KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mendorong pemerintah untuk segara menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Untuk itu, Direktur IDEAS Yusuf Wibisono menyesalkan, sikap pemerintah yang memutuskan menunda dan mundur penepan cukai minuman berpemanis hingga di tahun depan.
Pasalnya, kebijakan tersebut sejatinya telah diterapkan di enam negara ASEAN sehingga pemerintah tidak perlu ragu untuk memungut cukai minuman berpemanis.
“Indonesia kini sudah darurat obesitas dan diabetes, karena itu kebijakan untuk menakan konsumsi minuman dengan kandungan gula tinggi sudah sangat mendesak untuk segera direalisasikan di Indonesia,” ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (31/7).
Terlebih lagi, cukai minuman berpemanis sudah masuk dalam target APBN 2023 sebesar Rp 3,08 triliun. Oleh karena itu, dirinya sangat mengherankan jika penerapan cukai MBDK ini kembali diundur hingga tahun 2024.
Yusuf menyarankan, pemerintah bisa mengenakan tarif cukai minuman berpemanis pada kisaran 20% hingga 25%. Dengan tarif cukai yang signifikan tersebut, maka tujuan penerapan cukai MBDK akan tercapai, yaitu turunnya konsumsi MBDK.
Hanya saja, menurutnya, penerapan cukai ini lebih rumit jika dibandingkan pajak, yaitu mengharuskan adanya pemeriksaan fisik barang kena cukai (BKC) dan keharusan adanya pita cukai sebagai bukti pelunasan.
Untuk itu, layer dari tarif cukai MBDK sebaiknya dibuat tidak terlalu banyak dan diusahakan sesederhana mungkin untuk menekan peluang industri melakukan penghindaran cukai MBDK ini.
Selain itu, penerapan cukai MBDK ini juga membutuhkan penerapan yang menyeluruh ke seluruh produk minuman berpemanis, baik dalam kemasan maupun tidak dalam kemasan. Misalnya minuman berpemanis di restoran siap saji.
“Hal ini agar konsumen tidak mengalihkan konsumsinya dari MBDK yang terkena cukai ke minuman berpemanis yang tidak dalam kemasan yang tidak terkena cukai,” terang Yusuf.