Yusuf Wibisono
Direktur IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies)
Di tengah pesimisme terhadap perekonomian nasional, RAPBN 2016 menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk memulihkan kepercayaan pelaku pasar. Pemerintah terlihat banyak belajar dari APBN-P 2015 yang sangat ambisius dan justru menjadi “kartu mati” perekonomian. Pasca naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Joko Widodo bergerak cepat melakukan perubahan anggaran melalui APBN-P 2015 di awal tahun dengan langkah terpenting-nya adalah pengurangan subsidi energi hingga 60%, dari Rp 342 triliun menjadi hanya Rp 138 triliun. Meski didukung sejumlah rasionalitas ekonomi yang kuat, namun penurunan subsidi BBM dan listrik ini secara cepat memukul daya beli dan konsumsi masyarakat, terutama melalui jalur kenaikan harga transportasi dan logistik.
Pelemahan daya beli dan konsumsi masyarakat ini diperparah oleh kenaikan target penerimaan pajak 2015 yang signifikan, hingga 30%, terutama PPh non-migas dan PPN yang masing-masing dipatok tumbuh 37% dan 41%. Reformasi anggaran Presiden Widodo terlihat jelas mengejar penciptaan fiscal space dari dua arah sekaligus, pencabutan subsidi dan peningkatan penerimaan perpajakan. Ambisi meningkatkan ruang gerak fiskal secepatnya untuk memenuhi janji-janji kampanye, harus dibayar mahal: pelemahan konsumsi swasta yang luas.
Pelemahan ekonomi domestik ini bertemu dengan suramnya situasi eksternal akibat berlanjutnya pelemahan harga komoditas dunia dan jatuhnya permintaan global. Pelemahan ekspor yang beriringan dengan penguatan dollar secara global akibat spekulasi pengetatan moneter Amerika Serikat, segera menekan Rupiah. Bila di awal 2015 Rupiah masih di kisaran Rp 12.400/$ maka di Juli Rupiah longsor ke Rp 13.300/$ dan bahkan sempat menembus Rp 13.800/$ pada Agustus. Penurunan signifikan subsidi energi yang semestinya membantu defisit transaksi berjalan dan nilai tukar, tak mampu menahan kejatuhan Rupiah.
Industri manufaktur yang mengalami pukulan dari turunnnya penjualan dan kenaikan biaya produksi, semakin tertekan dengan depresiasi Rupiah karena masih tingginya ketergantungan pada impor. Pengusaha tidak berani menggeser beban ini ke harga produk karena lemahnya daya beli konsumen. Menurunkan produksi dan merumahkan karyawan menjadi pilihan pahit. Gelombang PHK-pun tak terelakkan, investasi swasta-pun melemah.
Pemerintah yang sejak awal berniat mendorong perekonomian terutama melalui belanja modal yang naik hingga hampir dua kali lipat, dari Rp 147 triliun menjadi Rp 276 triliun, justru berbalik semakin menekan pertumbuhan karena rendahnya penyerapan anggaran. Ratusan triliun dana pemerintah menganggur di tengah lemahnya perekonomian, termasuk anggaran di daerah. Hasilnya, perekonomian kuartal I dan II 2015 hanya mampu tumbuh 4,72% dan 4,67%, terendah sejak 2009.
RAPBN 2016 kini terlihat realistis, kembali ke pola “normal”, dan mencoba berperan sebagai counter-cycle policy. Secara nominal, penerimaan pajak hanya ditargetkan meningkat 5%. Konsumsi swasta yang melemah signifikan, dari tumbuh 12,3% tahun lalu menjadi hanya 4,7% pada kuartal I 2015, bahkan membuat PPN diproyeksikan tumbuh negatif, pertama kali sejak 2009. Peran BUMN dalam pembangunan terlihat coba terus didorong dengan target penerimaan laba BUMN yang terus menurun hingga 15%, dua kali lipat dari penurunan 2015. Secara riil, penerimaan pajak menurun dari tax ratio 12,72% pada 2015 menjadi hanya 12,04% pada 2016.
Di sisi lain, belanja negara didorong untuk pertama kalinya menembus Rp 2.000 triliun, melalui peningkatan defisit fiskal menjadi 2,1% dari PDB, yang semula 1,9% dari PDB pada 2015. Meski berlanjut, laju penurunan subsidi energi jauh menurun, menjadi 12%, dari 60% pada 2015. Subsidi bunga kredit program (KUR) melejit lima kali lipat dari Rp 2,5 triliun menjadi Rp 16,5 triliun.
Sementara itu belanja infrastruktur pemerintah coba dipertahankan di atas 2% dari PDB, yaitu di kisaran 2,4% dari PDB, lebih tinggi dari era SBY yang dibawah 2% dari PDB. Transfer ke daerah semakin meningkat, terutama melalui dana transfer khusus dan dana desa. Setelah berlipat dua pada 2015, DAK Fisik meningkat 56% pada 2016. Sedangkan dana desa yang baru diterapkan tahun ini langsung melesat 126% pada 2016.
Meski telah memberi sejumlah sinyal positif ke pasar, pelaksanaan RAPBN 2016 tidak akan mudah. Tantangan terberat adalah mengejar asumsi ekonomi makro yang optimis. Dengan lemahnya konsumsi domestik dan ekspor, asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5% membutuhkan extra effort untuk dicapai. Asumsi nilai tukar Rp 13.400/$ membutuhkan reformasi struktural agar kokoh menghadapi “taper tantrum”, tidak hanya dari the Fed, namun juga ECB dan BoJ.
Tantangan berikut adalah rendahnya penyerapan anggaran belanja modal, mulai karena faktor lambannya proses administrasi, kepastian hukum, hingga pembebasan lahan. Lebih jauh lagi, dari belanja infrastruktur senilai Rp 313,5 triliun yang digadang untuk pertumbuhan, yang sepenuhnya dibawah kontrol pemerintah pusat hanya 53%, sisanya tersebar di bawah kontrol pemerintah daerah (18%), pemerintah desa (6%) dan BUMN (13%). Pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan target belanja infrastruktur ini tercapai. Dengan membuat transfer ke daerah lebih besar dari belanja kementrian/lembaga, pertama kalinya sejak 2011, RAPBN 2016 juga bertaruh besar dengan semakin bergantung pada kinerja daerah.
RAPBN 2016 juga memiliki sejumlah catatan. Defisit fiskal untuk membiayai peningkatan belanja harus dibayar dengan penarikan utang luar negeri yang melonjak hingga 50%, terutama untuk pinjaman program yang meroket hampir lima kali lipat, sedangkan pinjaman proyek justru menurun 7%. Untuk pertama kalinya sejak 2004, pembiayaan luar negeri neto bernilai positif. Kebijakan afirmatif untuk lepas dari tekanan asing ironisnya justru kandas di tangan Presiden Widodo yang mencitakan kemandirian bangsa.
Kembali dipangkasnya anggaran subsidi hingga nilainya hampir sama dengan pembayaran bunga utang, menimbulkan pertanyaan tentang keberpihakan pemerintah. Subsidi listrik utamanya, terus dipangkas, setelah turun 28% tahun 2015 ini kemudian turun 32% tahun depan. Jika tren ini tidak berubah, dipastikan RAPBN 2017 akan mencatat untuk pertama kalinya anggaran subsidi lebih rendah dari pembayaran bunga utang, sesuatu yang segera akan dimaknai bahwa kepentingan rakyat lebih rendah dari kepentingan investor.
Koran Tempo, 21 Agustus 2015