka pada 2000 dan 2004, keuangan mikro semakin diyakini sebagai cara yang efektif untuk pengentasan kemiskinan. Puncaknya pada 2005 yang ditetapkan PBB sebagai tahun keuangan mikro internasional dan pada 2006 ketika Muhammad Yunus, bapak kredit mikro Bangladesh, menerima nobel perdamaian. Di Indonesia, keuangan mikro juga sedang naik daun dan berpuncak pada perhelatan The Asia-Pacific Regional Microcredit Summit di Bali pada akhir Juli 2008.

Pada 2007 pemerintah meluncurkan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) tanpa jaminan aset sebesar Rp 7 triliun dengan pelaksana penyaluran kredit adalah industri perbankan dan bertindak sebagai penjamin adalah Askrindo (Asuransi Kredit Indonesia) dan SPU (Sarana Pengembangan Usaha). Pada 2008 angka KUR dilipatgandakan hingga Rp 14 triliun. Hingga akhir 2008 ditargetkan 650 ribu UKM mendapat kucuran dana KUR.Pertanyaannya, apakah kredit mikro merupakan jawaban sejati atas kegundahan kita atas masalah kemiskinan dan pengangguran yang seolah tidak pernah tuntas?

Lingkaran kemiskinan
Secara umum, penyebab kemiskinan dapat kita pilah menjadi dua kelompok. Pertama, kemiskinan karena faktor-faktor makro, seperti instabilitas ekonomi, inflasi, distribusi pendapatan yang tidak merata, lemahnya akses ke infrastruktur dasar, tekanan politik, konflik sosial, hingga bencana alam. Kedua, kemiskinan disebabkan oleh faktor mikro yang melekat pada diri mereka, seperti mentalitas, budaya, dan lemahnya kapabilitas untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Kebijakan mikro yang kemudian banyak diadopsi adalah meningkatkan income entitlements si miskin melalui pembangunan modal fisik, manusia, dan finansial. Dari sinilah penyediaan modal finansial bagi si miskin menjadi salah satu kebijakan terpenting dalam pengentasan kemiskinan. Ini bukan sesuatu yang baru.

Keberadaan kredit mikro di Indonesia bahkan telah berumur lebih dari 100 tahun, dengan Bank BRI sebagai simbol utamanya, yang menempatkan negeri ini menjadi salah satu laboratorium keuangan mikro dunia yang terpenting. Untuk Indonesia yang memiliki lebih dari 40 juta unit usaha mikro dan kecil, kredit mikro menjadi sangat strategis dalam pengentasan kemiskinan secara luas dan signifikan. Tak heran semua rezim pemerintahan memiliki program kredit mikro sebagai salah satu program andalan.

Secara riil kemiskinan tetap terjadi dalam skala yang luas. Mengapa keberadaan lebih dari 50 ribu lembaga keuangan mikro yang telah beroperasi sejak lebih dari 100 tahun lalu tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan? Bahkan, Grameen Bank yang legendaris itu juga gagal mengentaskan kemiskinan secara luas. Desa Hillary Palli, show-piece village Grameen Bank, masyarakatnya tidak bisa keluar dari lilitan utang kepada Grameen Bank setelah 12 tahun. Banyak dari penduduk desa yang kemudian ‘terpaksa’ menjual tanah mereka (Shomokal, 19 Februari 2007). Komitmen terhadap kredit mikro tentu harus diapresiasi. Namun, membuat klaim seolah hanya dengan kredit mikro maka kemiskinan akan tertanggulangi, sangat berlebihan.

Efektivitas kebijakan kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan memerlukan banyak kualifikasi. Pertama, adanya program peningkatan aset fisik dan modal manusia secara simultan. Ini dikarenakan modal finansial saja tidak mencukupi untuk membuat si miskin meningkat pendapatannya. Modal finansial membutuhkan faktor produksi lain, yaitu aset fisik dan modal manusia agar dapat menjadi produktif secara optimal. Karena itu, program technical assistance dan reforma aset reforma agraria seharusnya berjalan beriring dengan program kredit mikro ini.

Kedua, adanya lingkungan makro yang kondusif, seperti kebijakan moneter dan perbankan yang berpihak atau setidaknya netral terhadap sektor riil, kebijakan fiskal dan redistribusi yang berkeadilan, kebijakan perdagangan dan investasi yang tidak memarginalkan kelompok lemah, kebijakan lingkungan hidup dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan, dan lain-lain. Keberhasilan kebijakan mikro dapat terhapus seketika oleh kebijakan makro yang tidak bersahabat.

Ketiga, secara teknis, kredit mikro tidak hanya soal tiadanya kewajiban agunan, tetapi juga dibutuhkan reformasi kebijakan dan institusi agar kredit mikro tepat sasaran, murah, dan mau berbagi risiko secara adil. Keuangan mikro sebagai strategi pembangunan harus memiliki tiga karakter utama, yaitu massive outreach, far-reaching impact and financial sustainability. Agar mampu menjangkau kelompok miskin secara luas dan masif, kredit mikro harus murah.

