Evaluasi Ekonomi Mudik 2017

Evaluasi Mudik

Beberapa waktu lalu kita baru saja menyaksikan salah satu fenomena terbesar negeri ini, mudik. Bagi masyarakat perantau, mudik adalah sebuah kewajiban. Ia adalah cermin nyata kenangan akan kampung halaman dan penyambung utama silaturahmi dengan kerabat yang memberi energi baru untuk melanjutkan kehidupan di tanah perantauan. Spiritualitas mudik ini kemudian bertemu dengan semangat relijius Ramadhan dan Idul Fitri, khususnya memohon maaf dan berbakti kepada orang tua. Kombinasi migrasi dan Idul Fitri di Indonesia ini kemudian menciptakan mudik sebagai salah satu event ritual rutin tahunan terbesar di dunia.

Bersamaan dengan mudik, triliunan rupiah uang mengalir setiap tahun-nya ke daerah asal pemudik yang menggerakkan roda perekonomian lokal, memberi jaminan sosial dan melepaskan penduduk dari kemiskinan, walau mungkin temporer. Perekonomian nasional juga bergerak seiring pergerakan puluhan juta manusia, terutama melalui jalur konsumsi seperti di sektor transportasi, komunikasi, perdagangan, hotel, dan restoran.Dari satu perspektif, mudik adalah fenomena sosial yang positif. Mudik memberi andil yang besar dalam menjaga nilai-nilai kekeluargaan, solidaritas, dan harmoni sosial. Mudik juga menjaga nilai-nilai kultural antara pemudik dengan daerah asal-nya. Dampak ekonomi mudik juga tidak bisa dipandang remeh. 

Trend jumlah pemudik

Dari riset IDEAS tentang pola migrasi dan pertumbuhan 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia, diperoleh estimasi profil mudik yang tidak dapat diremehkan. Pada tahun 2017, IDEAS memproyeksikan akan terdapat potensi 33,0 juta pemudik, meningkat 2,0 persen dari tahun lalu yang diperkirakan sebesar 32,3 juta pemudik. Dengan estimasi pemudik pada 2013 sebesar 30,8 juta pemudik, maka secara umum jumlah pemudik tumbuh 1,7 persen sepanjang 2013-2017 (Compound Annual Growth Rate/CAGR).

Dengan muslim adalah penduduk mayoritas, sekitar 228,2 juta jiwa pada 2017, maka fenomena mudik dijumpai di seluruh Indonesia. Dalam riset IDEAS, potensi pemudik difokuskan di wilayah aglomerasi dimana fenomena masyarakat migran adalah besar. Potensi pemudik 2017 sebesar 33,0 juta orang tersebar di 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia. Untuk pemudik diwilayah aglomerasi kota di pulau Sumatera yaitu sebesar 1,58 juta di Mebidangro (Medan, Binjai, Deliserdang, Karo), 1,32 juta di Pekansikawan (Pekanbaru, Siak, Kampar, Pelalawan), 847 ribu di Patungraya Agung (Palembang, Betung, Indralaya, Kayu Agung), 1,01 juta di Batam Raya.
Sedangkan potensi pemudik di luar pulau Jawa dan Sumatera yaitu sebesar 1,10 juta di Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan), 966 ribu di Samarinda Raya, 861 ribu di Mamminasata Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar), dan 3,55 juta di 7 kawasan metropolitan lainnya.Untuk aglomerasi kota di pulau Jawa yaitu sebesar 12,55 juta di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), 2,07 juta di Bandung Raya, 1,48 juta di Kedungsepur (Kendal, Ungaran, Semarang, Purwodadi), 1,59 juta di Solo Raya, 1,01 juta di Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), 3,04 juta di Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan). 

 

Angkutan selama mudik

Pergerakan puluhan juta orang dalam waktu yang relatif bersamaan ini dipastikan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi yang masif. Riset IDEAS memproyeksikan, dari 33,0 juta pemudik pada 2017, sekitar 23,5 juta pemudik masih mengandalkan angkutan pribadi dan hanya sekitar 9,5 juta pemudik yang menggunakan angkutan umum, meningkat berturut-turut 1,6 persen dan 3,2 persen dari tahun sebelumnya. Komposisi pemudik dengan angkutan umum (71 persen) dan angkutan pribadi (29 persen) ini, tidak berubah dalam lima tahun terakhir (2013-2017).

