Oleh: Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies)
Berbagai survey terkini jelang Pemilu 2019 secara konsisten memprediksi raihan suara parpol Islam seperti PPP, PKS dan PBB tidak akan mampu melampaui parliamentary threshold. Prahara terkini yang menerpa PPP semakin mempertebal pesimisme terhadap masa depan Islam politik di Indonesia. Proyeksi serupa sebenarnya terjadi pula jelang Pemilu 2014 lalu, suara parpol Islam diprediksi akan anjlok, terutama PKS yang diterpa prahara setahun sebelumnya. Namun hasil Pemilu 2014 mengejutkan publik: parpol Islam bertahan, bahkan meningkat dari Pemilu 2009.
Meski muslim Indonesia secara umum konservatif dalam akidah dan ibadah, namun secara politik mereka cenderung tidak memandang penting keterwakilan politik Islam. Bahkan non-muslim dan minoritas bisa terpilih menjadi gubernur di wilayah mayoritas muslim. Namun demikian, dengan muslim adalah mayoritas, Islam tidak pernah absen dari panggung politik nasional. Parpol Islam selalu mampu bertahan, namun selalu gagal menjadi pemenang pemilu dan meraih kekuasaan. Mengapa Islam politik gagal meraih dukungan publik secara luas?
Islam, Indonesia dan Demokrasi
Islam di Indonesia masuk dengan begitu banyak cara dimana komunitas lokal menjadi muslim dengan tetap mempertahankan adat dan budayanya, menciptakan kultur Islam lokal yang begitu beragam. Ketiadaan pemimpin muslim yang otoritatif, membuat masyarakat muslim Indonesia cenderung terfragmentasi dengan isu, agenda dan patron masing-masing. Karakter muslim Indonesia yang moderat dan toleran, dan hanya puritan untuk ibadah khususnya rukun Islam yang lima, membuat agenda ideologis partai politik, seperti implementasi hukum syariah, tidak pernah mendapat dukungan publik yang memadai.
Meski demikian, demokrasi di Indonesia tidak pernah sepenuhnya menjadi demokrasi sekuler. Serupa dengan pengalaman India, Swiss dan Austria, demokrasi di Indonesia mempromosikan nilai-nilai relijius dengan mensintesakan antara kebebasan individu dan kepentingan masyarakat muslim dalam sistem hukum yang plural. Bahkan di tingkat lokal, ratusan “Perda Syariah” telah diterbitkan, yang melarang minuman keras, judi dan prostitusi, mengatur pengelolaan zakat, hingga menetapkan seragam pakaian muslimah.
Secara menarik, tidak ada parpol Islam yang memegang kekuasaan dominan baik di eksekutif maupun legislatif di daerah-daerah yang menerapkan “perda syariah” tersebut (Buehler, 2016). Gerakan “implementasi syariah” di tingkat lokal bukan merupakan hasil dari pergeseran ideologis, namun lebih merupakan hasil dari petualangan politik elit lokal yang justru berasal dari parpol nasionalis-sekuler.
Kerasnya kompetisi politik dan besarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk memenangkan pemilu, membuat aspirasi kelompok Islam mendapatkan momentum dengan balasan berupa dukungan dan legitimasi relijius kepada elit lokal.
Fakta ini sekaligus memunculkan sebuah kenyataan pahit: kurangnya basis akar rumput dan lemahnya konsolidasi parpol Islam telah membuat parpol Islam gagal menjadi tempat agregasi kepentingan dan representasi kelompok Islam yang efektif. Gerakan moral 212 yang berperan penting dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, menjadi contoh paling kuat disini.
Profil pemilih parpol Islam secara umum adalah pemilih rasional dari kelas menengah, terdidik, dan sadar politik, jauh dari tipikal pemilih tradisional yang mudah dimobilisasi dalam hubungan patron-klien (Pellicer and Wegner, 2015). Lebih jauh, dengan menyandang gelar “Islam”, ekspektasi terhadap parpol Islam jauh lebih tinggi. Ketika pemilih melihat parpol Islam tidak berbeda secara signifikan dengan partai sekuler penguasa yang korup dan tidak kompeten, hukuman pemilih berupa migrasi suara menjadi tak terhindarkan.
Migrasi suara pemilih keras menerpa parpol Islam pasca Pemilu 1999. PBB yang mewarisi spirit Masyumi dan sempat bersinar di Pemilu 1999, gagal masuk parlemen pada pemilu 2009 dan 2014. PPP yang merupakan parpol Islam terbesar di Pemilu 1999 dan 2004, mengalami kejatuhan suara signifikan sejak Pemilu 2009. Hanya PKS yang relatif mampu bertahan.
