Menimbang RUU Ekonomi Syariah

Oleh: Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies)

Berbeda dengan program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019, secara menarik sejumlah RUU terkait ekonomi syariah masuk dalam Prolegnas 2020-2024, yaitu RUU tentang Perubahan atas UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, RUU tentang Perubahan atas UU No. 41/2004 tentang Wakaf, RUU tentang Perubahan atas UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, RUU tentang Perubahan atas UU No. 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, RUU tentang Destinasi Wisata Halal, dan RUU tentang Ekonomi Syariah. Secara menarik, semua RUU terkait ekonomi syariah dalam Prolegnas 2020-2024 ini seluruhnya adalah RUU inisiatif DPR.

Berbeda dengan RUU Produk Halal, RUU Wakaf, RUU Zakat, RUU Keuangan Haji dan RUU Wisata Halal yang merupakan UU sektoral, RUU Ekonomi Syariah (ES) terlihat ingin menjadi UU payung (umbrella act) yang menaungi semua UU sektoral di bidang ekonomi syariah. Dari draft awal, RUU ES ini bertujuan memberi landasan hukum bagi semua aktivitas ekonomi syariah, dengan mengatur bentuk badan hukum, lembaga pengawas/regulator, batasan-batasan bagi pelaku usaha, standardisasi akad hingga mekanisme penyelesaian sengketa.

RUU ES juga bertujuan memfasilitasi integrasi berbagai sektor ekonomi syariah, dengan cara mendorong peran keuangan syariah dalam pengembangan industri halal, integrasi social finance dan commercial finance, dan pengembangan ekosistem ekonomi syariah. RUU ES juga bermaksud memperbesar dampak sosial-ekonomi dari ekonomi syariah, dengan mendorong dampak ekonomi syariah terhadap penciptaan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan dan peran UMKM.

RUU ES juga bermaksud memberikan insentif fiskal dan non-fiskal, dalam rangka mendorong kesamaan level of playing field untuk ekonomi syariah. Dan terakhir, RUU ES ingin memperkuat koordinasi pengembangan ekonomi syariah dengan pembentukan koordinator pengembangan ekonomi syariah nasional.

Urgensi Dukungan Regulasi

Dalam semua kasus pengembangan ekonomi syariah di era kontemporer, peranan regulasi menjadi titik kritis terpenting. Seluruh inisiasi awal ekonomi syariah modern dimulai dengan dukungan regulasi yang memadai. Regulasi untuk industri syariah adalah tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif, perlindungan konsumen dan memfasilitasi industri untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan industri untuk level playing field, infrastruktur yang efektif, berfungsi-nya pasar dan penetrasi ke pasar global.

Peranan pemerintah dan otoritas pengawasan bukanlah untuk mendikte industri atau memaksakan aturan, namun untuk memfasilitasi pengembangan industri syariah dengan menciptakan lingkungan usaha yang kompetitif dan sehat. Tujuan dari setiap usaha regulasi adalah untuk mempertahankan kepercayaan terhadap industri secara keseluruhan, melindungi konsumen dan mendorong kesadaran publik. Regulasi juga harus memberi kerangka untuk kebijakan, standar, kontrol dan instrumen pengawasan yang baik dan efektif, sesuai dengan syariah dan standar internasional.

Dalam perspektif ini maka masuknya RUU ES dalam Prolegnas 2020-2024 patut mendapat apresiasi. Namun demikian, dengan kedudukan yang sama sebagai UU, RUU ES sebagai umbrella act ini berpotensi menciptakan terjadinya irisan dan pengulangan pengaturan dengan UU sektoral. Sebagai misal, terkait keinginan RUU ES memberi landasan hukum dengan mengatur bentuk badan hukum, lembaga pengawas/regulator, batasan-batasan bagi pelaku usaha, standardisasi akad hingga mekanisme penyelesaian sengketa, berpotensi mengulang ketentuan dalam UU No. 19/2008 tentang SBSN, UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji,UU No. 41/2004 tentang Wakaf, UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, hingga UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama.