Dominasi pemudik dengan angkutan pribadi ini dikonfirmasi oleh tingginya jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan bermotor miliknya. IDEAS memproyeksikan mudik tahun 2017 ini melibatkan hampir 10 juta kendaraan pribadi, yaitu 3,1 juta mobil dan 6,8 juta sepeda motor, meningkat masing-masing 16,4 persen dan 19,9 persen dari tahun sebelumnya. Estimasi IDEAS menunjukkan bahwa pada 2013, baru mencapai 4,4 juta kendaraan pribadi, yaitu 1,6 juta mobil dan 2,8 juta sepeda motor.

Dengan kata lain, sepanjang 2013-2017, pemudik dengan mobil dan sepeda motor meningkat masing-masing 18,8 persen dan 24,7 persen per tahun (CAGR). Pertumbuhan tinggi pemudik dengan mobil dan motor ini di satu sisi positif, yaitu jumlah penumpang per unit kendaraan pribadi cenderung menurun, sehingga keselamatan pemudik lebih terjaga. Namun di sisi lain, kompleksitas lalu lintas mudik semakin meningkat secara signifikan  dan ketergantungan terhadap transportasi darat berbasis jalan semakin tinggi.

Estimasi pengeluaran pemudik

Pergerakan puluhan juta manusia dan kendaraan dalam waktu yang relatif bersamaan ini, tak pelak membutuhkan pengeluaran yang sangat besar untuk membiayainya. Riset IDEAS memproyeksikan total pengeluaran yang dikeluarkan 33,0 juta pemudik selama arus mudik dan arus balik 2017 ini sebesar Rp 142,2 triliun, meningkat 19,3 persen dari tahun sebelumnya.

Pengeluaran rata-rata sebesar Rp 4,3 juta per orang ini diproyeksikan digunakan pemudik untuk membiayai akomodasi, transportasi, makanan-minuman dan jasa hiburan-rekreasi selama mudik. Dengan estimasi pengeluaran pemudik pada 2013 sebesar Rp 65,6 triliun, hal ini mengindikasikan kenaikan biaya mudik yang signifikan, yaitu 21,4 persen per tahun sepanjang 2013-2017 (CAGR).

Momentum mudik umum digunakan pemudik untuk membawa hasil simpanan dari penghasilan di tanah rantau untuk orang tua dan keluarga di kampung halaman (remitansi). Dengan memperhitungkan adanya kebijakan THR (tunjangan hari raya) dan tingkat upah minimum provinsi, IDEAS memproyeksikan 15,3 juta pemudik yang diestimasi berstatus pekerja akan membawa remitansi ke kampung halaman mereka sebesar Rp 63,6 triliun pada musim mudik 2017 ini, meningkat 9,6 persen dari tahun sebelumnya.

Dengan estimasi remitansi yang dibawa pemudik pada 2013 sebesar Rp 38,1 triliun, maka terdapat kenaikan jumlah remitansi pemudik sebesar 13,7 persen per tahun sepanjang 2013-2017 (CAGR). Terlihat bahwa sepanjang 2013-2017, kenaikan biaya mudik lebih tinggi dari kenaikan pendapatan pemudik, yang direpresentasikan oleh remitansi pemudik.