Moderasi Ideologis dan Strategi Elektoral
Secara umum, parpol Islam tampil semakin moderat dan dengan agenda yang semakin pragmatis. Fenomena ini tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara Muslim lainnya. Beberapa pakar percaya bahwa keterlibatan dalam proses politik, baik secara demokratis ataupun tidak, akan membawa pemimpin partai Islam, seperti partai Wasat di Mesir (Wickham, 2004) dan AKP di Turki (Mecham, 2004), menjadi moderat secara ideologis seperti beralih dari teokrasi ke demokrasi.
Jika moderasi ideologis parpol Islam di negara lain, seperti AKP, merupakan hasil political learning dalam jangka panjang sebagai respon strategis atas berbagai hambatan institusional dan pengalaman demokrasi untuk memperoleh kekuasaan (Bermeo, 1992), maka moderasi ideologis parpol Islam di Indonesia lebih merupakan strategi elektoral untuk secara pragmatis meningkatkan raihan suara dalam jangka pendek. Moderasi ideologis dipercaya membuat parpol Islam menjadi semakin lebih diterima dan karenanya memperoleh dukungan publik yang semakin luas.
Namun tesis moderasi ideologis sebagai straegi elektoral ini mendapat beberapa kualifikasi. Dukungan publik terhadap parpol Islam tidak hanya karena citra moderat semata, namun juga karena kinerja politik yang sangat baik. Di Turki, moderasi ideologis AKP berjalan beriringan dengan kinerja partai yang sangat baik di tingkat lokal, terutama di daerah-daerah industri baru, dan secara pragmatis menyelesaikan permasalahan ekonomi dengan sikap business-friendly, pro Uni Eropa, pro globalisasi dan outward-looking.
Kemenangan partai Islam dibanyak negara juga seringkali lebih disebabkan oleh kegagalan partai sekuler-nasionalis petahana yang lemah dan korup. Di Aljazair, kemenangan FIS terjadi beriringan dengan turunnya kinerja partai mayoritas FLN. Keluarnya kelompok menengah dari FLN yang kemudian menggeser dukungannya ke FIS, khususnya pelaku usaha kecil, birokrat tingkat bawah dan kelompok terdidik, menjadi kunci kemenangan FIS (Chibber, 1996). Kemenangan partai Refah dan AKP di Turki sebagian besar disebabkan oleh fragmentasi kekuatan politik, distribusi pendapatan yang sangat tidak merata, keterpurukan ekonomi negara dan partai penguasa yang dipersepsi korup.
Fenomena meroketnya suara PKS pada pemilu 2004 sejatinya lebih memperlihatkan kemuakan publik terhadap parpol petahana yang dipandang korup dan tidak kompeten, dibandingkan sebagai hasil moderasi ideologis. Ketika ekspektasi publik ini tidak terpenuhi, maka strategi moderasi ideologis PKS yang berlanjut dan bahkan dengan derajat yang lebih tinggi pada pemilu 2009, tidak hanya di tingkat nasional bahkan juga di tingkat lokal (Buehler, 2012), tidak lagi memperlihatkan hasil.
Di saat yang sama, moderasi ideologis sebagai strategi elektoral ini juga membuat parpol Islam membidik massa cair yang merupakan swing-voters dengan politik pencitraan melalui iklan dan kampanye yang masif. Strategi seperti ini menciptakan kebutuhan pendanaan yang besar dan persisten. Dengan keterbatasan sumber pendanaan, strategi ini diduga telah memaksa parpol Islam terlibat dalam aktivitas rent-seeking, praktek umum semua parpol di negara miskin demokratis.
Untuk keluar dari jebakan “partai menengah” dan menjadi pemenang pemilu, parpol Islam ke depan harus mampu menampilkan orientasi kerakyatan secara pragmatis dan kemampuan partai dalam mengelola pemerintahan. Hanya dengan demikian persepsi kesenjangan antara idealitas Islam partai dan kompromi-kompromi politik di lapangan dapat diredakan dan parpol Islam tidak dilihat semata berorientasi pada kekuasaan. Parpol Islam juga harus mampu memunculkan “creative action” berbasis kinerja, bukan citra moderat semata, yang akan mengizinkan mereka mempertahankan orisinalitas-nya dan pada saat yang sama memperluas daya tarik mereka terhadap pemilih.