Potret Ekonomi Mudik 2017

Potret Mudik 2017
Hari-hari ini kita kembali menyaksikan salah satu fenomena terbesar negeri ini, mudik. Kombinasi migrasi desa-kota yang masif dan spiritualitas Idul Fitri telah menciptakan mudik Indonesia sebagai salah satu ritual tahunan terbesar di dunia. Namun pergerakan puluhan juta orang dalam waktu relatif bersamaan, memunculkan kerentanan. Tahun 2016 menjadi catatan kelam dalam sejarah pengelolaan mudik modern Indonesia dimana kemacetan total (grid lock) hingga 20-22 Km di pintu exit toll Brebes Timur menelan korban hingga puluhan jiwa. Kemacetan parah juga terjadi di lintasan penyeberangan tradisional Jawa – Sumatera (pelabuhan Merak – Bakauheni) dan Jawa – Bali (pelabuhan Ketapang – Gilimanuk). Dibutuhkan kesiapan yang jauh lebih tinggi karena keriuhan yang semakin besar diprediksi akan terjadi pada mudik tahun 2017 ini.

Profil Mudik 2017

Dari riset IDEAS tentang pola migrasi dan pertumbuhan 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia, diproyeksikan tahun ini akan terdapat potensi 33,0 juta pemudik, meningkat 2,0% dari tahun lalu yang diperkirakan sebesar 32,3 juta pemudik. Potensi pemudik 2017 sebesar 33,0 juta orang ini tersebar di 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia. Secara geografis, mudik adalah fenomena Jawa.

Potensi daerah asal pemudik terbesar adalah Jawa, sekitar 68% dari total pemudik. Dan potensi daerah tujuan pemudik terbesar juga adalah Jawa, sekitar 65% dari total pemudik. Dengan kata lain, sebagian besar pemudik berasal dari Jawa dan menuju Jawa. Dari sekitar 22,6 juta pemudik dari Jawa, lebih dari setengahnya berasal dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Sedangkan dari sekitar 21,5 juta pemudik yang menuju Jawa, lebih dari sepertiganya menuju ke Jawa Tengah.

Pergerakan puluhan juta orang dalam waktu yang relatif bersamaan ini dipastikan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi yang masif. Riset IDEAS memproyeksikan, dari 33,0 juta pemudik, sekitar 23,5 juta pemudik masih mengandalkan angkutan pribadi dan hanya

sekitar 9,5 juta pemudik yang menggunakan angkutan umum, meningkat berturut-turut 1,6% dan 3,2% dari tahun sebelumnya. Keterbatasan kapasitas angkutan umum, tingginya harga tiket moda transportasi umum, ketersediaan infrastruktur jalan raya, terutama jalan tol, yang semakin masif di Jawa, serta faktor psikologis dan budaya pemudik, berkontribusi pada dominannya angkutan pribadi dalam mudik. IDEAS memproyeksikan mudik tahun 2017 ini akan melibatkan hampir 10 juta kendaraan pribadi, yaitu 3,1 juta mobil dan 6,8 juta sepeda motor, meningkat masing-masing 16,4% dan 19,9% dari tahun sebelumnya.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hajatan kolosal yang melibatkan pergerakan 33,0 juta pemudik tahun 2017 ini secara umum akan terkonsentrasi di Jawa. Secara khusus, pergerakan pemudik di Jawa ini akan didominasi oleh tiga wilayah aglomerasi yaitu Jabodetabek, Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan Bandung Raya. Riset IDEAS menunjukkan jalur utama mudik tahun 2017 adalah pergerakan 12,5 juta pemudik dari Jabodetabek menuju Jawa Tengah (36,3%) dan Jawa Barat (22,0%), diikuti pergerakan 3,0 juta pemudik dari Gerbangkertasusila ke Jawa Tengah (32,4%) dan pergerakan 2,1 juta pemudik dari Bandung Raya menuju ke Jakarta (33,2%) dan Jawa Tengah (30,5%). Terlihat bahwa Jawa Tengah yang menjadi destinasi utama para pemudik, sebagaimana tahun sebelumnya, selalu mengalami keriuhan lalu lintas yang tinggi.