Pergerakan puluhan juta orang dalam waktu yang relatif bersamaan ini dipastikan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi yang masif. Riset IDEAS memproyeksikan, dari 33,0 juta pemudik, sekitar 23,5 juta pemudik masih mengandalkan angkutan pribadi dan hanya sekitar 9,5 juta pemudik yang menggunakan angkutan umum, meningkat berturut-turut 1,6% dan 3,2% dari tahun sebelumnya. Keterbatasan kapasitas angkutan umum, tingginya harga tiket moda transportasi umum, ketersediaan infrastruktur jalan raya, terutama jalan tol, yang semakin masif di Jawa, serta faktor psikologis dan budaya pemudik, berkontribusi pada dominannya angkutan pribadi dalam mudik. IDEAS memproyeksikan mudik tahun 2017 ini akan melibatkan hampir 10 juta kendaraan pribadi, yaitu 3,1 juta mobil dan 6,8 juta sepeda motor, meningkat masing-masing 16,4% dan 19,9% dari tahun sebelumnya.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hajatan kolosal yang melibatkan pergerakan 33,0 juta pemudik tahun 2017 ini secara umum akan terkonsentrasi di Jawa. Secara khusus, pergerakan pemudik di Jawa ini akan didominasi oleh tiga wilayah aglomerasi yaitu Jabodetabek, Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan Bandung Raya. Riset IDEAS menunjukkan jalur utama mudik tahun 2017 adalah pergerakan 12,5 juta pemudik dari Jabodetabek menuju Jawa Tengah (36,3%) dan Jawa Barat (22,0%), diikuti pergerakan 3,0 juta pemudik dari Gerbangkertasusila ke Jawa Tengah (32,4%) dan pergerakan 2,1 juta pemudik dari Bandung Raya menuju ke Jakarta (33,2%) dan Jawa Tengah (30,5%). Terlihat bahwa Jawa Tengah yang menjadi destinasi utama para pemudik, sebagaimana tahun sebelumnya, selalu mengalami keriuhan lalu lintas yang tinggi.

Total perputaran uang

Secara keseluruhan, IDEAS memproyeksikan total perputaran uang terkait mudik selama musim mudik 2017 sebesar Rp 205,8 triliun. Angka ini setara dengan 1,5 persen dari PDB atau 9,9 persen dari APBN 2017. Untuk sebuah perhelatan temporer dengan durasi hanya sekitar 2 pekan saja, angka ini tentu sangat signifikan.

Dengan signifikansi-nya diatas, semua pihak umumnya kemudian memberi toleransi besar bagi mudik, memberinya pembenaran dengan THR, memfasilitasi-nya dengan acara mudik gratis bersama, dan bahkan mendorong-nya dengan membuat jadwal libur panjang setiap hari raya Idul Fitri. Pemerintah, perusahaan, ormas hingga partai politik berlomba memberi kemudahan bagi para pemudik, mulai dari penyediaan armada transportasi hingga posko mudik di ribuan titik sepanjang jalur mudik.

Bagi masyarakat migran, mudik tentu adalah kegiatan “wajib” yang pantas ditebus dengan biaya berapapun. Namun, ditinjau dari perspektif makro-jangka panjang, fenomena mudik sesungguhnya adalah inefisiensi, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Secara sosial, mudik identik dengan berbagai kerumitan yang sering menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak kecil.

Pergerakan puluhan juta manusia dan kendaraan bermotor dalam waktu yang relatif bersamaan, khususnya di pulau Jawa, rentan dengan berbagai masalah mulai dari kasus-kasus kriminalitas, kecelakaan transportasi yang menelan korban harta dan jiwa, hingga kemacetan luar biasa di berbagai jalur mudik. Tahun 2016 menjadi catatan kelam dalam sejarah pengelolaan mudik modern Indonesia dimana kemacetan total (grid lock) hingga 20-22 Km di pintu exit toll Brebes Timur menelan korban hingga puluhan jiwa.

Secara ekonomi, mudik menghabiskan begitu banyak sumber daya ekonomi. Pengeluaran pemudik selama musim mudik 2017 sebesar Rp 142,2 triliun yang seluruhnya dihabiskan untuk konsumsi jangka pendek, tidak lebih dari sebulan, adalah bentuk nyata pemborosan ekonomi yang luar biasa. Pengeluaran ratusan triliun untuk akomodasi, transportasi, makanan-minuman, dan jasa rekreasi-hiburan tentu akan menggerakkan perekonomian dalam jangka pendek, namun ia sama sekali tidak berdampak pada kapasitas produksi maupun daya saing perekonomian dalam jangka panjang.

Dana ratusan triliun ini jika dialihkan, mencukupi untuk membiayai program raskin (beras untuk rakyat miskin) selama 5 tahun atau program KUR (kredit usaha rakyat) selama 7 tahun. Dana sebesar ini juga lebih dari cukup untuk membiayai seluruh rencana program pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan sepanjang 2015-2019.

