Oleh: Yusuf Wibisono (Direktur IDEAS)
Kisruh mahalnya minyak goreng, telah mendorong eksperimen berbagai kebijakan mulai dari kebijakan satu harga pada 19 Januari 2022, pencabutan kebijakan HET untuk minyak goreng kemasan pada 16 Maret 2022 untuk mengakhiri kelangkaan, hingga langkah drastis pelarangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya mulai 28 April 2022 yang kemudian dicabut pada 23 Mei 2022.
Dalam kisruh tingginya harga minyak goreng inilah terjadi tragedi: jatuhnya harga sawit petani rakyat. Sebelum larangan ekspor CPO, tren harga tandan buah segar (TBS) sawit adalah meningkat dan mencapai harga terbaiknya pada Maret 2022. Pascalarangan ekspor CPO pada 28 April 2022, harga TBS langsung mengalami kejatuhan. Setelah pencabutan larangan ekspor CPO pada 23 Mei 2022, kejatuhan harga TBS tidak berakhir.
Kombinasi dari lambannya pemulihan ekspor dan jatuhnya harga CPO internasional membuat harga TBS di tingkat petani terus tertekan. Di banyak daerah, harga TBS dilaporkan berada di bawah Rp 1.000 per kg, bahkan di beberapa daerah mencapai titik nadir di bawah Rp 500 per kg pada akhir Juni 2022, nyaris tidak bernilai.
Pada 2021, dari lebih 15 juta hektare lahan sawit, diperkirakan 6,1 juta hektare di antaranya adalah perkebunan rakyat yang dikelola oleh 2,6 juta orang petani rakyat. Dengan skala usaha yang kecil, rata-rata di bawah 3 hektare, produktivitas lahan dan kualitas TBS yang rendah, serta rantai pemasaran ke pabrik kelapa sawit yang panjang dan selalu melibatkan tengkulak, membuat harga TBS di tingkat petani seringkali rendah dan di bawah harga referensi. Ketergantungan petani pada pabrik kelapa sawit semakin tinggi ketika pabrik kelapa sawit memiliki pasokan TBS dari petani plasma dan perkebunan sawitnya sendiri.
Untuk kesejahteraan petani sawit, dibutuhkan reformasi tata kelola sawit nasional, terutama reformasi BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Antara 2015-2021, program peremajaan sawit rakyat oleh BPDPKS hanya 5,5% dari total belanja BPDPKS, dengan cakupan 243 ribu hektare dan total anggaran Rp 6,59 triliun, sehingga bantuan pendanaan peremajaan hanya berkisar rata-rata Rp 27 juta per hektare. Dari 6,72 juta hektare lahan sawit rakyat, sekitar 2,78 juta hektare membutuhkan peremajaan. Dengan kata lain, program peremajaan sawit rakyat antara 2015-2021 hanya 8,7% dari total kebutuhan.
Reformasi sawit nasional terpenting adalah menjadikan BPDPKS sebagai garda terdepan pendanaan petani sawit rakyat sekaligus fasilitator legalisasi lahan sawit rakyat. Menyediakan pendanaan untuk peremajaan sawit rakyat adalah krusial karena minimnya kapasitas permodalan petani dan keengganan sektor perbankan formal untuk menyediakan kredit terkait tingginya risiko dan ketiadaan agunan. Kebutuhan pendanaan peremajaan dari penebangan, penanaman bibit, dan perawatan hingga siap panen di tahun ke-4, membutuhkan anggaran setidaknya Rp 60 juta per hektare. Petani yang mampu memperoleh pembiayaan dari perbankan untuk peremajaan tanaman sawit banyak terjebak utang yang seringkali berbunga tinggi karena terganggunya arus kas akibat produksi yang tidak berkelanjutan pascaperemajaan dan ketiadaan penghasilan yang setara dari mata pencaharian alternatif setidaknya selama 3-5 tahun pascaperemajaan.
Reformasi terpenting lainnya adalah reforma aset bagi petani sawit, melalui kepemilikan pada pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng. Dengan kelembagaan ekonomi petani sawit yang telah terbentuk dengan baik, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memfasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit dan minyak goreng yang dikelola oleh petani. Di Indonesia kini setidaknya telah terdapat 32 koperasi dan 13 asosiasi petani sawit yang memiliki sertifikasi RSPO (roundtable on sustainable palm oil), di mana semua proses manajemen organisasi telah teraudit secara internasional. Dengan dukungan kebijakan yang memadai, mewujudkan pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng mikro yang dikelola sendiri oleh petani adalah tidak sulit.
