Survei: Kesejahteraan Pelaku Usaha Mikro di Kota Rendah, Mulai Berutang hingga Tak Dapat Bansos

Para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) jadi salah satu pihak yang merasakan badai akibat pandemi Corona (Dok. BRI)

KOMPAS.com — Direktur IDEAS Yusuf Wibisono mengatakan tingkat kesejahteraan keluarga usaha ultramikro yang ada di kota sangat rendah. Hal ini berdasarkan hasil survei yang IDEAS lakukan ke 200 responden yang ada di wilayah Jabodetabek yang dilakukan pada Juli 2020.  Sebagian besar responden, yakni sebesar 81,5 persen tinggal di rumah kontrakan, dan 58,0 persen di antaranya memiliki utang. Sementara yang sama sekali tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah sebanyak 47,5 persen.

“Sangat ironis, kerentanan hidup keluarga miskin kota ini bisa luput dari bantuan pemerintah. Sebesar 47,5 persen responden mengaku sama sekali tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah,” ujar Yusuf melalui keterangan tertulis, Kamis (14/1/2021).

Meski beroperasi dengan jam kerja yang relatif tidak jauh berbeda sebelum pandemi, tetapi omzet harian usaha ultramikro mengalami kejatuhan drastis di masa pandemi.

“Bila sebelum pandemi hanya 24,5 persen responden yang keuntungan hariannya di bawah Rp 100.000, maka di masa pandemi angka ini melonjak menjadi 77,1 persen responden,” kata Yusuf.

Dengan kejatuhan permintaan pasar yang dalam, usaha ultramikro melakukan penyesuaian dengan menurunkan produksi. Seiring kejatuhan omset harian selama pandemi, modal kerja harian responden usaha ultramikro juga turun dari rata-rata Rp 341.000 menjadi Rp 233.000.

“Temuan-temuan ini menunjukkan betapa keras pandemi menghantam usaha ultra mikro,” ujar Yusuf.

IDEAS juga menemukan data bahwa hambatan terbesar dari responden usaha ultramikro perkotaan sebelum berturut-turut adalah tidak memiliki lokasi usaha (60,5 persen), produk yang sering tidak laku dan minimnya pembeli (16,0 persen) dan tidak adanya tambahan modal (10,5 persen).

Selama pandemi, hambatan terbesar responden bergeser berturut-turut menjadi produk yang sering tidak laku dan minimnya pembeli (45,5 persen), tidak memiliki lokasi usaha (36,0 persen), razia atau penertiban (8,0 persen) dan larangan berdagang (6,0 persen). Di masa pandemi, seluruh hambatan usaha terfokus pada jatuhnya permintaan pasar dan hilangnya pelanggan.

“Pemerintah harus memfokuskan intervensi pada dukungan pemasaran yang memberikan hasil secara cepat bagi usaha ultra mikro. Klastering digital untuk usaha ultra mikro misalnya, dapat meningkatkan jangkauan usaha ultra mikro ke konsumen,” pungkas Yusuf.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Survei: Kesejahteraan Pelaku Usaha Mikro di Kota Rendah, Mulai Berutang hingga Tak Dapat Bansos”, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/01/14/204055326/survei-kesejahteraan-pelaku-usaha-mikro-di-kota-rendah-mulai-berutang-hingga.
Penulis : Ade Miranti Karunia
Editor : Ambaranie Nadia Kemala Movanita