Setahun berperang melawan pandemi, Indonesia masih jauh dari berhasil dalam mengendalikan pandemi, terlebih melenyapkannya. Per 9 Maret 2021, kasus positif Indonesia mendekati 1,4 juta kasus, tertinggi di Asia Tenggara, dengan kurva yang kian curam. Bila untuk 100 ribu kasus pertama dibutuhkan 147 hari, untuk 100 ribu kasus terkini hanya dibutuhkan 12 hari saja. Korban jiwa yang berjatuhan semakin mengkhawatirkan. Bila untuk 5 ribu kematian pertama dibutuhkan 150 hari, maka untuk 5 ribu kematian terkini hanya dibutuhkan 22 hari saja.
Di saat yang sama, kerusakan ekonomi yang ditimbulkan Covid-19 adalah luas. Dibandingkan 2019, jumlah penduduk miskin 2020 bertambah 2,8 juta orang, dengan jumlah pengangguran bertambah 2,1 juta orang. Atas nama kebutuhan tinggi untuk “menyelamatkan perekonomian”, mencegah kebangkrutan bisnis, menekan pengangguran dan menahan kemiskinan massal, maka kemudian “new normal” diluncurkan. Sebagaimana IDEAS telah khawatirkan di Republika, 11 Juni 2020, pelonggaran restriksi yang prematur ini kemudian memicu transmisi virus yang masif.
Dilema antara kesehatan dan ekonomi telah banyak membuat negara-negara terjebak pada siklus infeksi virus berulang dengan kerusakan ekonomi yang semakin masif. Kerusakan ekonomi skala-besar telah memukul hampir seluruh sektor ekonomi secara keras, dan menghempaskan jutaan pelaku ekonomi dalam waktu singkat, termasuk pelaku ekonomi kecil.
Hilangnya lapangan kerja dan kemiskinan, telah memaksa penduduk melakukan apapun untuk bertahan hidup. Sepanjang 2019-2020, sebagian pekerja berpindah dari kota ke desa yang membuat tenaga kerja sektor pertanian naik hingga 3,9 juta, dan sebagian yang lain semakin memenuhi sektor informal perkotaan dimana tenaga kerja sektor perdagangan dan penyediaan makanan-minuman bertambah masing-masing 980 ribu orang dan 110 ribu orang.