Pergerakan puluhan juta manusia dan kendaraan selama musim mudik tak pelak membutuhkan pengeluaran yang sangat besar untuk membiayainya. Riset IDEAS memproyeksikan total pengeluaran yang dikeluarkan 33,0 juta pemudik selama arus mudik dan arus balik 2017 ini sebesar Rp 142,2 triliun, meningkat 19,3% dari tahun sebelumnya. Pengeluaran rata-rata setiap pemudik sebesar Rp 4,3 juta ini diproyeksikan digunakan pemudik untuk membiayai akomodasi, transportasi, makanan-minuman dan jasa hiburan-rekreasi selama 11 hari perjalanan pulang-pergi mudik.

Momentum mudik umum digunakan pemudik untuk membawa hasil simpanan dari penghasilan di tanah rantau untuk orang tua dan keluarga di kampung halaman (remitansi). Dengan memperhitungkan adanya kebijakan THR (tunjangan hari raya) dan tingkat upah minimum provinsi, IDEAS memproyeksikan 15,3 juta pemudik yang diestimasi berstatus pekerja akan membawa remitansi ke kampung halaman mereka sebesar Rp 63,6 triliun pada musim mudik 2017 ini, meningkat 9,6% dari tahun sebelumnya.

Dengan demikian, IDEAS memproyeksikan total perputaran uang terkait mudik selama musim mudik 2017 ini sebesar Rp 205,8 triliun. Untuk sebuah perhelatan temporer dengan durasi sekitar 2 pekan saja, angka ini tentu sangat signifikan, setara dengan 1,5% dari PDB atau 9,9% dari APBN 2017.

Potensi dan Inefisiensi Mudik

Bagi masyarakat migran, mudik adalah ritual “wajib” yang pantas ditebus dengan biaya berapapun. Namun, ditinjau dari perspektif makro-jangka panjang, fenomena mudik sesungguhnya adalah inefisiensi, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Secara sosial, mudik identik dengan berbagai kerumitan yang sering menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak kecil. Pergerakan puluhan juta manusia dan kendaraan bermotor dalam waktu yang relatif bersamaan, khususnya di pulau Jawa, rentan dengan berbagai masalah mulai dari kecelakaan hingga kemacetan luar biasa di berbagai jalur mudik.

Secara ekonomi, mudik menghabiskan begitu banyak sumber daya ekonomi. Pengeluaran pemudik selama musim mudik 2016 sebesar Rp 142,2 triliun yang seluruhnya dihabiskan untuk konsumsi jangka pendek, tidak lebih dari 2 pekan, dapat dilihat sebagai pemborosan ekonomi yang luar biasa. Angka ini akan jauh lebih besar bila kita juga memperhitungkan anggaran publik yang rutin dikeluarkan untuk memfasilitasi mudik setiap tahunnya, mulai dari operasi pengamanan lalu lintas hingga pembangunan berbagai infrastruktur transportasi.

Dalam jangka pendek, dibutuhkan rekayasa sosial dan ekonomi yang masif dan sistematis untuk memberdayakan pengeluaran mudik agar mampu menggerakkan ekonomi daerah dan desa, khususnya dana remitansi pemudik. Sebagai misal, remitansi meski dibelanjakan secara konsumtif, akan tetap mampu menggerakkan ekonomi daerah dan desa secara kuat jika dibelanjakan pada barang dan jasa produksi lokal. Program sederhana seperti kampanye cinta produk lokal dan kembali ke pasar tradisional menemukan relevansi yang kuat disini. Terlebih jika dana remitansi ini digunakan secara produktif seperti menambah modal kerja atau untuk biaya pendidikan anak.

Sementara itu dalam jangka panjang, dibutuhkan upaya pemerataan pembangunan yang progresif kota dan desa, antara sektor industri-modern dan sektor pertanian-tradisional. Fenomena mudik berakar pada ketidakseimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa, antara Jabodetabek dan Luar Jabodetabek. Supremasi dan pertumbuhan kota inti yang sangat pesat inilah yang menjadi faktor penarik (pull factor) terkuat bagi migrasi, dan ketertinggalan luar Jawa dan desa menjadi faktor pendorong-nya (push factor).