Masifnya penggusuran paksa terhadap kampung dan pemukiman informal di Jakarta dalam tiga tahun terakhir, dan klaim pemerintah provinsi DKI Jakarta bahwa relokasi ke rusun telah meningkatkan kesejahteraan warga, mendorong IDEAS melakukan penelitian untuk menguji dampak kebijakan relokasi (resettlement) ini. Penelitian ini mengambil 100 responden yang merupakan kepala rumah tangga korban penggusuran yang direlokasi ke rusun dan telah tinggal di rusun selama dua tahun atau lebih. Pengumpulan data dilakukan antara Oktober-November 2016 di empat rusunawa (Pinus Elok, Cakung Barat, Jatinegara Kaum dan Cipinang Besar Selatan).
Penggusuran paksa merupakan bentuk guncangan yang signifikan terhadap kelompok rumah tangga miskin. Tempat tinggal dan lingkungannya tidak hanya dimensi fisik semata namun terbentuk dari relasi sosial-ekonomi yang kompleks sehingga signifikan mempengaruhi kesejahteraan individu. Rumah bagi warga korban penggusuran tidak hanya tempat tinggal, namun juga tempat usaha mandiri. Seiring penggusuran keduanya hilang, menyisakan ketidakpastian dan ketergantungan hidup pada bantuan. Penggusuran paksa telah mengubah masyarakat yang mandiri meski dalam sektor informal, menjadi masyarakat yang penuh ketergantungan dengan kerentanan tinggi.
Penggusuran paksa dan relokasi ke rusunawa tidak menyelesaikan kemiskinan, namun mereproduksi kemiskinan bahkan dengan derajat yang lebih dalam. Wilayah rusunawa yang kini mereka tempati tidak bisa memberikan mereka peluang untuk mencari sumber penghidupan layak seperti di lokasi sebelumnya. Kebijakan relokasi untuk masyarakat yang tergusur menyebabkan mereka tersisih dan terpinggirkan di wilayah-wilayah luar perkotaan. Meskipun dimensi fisik rusunawa dengan infrastrukturnya dianggap lebih memadai, namun distribusi sumberdaya ekonomi dan sosial tidak memberikan akses pada warga korban penggusuran untuk bisa membangun kehidupan baru yang lebih baik di sana.