Jakarta, CNN Indonesia — Dana Moneter Internasional (IMF) meminta Presiden Jokowi melonggarkan kebijakan larangan ekspor nikel Cs.
Permintaan itu tertuang dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia itu yang dikeluarkan IMF pada Minggu (25/6). Sejatinya IMF mengaku menyambut baik ambisi Indonesia meningkatkan nilai tambah mineral melalui larangan ekspor tersebut.
Namun, mereka mencatat bahwa kebijakan Indonesia itu belum didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut. Kebijakan juga belum dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas.
“Dalam konteks itu, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain,” tulis laporan tersebut.
Permintaan IMF itu memantik reaksi keras dari Indonesia. Salah satunya, dari Menteri Investasi/Kapala BKPM Bahlil Lahadalia.
Akhir pekan lalu, tiba-tiba ia menggelar jumpa pers untuk merespons permintaan IMF itu. Dalam pernyataannya Bahlil menyebut IMF telah mengganggu kedaulatan Indonesia.
“Saya sebagai mantan aktivis merasa terganggu ketika ada sebuah kedaulatan bangsa kita, independensi negara kita digores oleh siapapun dan saya pikir ini harus kita lawan cara-cara seperti ini tidak lagi untuk kita tempatkan mereka di tempat yang baik di bangsa ini. Dia tidak usahlah campur-campur mengurus Indonesia, ” ujarnya pada Jumat (30/6).
Ia mengatakan pemerintah tak lagi mau dijerumuskan oleh IMF sebagaimana pernah terjadi pada saat diterpa krisis moneter pada 1997-1998 lalu. Saat itu, alih-alih menyembuhkan krisis di Indonesia, IMF justru malah membuat sakit Indonesia kian parah.
Indonesia yang saat itu harusnya cukup dirawat di ruang rawat inap malah harus di ICU-kan karena rekomendasi IMF. Bahlil mengatakan pengalaman itu sudah cukup.
Apalagi Indonesia sekarang sudah tak punya tanggungan utang ke IMF.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mencium ada kepentingan donatur utama dibalik desakan IMF agar Jokowi melonggarkan kebijakan larangan ekspor nikel cs.
Donatur itu adalah negara maju. Mereka kata Yusri adalah; Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Prancis dan Jepang.
Donatur itu berupaya main cantik dan halus dengan memanfaatkan IMF mendesak Jokowi untuk melonggarkan larangan ekspor nikel cs demi kepentingan mereka.
“Sudah dapat dipastikan ada negara donatur di balik rekomendasi IMF ke Indonesia. Donatur utama IMF adalah negara industri dengan kemampuan ekonomi tinggi, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Prancis, dan Jepang. Sehingga sebagai donatur besar IMF akan coba digunakan untuk menyarankan kepada Pemerintah Indonesia buka keran ekspor mineral mentah,” ungkapnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/7).
Yusri menyebut Indonesia merupakan produsen nikel terbesar dunia saat ini. Berdasarkan riset United States Geological Survey (USGS) 2020 yang dipublikasikan pada Januari 2021, Indonesia memiliki cadangan nikel 21 juta ton atau 23 persen dari cadangan nikel dunia yang mencapai 94 juta ton.
Itu menjadi yang terbesar di dunia. Pada 2022 Indonesia juga menjadi produsen nikel terbesar di dunia, yaitu sebanyak 1,6 juta ton dari total produksi dunia yang mencapai 3,3 juta ton.
Oleh karena itu, keberanian Jokowi melarang ekspor bahan mentah termasuk nikel berpotensi mengguncang industri dunia. Maklum, nikel sekarang memang jadi rebutan di tengah geliat industri kendaraan listrik.
Ia mengatakan gejolak kinerja industri negara-negara besar itu akibat larangan ekspor nikel cs yang dilakukan Indonesia bakal menurunkan pertumbuhan ekonomi mereka dan membawa malapetaka berupa meningkatnya pengangguran. Inilah ketakutan yang dihadapi Barat.
Yusri yakin Jokowi akan menolak saran IMF itu. Pasalnya, pelonggaran larangan ekspor nikel Cs memang bertentangan dengan konstitusi dalam negeri.