Pergerakan jutaan angkutan umum dan kendaraan pribadi untuk mengangkut puluhan juta orang setiap tahunnya, yang masih sangat berpusat pada transportasi darat berbasis jalan, terutama jalan tol, adalah sangat boros BBM, mengancam ketahanan energi dan memperparah pencemaran lingkungan. Untuk memfasilitasi pergerakan jutaan kendaraan darat ini, khususnya di Jawa, ratusan hektar tanah pertanian produktif dikorbankan dan ratusan triliun anggaran publik dihabiskan setiap tahunnya untuk membangun dan merawat berbagai infrastruktur transportasi darat.

Sementara itu, dampak positif dari migrasi secara umum dan mudik secara khusus, yaitu remitansi, tidak terlihat secara jelas. Remitansi puluhan triliun per tahun jika digunakan secara bijak dan produktif, seperti untuk kesehatan dan pendidikan anak atau membeli sawah dan hewan ternak, secara umum akan berdampak pada penurunan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Namun pada kenyataannya remitansi yang dibelanjakan terdesentralisasi oleh jutaan keluarga migran ini, lebih cenderung dibelanjakan secara konsumtif, seperti belanja konstruksi rumah, peralatan elektronik, serta mobil dan sepeda motor, dengan motivasi utama bukan untuk investasi fisik ataupun investasi manusia melainkan lebih banyak untuk konsumerisme dan bahkan memamerkan gaya hidup urban (demonstration effect).

Proyeksi tujuan pemudik

Ketidakefektifan remitansi dalam mensejahterakan daerah asal migran, tergambar dalam daerah tujuan utama mudik, yang merupakan daerah pengirim migran utama, hingga kini masih merupakan wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak. Pada mudik 2017, IDEAS memproyeksikan 3 tujuan utama pemudik dimana ketiga-nya menjadi tujuan bagi 51,9 persen pemudik, yaitu Jawa Tengah sebanyak 8,33 juta orang, Jawa Barat 4,54 juta orang, dan Jawa Timur 4,24 juta orang.

Namun, di saat yang sama, secara absolut, jumlah penduduk miskin justru terkonsentrasi di 3 provinsi ini, dimana ketiga-nya menjadi rumah bagi setengah dari total penduduk miskin. Per Maret 2016, dari 28,0 juta jiwa penduduk miskin Indonesia, sebanyak 13,4 juta jiwa berada di 3 daerah tujuan utama pemudik ini, yaitu Jawa Timur (4,7 juta), Jawa Tengah (4,5 juta) dan Jawa Barat (4,2 juta).

Mudik, Urbanisasi dan Kesenjangan 

Fenomena mudik telah menjadi rutin, sehingga agenda-agenda jangka pendek jauh mengemuka setiap tahunnya. Hal ini tentu tidak salah, dan harus menjadi prioritas jangka pendek. Dalam jangka pendek, fenomena mudik di Indonesia membutuhkan upaya mempermudah dan mempermurah arus mudik dan arus balik, khususnya di Jawa.
Tak heran bila kerumitan mudik banyak terjadi di Jawa, terutama dari pergerakan jutaan kendaraan pribadi. Pada musim mudik 2017, pergerakan kendaraan pribadi pemudik terkonsentrasi di Jawa, yaitu 4,5 juta sepeda motor (67,2 persen) dan 2,4 juta mobil (76,8 persen), dan diikuti Sumatera, yaitu 1,3 juta sepeda motor (19,5 persen) dan 345 ribu mobil (11,2 persen). Kepadatan lalu lintas dari jutaan kendaraan pribadi di Jawa selama mudik ini diproyeksikan akan banyak bermula dan berakhir di Jabodetabek, yaitu 2,5 juta sepeda motor (36,3 persen) dan 1,8 juta mobil (58,8 persen).Secara geografis, mudik adalah fenomena Jawa. Pada 2017, potensi daerah asal pemudik terbesar adalah Jawa, sekitar 68 persen dari total pemudik. Dan potensi daerah tujuan pemudik terbesar juga adalah Jawa, sekitar 65 persen dari total pemudik. Dengan kata lain, sebagian besar pemudik berasal dari Jawa dan menuju Jawa. Dari sekitar 22,6 juta pemudik dari Jawa, lebih dari setengahnya berasal dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Sedangkan dari sekitar 21,5 juta pemudik yang menuju Jawa, lebih dari sepertiganya menuju ke Jawa Tengah.

