Kerja Layak Metropolitan

Indonesia telah mengenal dan mengadopsi konsep kerja layak (decent work) sejak awal merdeka. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menetapkan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kerja layak adalah prasyarat untuk kehidupan yang berkualitas. Bekerja merupakan bagian terbesar dari aktivitas kehidupan seseorang, baik dari sisi waktu yang dihabiskan dan juga dari perannya dalam aktualisasi diri individu. Sebagai agenda global, konsep kerja layak baru diperkenalkan pada akhir 1990-an.

Hingga kini Indonesia masih menghadapi masalah ketenagakerjaan yang mendasar, penciptaan lapangan kerja. Meski tingkat pengangguran terbuka Indonesia adalah rendah dan terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir, dari kisaran 7 persen menjadi kini di kisaran 5 persen, namun pekerja tidak penuh adalah signifikan. Bila jumlah pengangguran kini adalah 7,7 juta orang, maka jumlah pekerja yang bekerja dibawah 40 jam per pekan adalah tujuh kali lipatnya, 56,2 juta orang. Besarnya jumlah pengangguran dan pekerja tidak penuh membuat agenda kerja layak masih jauh dari ideal, terutama tingkat upah yang rendah.

Upah rendah adalah fenomena lama yang tidak memudar bahkan kini menguat seiring perkembangan teknologi yang semakin bias ke keahlian tinggi sehingga permintaan terhadap pekerja terdidik meningkat, menurunnya pertumbuhan pasokan relatif tenaga kerja terdidik dan lemahnya institusi pasar kerja yang melindungi pekerja kelas bawah terutama di sektor informal.

Tekanan pemilik kapital besar seringkali menambah dalam permasalahan. Kompetisi dan daya saing global seringkali tidak sejalan dengan regulasi ketenagakerjaan nasional, khususnya terkait upah minimum dan kerja layak. Efisiensi produksi terutama oleh industri padat karya, cenderung tidak kompatibel dengan standar perburuhan dimana upah minimum hanya berada di tingkatan subsisten.