RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 menetapkan target pembangunan infrastruktur yang ambisius, 1.000 Km jalan tol, 2.650 Km jalan raya, 15 bandar udara, 24 pelabuhan, 3.258 Km rel kereta api, 60 pelabuhan kapal feri, MRT di 23 kota besar, 49 waduk, 33 PLTA, 32,5 juta sambungan air bersih, hingga pengembangan 37 ribu hektar kawasan kumuh.
Sebuah ambisi yang sangat besar, Riset Ideas dalam Policy Brief IDEAS, edisi September 2018, ‘Mengejar (Mimpi) Infrastruktur’. Menemukan beberapa catatan terkait proyek infrastruktur tersebut yaitu:
Sekadar Melanjutkan Proyek
Ambisi infrastruktur Presiden Jokowi ternyata bukan hal yang baru dan tidak dapat dilepaskan dari warisan Presiden sebelumnya.
Terfokus Pada Jawa
Baik dilihat dari jumlah proyek maupun nilai investasi, PSN masih sangat terfokus pada Jawa, khususnya DKI Jakarta dan daerah penyangganya.
Sarat Motif Elektoral
Jawa adalah rumah bagi 60 persen penduduk dan pusat ekonomi nasional, serta menjadi barometer politik nasional. Terlihat bahwa pembangunan infrastruktur sarat dengan motif elektoral.
Hanya Fokus Pada Infrastruktur Perkotaan
Jelas terlihat fokus PSN bukan pada infrastruktur pertanian dan pedesaan, dimana sebagian besar penduduk miskin berada.
Upgrading Kawasan Kumuh
Arah dan prioritas pembangunan infrastruktur kota di negara berkembang semestinya adalah upgrading kawasan hunian kumuh, bukan jalan tol.
Tidak Fokus Pada Transportasi Murah
Arah infrastruktur transportasi perkotaan semestinya adalah transportasi massal yang handal dan murah, seperti busway dan KRL komuter. Namun ironis, fokus PSN terpusat pada jalan tol dalam kota dan pembangunan MRT dan LRT, yang secara jelas daya angkut dan cakupan wilayahnya adalah terbatas.
Motif Prestise & Perburuan Rente
Investasi LRT dan MRT yang sangat mahal, jauh diatas busway, KRL bahkan jalan tol layang dalam kota, secara implisit mengindikasikan adanya motif prestise dan perburuan rente dari vested interest groups.