Jalur utama mudik

Dari hasil simulasi IDEAS terlihat bahwa hajatan kolosal tahunan yang terkonsentrasi di Jawa ini, secara khusus didominasi oleh tiga wilayah aglomerasi yaitu Jabodetabek, Gerbangkertasusila dan Bandung Raya. Riset IDEAS menunjukkan jalur utama pemudik pada 2017 adalah pergerakan 12,5 juta pemudik dari Jabodetabek menuju Jawa Tengah (36,3 persen) dan Jawa Barat (22,0 persen), diikuti pergerakan 3,0 juta pemudik dari Gerbangkertasusila ke Jawa Tengah (32,4 persen) dan pergerakan 2,1 juta pemudik dari Bandung Raya menuju ke Jakarta (33,2 persen) dan Jawa Tengah (30,5 persen). Terlihat bahwa Jawa Tengah yang menjadi destinasi utama para pemudik, sebagaimana tahun sebelumnya, selalu mengalami keriuhan lalu lintas yang tinggi.

Ke depan, upaya mempermudah dan mempermurah mudik ini harus secara progresif berpindah dari fokus pada kendaraan pribadi ke fokus pada transportasi massal. Pembangunan transportasi Jawa harus berfokus pada transportasi darat berbasis rel, bukan transportasi berbasis jalan, terlebih jalan tol. Pembangunan di wilayah aglomerasi, dimana keuntungan ekonomi dari mengumpulnya aktivitas komersial membuat kota inti berkembang ke wilayah sekitarnya, secara umum adalah terfragmentasi sehingga pembangunan berjalan dengan kecenderungan tanpa perencanaan yang terpadu urban sprawl, terutama di Jawa. Hasilnya, kemacetan dan inefisiensi transportasi publik menjadi pemandangan umum. Pembangunan jalan tol menjadi jalan pintas, sekaligus menjanjikan rente ekonomi yang tinggi.

Selain itu dalam jangka pendek dibutuhkan pula rekayasa sosial dan ekonomi yang masif dan sistematis untuk memberdayakan remitansi agar mampu menggerakkan ekonomi daerah dan desa. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, remitansi terlihat tidak mampu mengangkat kondisi masyarakat miskin daerah asal migran. Upaya memberdayakan remitansi bisa dimulai dari hal yang sederhana.

Sebagai misal, remitansi meski dibelanjakan secara konsumtif, akan tetap mampu menggerakkan ekonomi daerah dan desa secara kuat jika dibelanjakan pada barang dan jasa produksi lokal. Program sederhana seperti kampanye cinta produk lokal dan kembali ke pasar tradisional, bukan belanja produk impor di pusat perbelanjaan modern, menemukan relevansi yang kuat disini.

 Urbanisasi kota dan desa

Sementara itu dalam jangka panjang, dibutuhkan upaya pemerataan pembangunan yang progresif antara Jawa dan Luar Jawa, antara kota dan desa, antara sektor industri-modern dan sektor pertanian-tradisional. Fenomena mudik berakar pada ketidakseimbangan pembangunan Jawa dan luar Jawa, terutama antara kota dan desa. Hingga kini, Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari luas Indonesia, mendominasi dengan menguasai 58,4 persen PDB nasional.

Sumatera hanya memperoleh 22,0 persen PDB, Kalimantan 7,7 persen PDB, Sulawesi 6,2 persen PDB, Bali dan Nusa Tenggara 3,2 persen PDB dan Maluku dan Papua 2,5 persen PDB. Jakarta dengan luas hanya 0,57 persen dari luas pulau Jawa, memiliki populasi 4 persen dari total penduduk Indonesia dan menguasai hingga 16,5 persen pendapatan nasional. Supremasi dan pertumbuhan Jawa dan Jakarta yang sangat pesat inilah yang menjadi faktor penarik pull factor terkuat bagi migrasi, dan ketertinggalan luar Jawa dan Jakarta menjadi faktor pendorong-nya push factor.