Secara umum, kredit mikro di perbankan adalah mahal, berkisar 20-30 persen, jauh di atas suku bunga kredit korporasi dan konsumsi. Angka ini lebih tinggi lagi di BPR dan lembaga keuangan mikro lainnya. Di pasar kredit mikro informal (rentenir), suku bunga bisa 20 persen per bulan! Suku bunga Grameen Bank juga tinggi, hingga 54 persen (Mannan, 2007). Rasionalitas ekonomi atas mahalnya kredit mikro secara umum adalah tingginya risiko dan besarnya operational cost dari kredit mikro. Namun, selama kredit mikro mahal, sulit berharap kemiskinan akan berkurang.

Terkait itu, dibutuhkan komitmen untuk berbagi risiko usaha (entrepreneurial risk). Usaha mikro umumnya memiliki risiko usaha yang lebih tinggi. Dalam sistem bunga, tingginya risiko usaha dikompensasi oleh suku bunga yang lebih tinggi. Hal ini menciptakan lingkaran tiada berujung, risiko tinggi membawa pada harga kredit yang tinggi, tetapi suku bunga tinggi membawa pada peluang kegagalan mengembalikan kredit yang lebih tinggi pula.

Ketiadaan instrumen berbagi risiko akan selalu menempatkan debitur kredit mikro dalam posisi yang lemah dan rentan sehingga melemahkan motivasi si miskin untuk menjadi wirausahawan dan memperkecil peluang usahanya berhasil. Selain itu, agar mampu memberi dampak yang mendalam, kredit mikro harus tepat sasaran.

Keuangan mikro sejati adalah alat yang memberi akses jasa keuangan kepada kelompok miskin untuk menjalankan proyek dan ide mereka sendiri dan lepas dari ketergantungan. Karena itu, target keuangan mikro adalah kelompok miskin yang memiliki ide dan kapasitas wirausahawan dan mampu melakukan usaha produktif, bukan the poorest of the poor. Target kredit mikro karenanya menjadi isu krusial. Kegagalan dalam meraih target pasar yang tepat akan memengaruhi keberhasilan kredit mikro dalam penanggulangan kemiskinan.

Keuangan mikro dan sistem bunga
Keuangan mikro sejatinya adalah produk kegagalan industri perbankan dalam menyalurkan kredit ke kelompok miskin. Dalam sistem perbankan berbasis bunga, keputusan pemberian kredit lebih ditekankan pada kriteria creditworthiness, yaitu kemampuan debitur menjamin pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Hal ini dikarenakan perbankan berbasis bunga memiliki fixed liability berupa kewajiban pembayaran dana pihak ketiga dan bunganya.

Dalam sistem seperti ini, di mana pengembalian pokok dan bunga dijamin tanpa terkait dengan return di sektor riil, modal finansial akan selalu bias ke kelompok kaya, kelompok yang pasti memiliki creditworthiness lebih tinggi meskipun proyeknya tidak seproduktif proyek si miskin. Seharusnya, modal bergerak ke tempat yang paling produktif bukan pada kemampuan membayar pokok dan bunga. Hanya dengan cara seperti inilah maka modal akan efisien dan tidak diskriminatif. Hal seperti ini hanya akan terjadi dalam sistem di mana modal finansial mau berbagi risiko dengan wirausahawan atas risiko usaha di sektor riil.

Dalam sistem perbankan Islam, modal hanya berhak mendapat return ketika proyek berhasil. Ketika proyek gagal, modal harus mau berbagi risiko dan menanggung kerugian. Karenanya, implementasi sistem perbankan bagi hasil secara menyeluruh akan mampu menanggulangi masalah akses kelompok miskin ke modal finansial. Permasalahan utama disini adalah keberadaan dana yang mau untuk berbagi risiko. Dana kredit mikro dari pemerintah dapat berperan besar di sini.
Dalam sistem bagi hasil, penentuan kredit difokuskan pada kelayakan usaha dan expected return sehingga sistem bagi hasil akan membuat modal bergerak ke pihak yang tepat, yaitu orang yang memiliki ide dan kapasitas wirausahawan, bukan para pemburu rente atau orang yang lemah dan tidak produktif.

Kredit macet akan lebih rendah karena modal finansial berada di tangan orang yang tepat. Dengan demikian, efisiensi modal finansial dalam perekonomian akan meningkat dan dalam cara yang merata dan berkeadilan. Ketika setiap orang yang memiliki kemampuan wirausahawan mendapat akses yang sama ke modal finansial, penawaran agregat akan naik, menciptakan lapangan kerja secara luas, dan mengentaskan kemiskinan secara masif. Secara teknis, selain instrumen bagi hasil, sistem perbankan Islam juga memiliki banyak kelebihan untuk kredit mikro.

Dalam sistem perbankan Islam, sumber pendanaan tidak terbatas hanya pada dana pihak ketiga yang umumnya adalah mahal, tetapi juga dari dana sektor nirlaba, seperti zakat dan wakaf. Integrasi zakat dan keuangan mikro dapat memberi jaring pengaman sosial yang memadai bagi usaha mikro potensial yang sedang dalam tahap survival. Keuangan mikro berbasis wakaf tunai juga sangat potensial di mana hasil wakaf tunai dapat menjadi sumber dana murah lembaga keuangan mikro syariah dan juga dapat menjadi dana untuk technical assistance programs untuk mengembangkan keahlian kewirausahaan si miskin.

Yusuf Wibisono, “Menimbang Keuangan Mikro: Perspektif Islam”, Republika, 18 Agustus 2008