Reformasi krusial dan mendesak terakhir adalah menahan ekspansi industri biodiesel berbasis CPO. Kebijakan biodiesel lahir dari upaya menahan kejatuhan harga CPO akibat produksi yang berlebihan seiring ekspansi lahan perkebunan sawit dari 4,1 juta hektar pada 2000 kini menembus 15 juta hektare. Untuk menyerap kelebihan pasokan CPO ini maka diciptakanlah permintaan domestik yang signifikan, yaitu melalui program mandatori biodiesel berbasis CPO, yang kini dengan campuran FAME (fatty acid methyl ester) 30% dan solar 70% (B30). Namun, karena terdapat selisih harga antara biaya produksi biodiesel berbasis CPO yang mahal dan harga jual solar yang lebih murah, maka diberikan insentif biodiesel yang bersumber dari pungutan ekspor CPO, yang dananya dikelola oleh BPDPKS. Namun pungutan ekspor CPO telah menekan harga TBS di tingkat petani, karena eksportir dan pabrik CPO cenderung memindahkan beban pungutan ekspor CPO ke harga beli TBS yang lebih rendah.
Selain menjaga kelestarian hutan, meningkatkan keamanan pangan dan mengurangi limbah berbahaya, pengelolaan minyak jelantah sebagai biodiesel akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyerap banyak tenaga kerja dan menurunkan angka kemiskinan.
Sepanjang 2015-2021, BPDPKS menghimpun dana Rp 144,7 triliun. Dalam rentang waktu yang sama, total belanja BPDPKS mencapai Rp 119 triliun, di mana sekitar Rp 110 triliun di antaranya atau 92,4% mengalir untuk subsidi biodesel. Dan sepanjang 2015-2021, perusahaan pemasok biodiesel dikuasai hanya oleh 10 kelompok usaha besar saja.
Dengan besarnya kapasitas perusahaan pemasok biodiesel berbasis CPO yang kini mencapai 12,9 juta kiloliter per tahun, dan rencana pemerintah untuk menggulirkan program mandatori B40, berimplikasi pada kebutuhan yang semakin besar untuk pasokan bahan baku dan lahan perkebunan sawit. Dengan kata lain, potensi ekspansi lahan perkebunan sawit ke depan masih akan terus besar, sehingga ancaman terhadap hutan adalah tinggi.
Terdapat peluang besar pemanfaatan minyak jelantah sebagai biodiesel untuk keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Di Indonesia, nyaris seluruh jenis makanan membutuhkan minyak goreng sebagai salah satu bahan mediasi pengolahannya. Namun, cara sebagian besar masyarakat yang memasak dengan sistem menggoreng deep frying, terlebih disertai pemakaian berulang minyak goreng dan pemanasan minyak goreng secara berlebihan, berpotensi meningkatkan kolesterol jahat dan memicu senyawa radikal bebas yang bisa memicu kanker. Maka menciptakan pasar untuk minyak jelantah adalah krusial untuk keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.[]
Selama ini potensi minyak jelantah terabaikan. Jika pengumpulan minyak jelantah dari sektor rumah tangga, hotel, restoran, katering, hingga industri pengolahan makanan dapat dioptimalkan, potensi minyak jelantah untuk biodiesel adalah besar. Dengan harga minyak jelantah yang jauh lebih murah dari harga CPO, maka kebutuhan subsidi biodiesel akan jauh lebih kecil jika produksi biodiesel bertransformasi dari berbasis CPO ke berbasis minyak jelantah.
Karena minyak jelantah dihasilkan oleh masyarakat dan dapat diolah oleh masyarakat, maka selain menjaga kelestarian hutan, meningkatkan keamanan pangan dan mengurangi limbah berbahaya, pengelolaan minyak jelantah sebagai biodiesel akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyerap banyak tenaga kerja dan menurunkan angka kemiskinan. Saatnya pemerintah mereformasi BPDPKS, dengan memindahkan alokasi ratusan triliun subsidi dari biodiesel berbasis CPO ke biodiesel berbasis minyak jelantah.[]
Artikel ini telah tayang di investor.id Edisi 3 September 2022 dengan judul “Berapa Jumlah Ideal BLT BBM Bagi Rakyat Miskin”, Klik untuk baca: https://investor.id/opinion/305517/reformasi-sawit-nasional