Pada 2012-2017, IDEAS mengestimasi 10 daerah utama pengirim migran terbesar seluruhnya terdapat di Jawa, yaitu kantong kemiskinan di Jawa yang memiliki pertumbuhan penduduk paling rendah pada periode ini, antara lain Kabupaten Lamongan, Kebumen dan Bojonegoro. Pada saat yang sama, 10 daerah utama penerima migran pada 2012-2017 diestimasi seluruhnya adalah kota inti dan daerah satelitnya, yaitu Batam dan daerah penopang Jakarta seperti Kabupaten Bekasi dan kota Depok.

Masuknya migran secara ekstensif, mendorong pertumbuhan kota dan menciptakan wilayah aglomerasi. Disparitas pendapatan antara wilayah aglomerasi dan pedesaan, menjadi faktor penarik utama migrasi, dimana PDRB per kapita wilayah aglomerasi masih sekitar dua kali lipat dari wilayah pedesaan. Disparitas pendapatan ini mendorong pertumbuhan populasi 20 wilayah aglomerasi sepanjang 2007-2017 mencapai 2,35 persen per tahun (CAGR), jauh diatas pertumbuhan populasi daerah pedesaan yang hanya 1,11 persen per tahun (CAGR).

 

Wilayah aglomerasi terbesar hingga 2017, yaitu berdasarkan jumlah penduduk, adalah Jabodetabek (33,2 juta), diikuti Gerbangkertasusila (9,7 juta), Bandung Raya (8,4 juta), Kedungsepur (6,4 juta), Solo Raya (6,2 juta) dan Mebidangro (6,1 juta). Bila dilihat dari sisi penguasaan terhadap pendapatan nasional, maka kawasan metropolitan utama adalah Jabodetabek (23,8 persen), Gerbangkertasusila (6,5 persen), Samarinda Raya (3,1 persen), Bandung Raya (2,8 persen), Mebidangro (2,5 persen), Pekansikawan (2,5 persen) dan Kedungsepur (2,1 persen).

Namun dalam satu dekade terakhir, wilayah aglomerasi dengan perkembangan tertinggi bukan lagi Jakarta yang merupakan megapolitan (dengan penduduk diatas 10 juta), namun adalah kota metropolitan (dengan penduduk 1-10 juta), seperti Batam, Depok dan Tangerang. Kota metropolitan mengalami pertumbuhan penduduk tertinggi dibandingkan kota lain, yaitu 4,55 persen per tahun sepanjang 2007-2017. Kota metropolitan ini tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi.

 

Kesenjangan pembangunan kota

Perkembangan pesat kota dan wilayah aglomerasi telah menarik puluhan juta migran, terutama tenaga kerja terdidik dan terlatih, meninggalkan daerah miskin sehingga menjadi semakin tertinggal brain drain. Tenaga kerja terdidik memiliki eksternalitas positif yang tinggi bagi masyarakat, seperti penyediaan barang dan jasa publik yang bermutu, transfer teknologi, dan kebijakan publik yang tepat, dan semua hal ini hilang ketika mereka bermigrasi.

Derap pembangunan di daerah maju tidak menyebarkan manfaat spread effect, namun justru menghisap sumber daya daerah miskin sehingga pendapatan semakin terkonsentrasi di daerah-daerah kaya backwash effect, membuat daerah tertinggal tak pernah mampu mengejar ketertinggalannya.

Inilah wajah asli mudik. Ia adalah wajah kegagalan kita menciptakan pembangunan yang berkeadilan, antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa, antara sektor modern dan sektor tradisional. Mudik adalah wajah kegagalan kita mentransformasi sektor pertanian  menjadi sektor agroindustri modern berdaya saing tinggi. Mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan pusat pertumbuhan dan sumber keunggulan baru perekonomian.

Mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemanusiaan secara merata di semua wilayah, sehingga memaksa puluhan juta orang berdiaspora bahkan hingga ke ujung belahan dunia, meninggalkan sanak keluarga untuk sekedar menyambung hidup. Mudik adalah wajah kegagalan kita mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial.