Di Indonesia, berdasarkan konstitusi, negara adalah “development agents” yang tidak hanya mendorong equality of opportunity, namun juga secara aktif berupaya menegakkan keadilan sosial (equality of outcome). Implikasinya, negara berperan penting dalam penyediaan barang dan jasa publik (provider state) menuju unconditional welfare state, dengan kebijakan fiskal (keuangan negara) secara aktif menjalankan fungsi redistribusi pendapatan untuk keadilan sosial.
Arah kebijakan fiskal di era orde baru ditujukan untuk meraih 3 tujuan utama: yaitu, menjamin stabilitas makroekonomi, menurunkan ketergantungan pada bantuan luar negeri, dan memperbaiki distribusi pendapatan. Dengan adopsi prinsip “anggaran berimbang” tujuan stabilitas makroekonomi secara umum dapat dicapai yang ditandai dengan turunnya hiperinflasi secara cepat dan dijaga di tingkat yang rendah. Namun ketergantungan pada utang luar negeri secara umum gagal diturunkan. Sedangkan tujuan distribusi pendapatan sebagian tercapai melalui sisi belanja negara yang cukup berpihak ke kelompok miskin, khususnya melalui pengeluaran pembangunan. Namun di sisi penerimaan negara, tujuan pemerataan relatif tidak tercapai mengingat rendahnya kinerja penerimaan perpajakan.
Anggaran penanggulangan kemiskinan era orde baru tidaklah rendah, namun cukup signifikan meski mengalami pasang surut karena terlihat banyak berasal dari oil bonanza pasca kenaikan harga minyak dunia. Sementara itu, sesuai dengan hipotesis awal, anggaran penanggulangan kemiskinan di era reformasi adalah signifikan. Berbeda dengan era orde baru, prioritas anggaran penanggulangan kemiskinan era reformasi terlihat kurang memberi perhatian yang memadai ke pembangunan pedesaan dan pertanian.