Sementara itu, keinginan RUU ES untuk meningkatkan dampak sosio-ekonomi dari ekonomi syariah, sulit diwujudkan karena membutuhkan affirmative policies yang jelas dan terukur terhadap kelompok terbawah masyarakat, yang tidak disinggung sama sekali dalam RUU ini. Di sisi lain, keinginan RUU ES untuk memberi insentif fiskal berpotensi tidak efektif karena tidak berada di regulasi perpajakan. Relasi pajak dengan ekonomi syariah yang dibangun di rezim UU non perpajakan, seperti UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, akan selalu diganjar dengan lemahnya penegakan regulasi di lapangan.

Omnibus Law untuk Akselerasi Ekonomi Syariah

Banyaknya RUU terkait ekonomi syariah yang masuk dalam Prolegnas 2020-2024 patut mendapat apresiasi karena memperlihatkan komitmen tinggi parlemen dalam mengembangkan ekonomi syariah. Namun, UU sektoral ekonomi syariah ini selama ini cenderung berfokus hanya pada pemberian kepastian hukum, stabilitas industri dan perlindungan konsumen, namun amat minim insentif untuk akselerasi industri. Dengan mengandalkan pertumbuhan organik, perkembangan industri ekonomi syariah cenderung lamban. UU sektoral juga membuat pengembangan industri ekonomi syariah cenderung terfragmentasi.

Kehadiran RUU ES sayangnya hampir dipastikan tidak akan mampu memberi solusi atas permasalahan diatas. Dengan posisi sebagai umbrella act, RUU ES minim insentif dan tidak memiliki kerangka untuk sinergi pengembangan industri ekonomi syariah yang selama ini terfragmentasi.

Untuk pengembangan ekonomi syariah yang lebih progresif, signifikan mendorong pertumbuhan industri dan memberi manfaat luas kepada masyarakat, penulis mengajukan usulan agar RUU ES sebagai umbrella act diganti dengan RUU Percepatan Pengembangan Ekonomi Syariah (PPES) sebagai omnibus law. Hanya dengan political will yang kuat melalui omnibus law, kita dapat berharap akan adanya akselerasi ekonomi syariah.

Tujuan terpenting dari RUU PPES adalah untuk pembentukan “Otoritas” Ekonomi Syariah Nasional, yang memiliki kewenangan implementatif untuk percepatan pengembangan ekonomi syariah nasional, bukan sekedar koordinasi, “Koordinator” saja tidak akan pernah mencukupi. Rencana revisi Perpres No. 91/2016 tentang KNKS jauh dari memadai. Penulis mengusulkan agar “Otoritas” Ekonomi Syariah Nasional ini diberikan kepada Kementrian Keuangan atau Kemeneg BUMN dengan posisi Kepala KNKS setara wakil menteri.

Tujuan berikutnya dari RUU PPES adalah memberikan kebijakan afirmatif yang jelas dan terukur untuk percepatan pengembangan ekonomi syariah. Sebagai omnibus law, RUU ini diharapkan mampu mendorong kebijakan afirmatif untuk akselerasi ekonomi syariah, yaitu konversi satu bank BUMN menjadi bank syariah, kewajiban pengelolaan transaksi terkait syariat Islam dan bernilai ibadah, dilakukan secara eksklusif oleh perbankan dan keuangan syariah, seperti dana haji, zakat, infak, wakaf, dan masjid, serta membuka kemitraan strategis antara Pemerintah dan lembaga filantropi Islam untuk akselerasi penanggulangan kemiskinan.

Terakhir, RUU PPES ini bertujuan untuk melakukan koordinasi dan sinergi antar sektor ekonomi syariah, yaitu sinergi perbankan syariah dan keuangan mikro syariah, sinergi keuangan syariah dengan zakat dan wakaf, sinergi dana haji dengan keuangan mikro syariah dan wakaf, serta sinergi perbankan syariah dan industri halal.

Pasca pendirian Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) melalui Perpres No. 91/2016, belum ada kebijakan afirmatif lanjutan yang signifikan dari pemerintah dalam mengembangkan ekonomi syariah. Mendorong RUU PPES sebagai omnibus law dalam Prolegnas 2020-2024 akan menjadi milestone terpenting pengembangan ekonomi syariah nasional.

 

Republika, 24 Desember 2019