“Mengingat kita tidak berutang dengan IMF, sumber daya mineral adalah salah satu modal utama sumber dana pembangunan nasional, seharusnya Presiden Jokowi tidak perlu tunduk atas saran IMF. Saya yakin Jokowi akan menolak saran IMF,” tandasnya.
Segendang sepenarian dengan Yusri, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono memang mencium ada agenda tersembunyi IMF dalam rekomendasi tersebut. Ia menegaskan naif jika menganggap IMF tak punya kepentingan dalam upaya intervensi ini.
Namun, Yusuf enggan menuduh lebih dalam apa motif dan kepentingan IMF di dalam rayuannya kepada Presiden Jokowi untuk melonggarkan larangan ekspor bahan mentah.
Ia mengatakan sejatinya, Indonesia tak boleh anti dengan rekomendasi IMF. Pasalnya, sebelum IMF memberikan rekomendasi itu, sejumlah pihak di dalam negeri juga sudah mengkritisi kebijakan hilirisasi yang dilakukan Jokowi
“Di sisi lain, menurut saya kita tidak bisa serta merta menolak dan mengabaikan rekomendasi IMF begitu saja. Kita tahu jauh sebelum rekomendasi IMF ini sudah banyak pihak di dalam negeri yang memberi catatan kritis atas kebijakan hilirisasi tambang,” tutur Yusuf.
Ia paham hilirisasi menjadi strategi besar baru pemerintah untuk reindustrialisasi serta membawa Indonesia tak lagi cuma menjadi eksportir bahan mentah, melainkan sebagai eksportir produk manufaktur intensif teknologi bernilai tambah tinggi.
Namun, Yusuf menilai adopsi strategi hilirisasi nikel yang dilakukan Jokowi terlalu sering diglorifikasi dengan pendapatan ekspor yang melesat tinggi. Ia menyinggung soal Jokowi yang doyan pamer pendapatan Indonesia di kisaran US$3 miliar pada 2018 melonjak ke US$33 miliar pada tahun lalu.
“Namun, menurut saya sejumlah dampak negatif dari kebijakan hilirisasi ini sering tidak diungkap secara utuh. Kebijakan hilirisasi nikel kita sangat bergantung pada asing, minim kontribusi pada penerimaan negara, dan tidak banyak berkontribusi pada pendalaman struktur industri karena hanya menghasilkan produk setengah jadi,” kritiknya.
Yusuf merinci enam masalah hilirisasi ala Jokowi yang tak diungkap ke publik.
Pertama, hilirisasi nikel punya ketergantungan sangat tinggi kepada modal asing, terutama dari China. Ia mencatat pemurnian dan pengolahan nikel sangat didominasi oleh asing, terutama smelter China yang relokasi ke Indonesia untuk mendapatkan bahan baku.
Menurutnya, penanaman modal asing (PMA) mencapai 91,3 persen dari total investasi di industri logam dasar pada 2020-2022.
Kedua, hilirisasi nikel yang sangat didominasi modal asing berdampak terhadap melemahnya pendapatan valuta asing (valas) dan stabilitas nilai tukar rupiah. Ini adalah imbas pendapatan ekspor smelter yang kebanyakan dipulangkan kembali ke perusahaan induk penanam modal.
Dengan kata lain, surplus neraca perdagangan Indonesia yang terlihat besar tak berarti banyak karena surplus dalam transaksi berjalan tetap kecil.
Ketiga, Yusuf menegaskan sejatinya penerimaan negara dari hilirisasi cenderung rendah. Ia menilai pelarangan ekspor bijih nikel membuat harga nikel di pasar domestik jatuh, jauh di bawah harga internasional.
“Harga bijih nikel yang jatuh membuat penerimaan royalti jauh menurun. Dengan sebagian besar investasi di hilirisasi mendapatkan tax holiday, maka penerimaan pajak perusahaan juga cenderung minim. Dengan sebagian besar produk smelter diekspor dan tidak dikenakan pungutan, maka pendapatan negara dari PPN dan pajak ekspor juga minim,” jelas Yusuf.
Keempat, ia menduga kebijakan hilirisasi berbasis pelarangan ekspor bijih tambang telah memicu ekspor dan penambangan nikel illegal dalam jumlah signifikan. Menurutnya, negara malah banyak merugi dengan hanya mengandalkan pelarangan ekspor tanpa penegakkan hukum yang jelas.
Menurutnya, pelarangan ekspor bijih nikel dan harga patokan mineral (HPM) bijih nikel di pasar domestik yang 50 persen jauh lebih rendah dari harga internasional adalah dalang ekspor bijih nikel illegal. Yusuf menuding praktik ilegal ini dilakukan terutama oleh pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak terafiliasi dengan smelter.
Ia lantas menyinggung temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal indikasi ekspor illegal bijih nikel ke China hingga 5,3 juta ton dalam rentang Januari 2020 hingga Juni 2022.
Kelima, Yusuf mengkritik soal penerimaan upah dan gaji pekerja hilirisasi yang juga rendah karena smelter sifatnya sangat padat modal. Penerimaan perusahaan pemegang IUP lokal yang tidak berafiliasi ke smelter juga anjlok akibat HPM bijih nikel di pasar domestik sangat rendah.
“Nilai tambah hilirisasi dari penciptaan lapangan kerja yang kecil ini pun masih harus dibagi antara tenaga kerja asing (TKA) dan lokal karena perusahaan smelter China banyak membawa tenaga kerja dari negaranya, termasuk tenaga kerja tidak terlatih yang seharusnya menjadi ‘jatah’ pekerja lokal,” ungkapnya.
Keenam, ia menilai nasionalisme ekonomi dari kebijakan hilirisasi tambang berupa peningkatan nilai rantai produksi di dalam negeri sudah berbelok arah. Begitu pula dengan niat Indonesia memutus ketergantungan pada pasar global sebagai pemasok bahan mentah.
Industri antara dan hilir domestik yang belum beroperasi hingga kini membuat industrialisasi berbasis ekstraksi dan pengolahan nikel yang sangat terkonsentrasi hanya berfokus di 3 daerah, yakni Morowali, Halmahera Selatan, dan Halmahera Tengah. Hal ini pada akhirnya membuat Indonesia malah makin mendukung kapitalis global.
“Secara ironis justru telah menyeret Indonesia semakin dalam di pusaran kapitalisme global sebagai pemasok nikel setengah jadi dengan kapital raksasa China sebagai aktor utama,” kritik Yusuf.
“Ketiadaan permintaan pasar domestik membuat produk setengah jadi dari smelter-smelter nikel nyaris seluruhnya diekspor sehingga manfaat penciptaan nilai tambah dari hilirisasi justru dinikmati oleh industri di luar negeri. Glorifikasi keberhasilan hilirisasi dengan merujuk nilai ekspor nikel dan produk turunannya justru menjadi ironi besar,” sambungnya.
Yusuf menegaskan Jokowi beserta jajaran seharusnya berbenah soal kebijakan hilirisasi tambang. Terlepas dari rayuan IMF, hilirisasi ala Jokowi memang kudu dievaluasi, terutama soal proses transfer teknologi dan perlindungan lingkungan.
Tanpa rencana transfer teknologi, penguasaan industri oleh entitas domestik, perlindungan lingkungan hidup yang ketat, serta pengembangan industri hilir secara simultan, Yusuf menilai kebijakan hilirisasi cuma menjadi instrumen industrialisasi negara lain. Pada akhirnya, Indonesia hanya menjadi tempat relokasi industri kotor yang sangat tidak ramah lingkungan sekaligus menjadi pemasok barang setengah jadi yang murah ke kapitalis global.
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna juga satu suara dengan tiga pengamat lainnya. Ia meminta Indonesia tidak menutup diri rapat-rapat dari masukan IMF tersebut.
Menurutnya, Jokowi dan para pembantunya cukup merespons secara terbuka masukan lembaga keuangan internasional itu. Putra meminta pemerintah bisa menyajikan objektivitas data riil yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis terkait pelarangan ekspor bahan mentah dan hilirisasi.
“Sebagai negara berdaulat tentunya Indonesia memiliki ruang berargumentasi. Namun, pro dan kontra dari nilai tambah perlu dijelaskan dengan objektif, utamanya kepada publik,” tegas Putra.
Namun, bukan berarti Indonesia kudu tunduk terhadap IMF. Apalagi, saat ini pemerintah tidak punya utang apa pun ke lembaga tersebut.
sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230704070428-85-969110/bau-amis-as-jerman-cs-di-balik-imf-minta-jokowi-ekspor-nikel-cs-lagi/2