RUU Pertanahan yang merupakan inisiatif DPR sejak 2015, tiba-tiba menghentak publik karena nyaris disahkan DPR di akhir masa jabatannya pada 24 September lalu. RUU yang baru dibahas serius di Agustus 2019 dan diklaim akan melengkapi UU Pokok Agraria 1960 ini, secara ironis lebih banyak didorong oleh kepentingan kapital besar. RUU ini sarat ketentuan yang menguntungkan bisnis diatas hak rakyat seperti pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat, kriminalisasi bagi rakyat yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran, memfasilitasi akuisisi lahan skala besar oleh korporasi, masa berlaku hak guna usaha (HGU) mencapai 90 tahun, memberi impunitas bagi perusahaan yang pernah melanggar ketentuan HGU, mengizinkan kepemilikan asing atas rumah susun, hingga pendirian bank tanah yang akan menjadikan tanah sekedar komoditas pasar.
Sejatinya, Indonesia membutuhkan UU Pertanahan yang memperkuat UU Pokok Agraria 1960, dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan struktural agraria yang banyak menghimpit kehidupan rakyat selama ini. Krisis agraria di Indonesia terlihat dari banyak dimensi seperti ketimpangan struktur kepemilikan tanah yang sangat tajam, konflik agraria yang masif dan persisten, laju kerusakan ekologis yang semakin cepat dan luas, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali, serta besarnya kasus kemiskinan yang berasosiasi dengan ketiadaan lahan produktif bagi masyarakat kelas bawah. Ke arah itu seharusnya UU Pertanahan menuju.