Wajah Asli Mudik di Indonesia

mudik

Masuknya migran secara ekstensif mendorong pertumbuhan kota dan menciptakan wilayah aglomerasi. Disparitas pendapatan antara wilayah aglomerasi dan pedesaan menjadi faktor penarik utama migrasi, di mana pada 2014 PDRB per kapita wilayah aglomerasi masih sekitar dua kali lipat dari wilayah pedesaan. Disparitas pendapatan ini mendorong pertumbuhan populasi wilayah aglomerasi sepanjang 2005- 2014 mencapai 2,15 persen (CAGR), jauh di atas pertumbuhan po pulasi pedesaan yang hanya 1,31 persen.

Wilayah aglomerasi terbesar hingga 2014, yaitu berdasarkan jumlah penduduk, adalah Jabodetabek (30,1 juta), diikuti Gerbang kertasusila (9,5 juta), Bandung Raya (8,1 juta), Kedungsepur (6,2 juta), Solo Raya (6,1 juta) dan Mebidangro (5,8 juta).

Bila dilihat dari sisi penguasaan terhadap pendapatan nasional, kawasan metropolitan utama adalah Jabodetabek (23,8 persen), Gerbang – kertasusila (6,5 persen), Samarinda Raya (3,1 persen), Bandung Raya (2,8 persen), Mebidangro (2,5 persen), Pekansikawan (2,5 persen), dan Kedungsepur (2,1 persen).

Namun, dalam lima tahun terakhir, wilayah aglomerasi dengan perkembangan tertinggi adalah kawasan metropolitan baru, seperti Bandar Lampung Raya dan Batam Raya yang masing-masing mengalami pertumbuhan penduduk tertinggi, 4,5 persen dan 4,0 persen sepanjang 2009 hingga 2014. Kawasan metropolitan baru juga tercatat memiliki pertumbuhan riil PDRB tertinggi sepanjang 2009- 2014, yaitu Mamminasata (8,1 persen), Batam Raya (6,9 persen), Bimindo (6,7 persen), dan Sarbagita (6,6 persen).

Perkembangan pesat kota dan wilayah aglomerasi telah menarik puluhan juta migran, terutama tenaga kerja terdidik dan terlatih, meninggalkan daerah miskin sehingga menjadi semakin tertinggal (brain drain). Tenaga kerja terdidik memiliki eksternalitas positif yang tinggi bagi masyarakat, seperti penyediaan barang dan jasa publik yang bermutu, transfer teknologi, dan kebijakan publik yang tepat, dan semua hal ini hilang ketika mereka bermigrasi.

Derap pembangunan di daerah maju tidak menyebarkan manfaat (spread effect), tetapi justru mengisap sumber daya daerah miskin sehingga pendapatan semakin terkonsentrasi di daerah-daerah kaya (backwash effect). Hal ini membuat daerah tertinggal tak pernah mampu mengejar ketertinggalannya.

Inilah wajah asli mudik. Ia adalah wajah kegagalan menciptakan pembangunan yang berkeadilan, antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa, antara sektor modern dan sektor tradisional. Mudik adalah wajah kegagalan Indonesia mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial.