Di tengah pandemi yang masih mengganas dan belum diketahui kapan akan berakhir, secara mengejutkan, pemerintah berkeras menggulirkan proyek raksasa: memindahkan ibu kota. Hanya dalam 43 hari, UU Ibu Kota Negara (IKN) selesai dibahas dan disahkan di parlemen. Dalam perhitungan awal, setidaknya dibutuhkan Rp 466 triliun untuk membangun IKN baru. Tidak kepalang tanggung, pemerintah juga menetapkan target yang sangat ambisius untuk megaproyek ini: Presiden telah pindah ke Istana Negara yang baru dan merayakan Peringatan Hari Kemerdekaan ke-79 pada 17 Agustus 2024 di IKN.
Memindahkan ibukota terjadi di banyak negara, namun tidak ada yang dilakukan di saat krisis besar melanda negara. Berkeras mendorong pemindahan IKN dengan kebutuhan pembiayaan sangat besar di saat APBN menanggung beban pandemi yang begitu berat, menjadi pertanyaan besar yang tak terjawab. Dengan tax ratio hanya 8,44 persen, membayar beban bunga utang saja APBN 2022 sudah tak mampu, dan kini harus digelayuti proyek mercusuar tanpa urgensi.
Awalnya, APBN hanya direncanakan menanggung 19,2 persen kebutuhan pembiayaan IKN, atau Rp 89,5 triliun. Namun angka tersebut kini membengkak menjadi 54,0 persen atau Rp 251,5 triliun. Dengan minimnya kajian perencanaan proyek dan lemahnya daya tarik lokasi IKN, APBN berpotensi menanggung mayoritas atau bahkan seluruh kebutuhan pembiayaan IKN. Dalam skenario terburuk, terjadi kenaikan biaya dan seluruh pembiayaan ditanggung APBN, kami memproyeksikan megaproyek IKN ini berpotensi membebani APBN hingga Rp 53 triliun per tahun hingga 12 tahun ke depan.
APBN 2022 adalah tahun terakhir relaksasi batas atas defisit anggaran. Tahun 2022 ini adalah konsolidasi fiskal yang krusial dimana defisit 4,85 persen di APBN 2022 harus turun menjadi defisit maksimal 3 persen dari PDB pada APBN 2023. Pada 2023 burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah juga berakhir dimana monetisasi defisit anggaran oleh bank sentral yang pada 2020-2021 saja senilai Rp 831,7 triliun, akan dihentikan. Kehadiran mendadak megaproyek IKN akan merusak konsolidasi fiskal dan berpotensi besar membuat disiplin makroekonomi semakin runtuh.