Dugaan skandal transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepanjang 2009-2023 sebesar Rp 349,87 triliun yang diungkap oleh Menko Polhukam yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), mengguncang negeri. Data PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) atas aliran mutasi rekening yang profil dan besarannya mencurigakan yang melibatkan 491 ASN Kemenkeu, membuka kotak pandora: besarnya potensi penerimaan negara yang hilang.
Tindak lanjut yang serius atas skandal ini menjadi krusial dan relevan dengan kondisi APBN saat ini yang dipenuhi kerentanan struktural yang telah menahun: terbatasnya kapasitas fiskal, besarnya beban belanja terikat, defisit anggaran yang telah menjadi norma, dan ketergantungan pada pembiayaan utang yang masif. Kasus ini harus menjadi momentum reformasi anggaran dengan tujuan tunggal: melonjakkan penerimaan perpajakan dan menciptakan ruang fiskal yang luas untuk kesejahteraan bangsa.
Menciptakan ruang fiskal (fiscal space) yang memadai, adalah prasyarat awal untuk belanja publik yang berpihak pada kelompok miskin (pro-poor budget). Ruang fiskal tercipta ketika masih tersedia sumber daya fiskal yang memadai setelah pemerintah menyelesaikan pembayaran kewajiban-kewajiban pada pihak-pihak. Dalam konteks ini, memastikan penerimaan negara yang signifikan dan terus bertumbuh adalah krusial untuk penciptaan pro-poor budget.
Penerimaan perpajakan memegang peran kunci sebagai backbone penerimaan negara. Kinerja penerimaan perpajakan akan menentukan postur anggaran dan ruang fiskal yang dimiliki pemerintah.
Defisit anggaran dan utang pemerintah yang persisten banyak bersumber dari kelemahan kinerja perpajakan, disamping inefisiensi belanja publik. Tekanan pembayaran utang pada gilirannya melonjakkan pengeluaran, menurunkan ruang fiskal dan meningkatkan kebutuhan untuk utang baru, menciptakan lingkaran tak berujung.