TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, menilai rekomendasi Dana Moneter Internasional alias IMF perlu disikapi dengan jernih dan rasional, serta tidak bisa langsung disebut upaya mengintervensi kedaulatan negara.
“Meski kebijakan hilirisasi nikel kental dengan nasionalisme ekonomi, namun rekomendasi IMF ini tidak bisa serta merta disebut upaya untuk mengintervensi kedaulatan negara,” ujar Yusuf pada Tempo, Minggu, 2 Juli 2023.
Dia mengakui hilirisasi tambang menjadi strategi besar pemerintah untuk reindustrialisasi sekaligus pendalaman struktur industri yang membuka peluang Indonesia berpartisipasi dalam rantai pasok global. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi sebagai eksportir bahan mentah, tapi sebagai eksportir produk manufaktur intensif teknologi bernilai tambah tinggi.
“Adopsi strategi hilirisasi nikel ini sering diglorifikasi dengan pendapatan ekspor nikel yang kini melesat tinggi, dari hanya kisaran US$ 3 miliar pada 2018 menjadi kini menembus US$ 33 miliar pada 2022,” beber Yusuf. “Namun sejumlah dampak negatif dari kebijakan hilirisasi ini sering tidak diungkap secara utuh.”
Kebijakan hilirisasi nikel Indonesia, kata dia, sangat bergantung pada asing. Menurut Yusuf, hal tersebut minim kontribusi pada penerimaan negara dan tidak banyak berkontribusi pada pendalaman struktur industri karena hanya menghasilkan produk setengah jadi.
“Pertama, hilirisasi nikel memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada modal asing, terutama smelter Cina,” ungkap Direktur Ideas tersebut.
Dia melanjutkan pemurnian dan pengolahan bijih tambang yang sangat padat modal dan teknologi membuat investasi di hilirisasi nikel didominasi asing, terutama smelter Cina yang relokasi ke Indonesia untuk mendapatkan bahan baku. Sepanjang 2020 hingga 2022, menurut dia Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai 91,3 persen dari total investasi di industri logam dasar.
“Kedua, karena hilirisasi nikel ini sangat didominasi modal asing, maka dampak hilirisasi terhadap pendapatan valas (valuta asing) dan stabilitas nilai tukar rupiah cenderung lemah karena pendapatan ekspor smelter di-repatriasi ke perusahaan induk,” ujar Yusuf. “Meski surplus neraca perdagangan terlihat besar, namun surplus dalam transaksi berjalan adalah kecil.”
Ketiga, Yusuf menilai penerimaan negara dari hilirisasi cenderung rendah. Menurut dia, pelarangan ekspor bijih nikel membuat harga nikel di pasar domestik menjadi jatuh, jauh dibawah harga internasional yang membuat penerimaan royalti jauh menurun.
Dia melanjutkan, dengan sebagian besar investasi di hilirisasi mendapatkan tax holiday, penerimaan pajak perusahaan juga cenderung minim. “Dengan sebagian besar produk smelter di ekspor dan tidak dikenakan pungutan, maka pendapatan negara dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan pajak ekspor juga minim,” tutur dia.
Keempat, kata dia, kebijakan hilirisasi berbasis pelarangan ekspor bijih tambang diduga telah memicu ekspor illegal dan penambangan nikel illegal dalam jumlah yang signifikan. Dengan penegakan hukum yang lemah dan tanpa pelarangan ekspor saja, Yusuf menilai negara sering dirugikan dari rendahnya penerimaan pajak akibat praktek under-invoicing dalam ekspor komoditas.
“Terkini, KPK mengungkap indikasi ekspor illegal bijih nikel ke Cina hingga 5,3 juta ton dalam rentang Januari 2020 – Juni 2022,” ungkap Yusuf.
Adapun penyebab kelima adalah penerimaan upah dan gaji pekerja cenderung rendah karena smelter bersifat sangat padat modal. Nilai tambah hilirisasi dari penciptaan lapangan kerja yang kecil ini, menurut Yusuf masih harus dibagi antara tenaga kerja asing dan lokal.
Sebab, perusahaan smelter Cina banyak membawa tenaga kerja dari negaranya, termasuk tenaga kerja tidak terlatih yang seharusnya menjadi ‘jatah’ pekerja lokal.
“Perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) lokal yang tidak berafiliasi ke smelter juga mengalami kejatuhan penerimaan yang signifikan akibat HPM (Harga Patokan Mineral) bijih nikel di pasar domestik yang sangat rendah,” ujar Yusuf.
Terakhir, Yusuf menilai nasionalisme ekonomi dari kebijakan hilirisasi tambang, yaitu meningkatkan nilai rantai produksi di dalam negeri sekaligus memutuskan diri dari ketergantungan pada pasar global sebagai pemasok bahan mentah, telah menjadi ironi.
Sebab, telah menyeret Indonesia semakin dalam di pusaran kapitalisme global sebagai pemasok nikel setengah jadi dengan kapital raksasa Cina sebagai aktor utama.
Dengan industri antara dan industri hilir domestik yang belum beroperasi hingga kini, kata dia, industrialisasi berbasis ekstraksi dan pengolahan nikel yang terkonsentrasi hanya di Morowali, Halmahera Selatan dan Halmahera Tengah, justru menjadi sangat terintegrasi dengan pasar global.
Menurut Yusuf, ketiadaan permintaan pasar domestik membuat produk setengah jadi dari smelter-smelter nikel nyaris seluruhnya diekspor. Dengan begitu, manfaat penciptaan nilai tambah dari hilirisasi justru dinikmati oleh industri di luar negeri.
“Glorifikasi keberhasilan hilirisasi dengan merujuk nilai ekspor nikel dan produk turunannya, justru menjadi ironi besar,” beber Yusuf.
Lebih jauh, dia menilai kebijakan hilirisasi tambang layak dievaluasi. Tanpa rencana transfer teknologi, penguasaan industri oleh entitas domestik, perlindungan lingkungan hidup yang ketat, serta pengembangan industri hilir secara simultan, kata dia, kebijakan hilirisasi hanya akan menjadi instrumen industrialisasi negara lain dengan hanya sekedar menjadi tempat relokasi industri kotor yang sangat tidak ramah lingkungan.
“Sekaligus menjadi pemasok barang setengah jadi yang murah ke kapitalis global,” tutur dia.
IMF sebelumnya melalui dokumen bertajuk IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia memberikan catatan tentang rencana hilirisasi nikel di Indonesia.”Direksi mencatat strategi diversifikasi Indonesia yang berfokus pada kegiatan hilir dari perusahaannya komoditas mentah, seperti nikel,” kata IMF dalam dokumen tersebut, dikutip Minggu.
Meski begitu, IMF menyambut baik ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambahan dalam ekspor, menarik investasi asing langsung, dan memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi.
IMF juga menilai kebijakan tersebut harus diinformasikan oleh analisis biaya-manfaat lebih lanjut, dan dirancang untuk meminimalkan limpahan lintas batas. “Dalam konteks itu, direksi meminta pertimbangan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain,” beber IMF.
sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1743699/imf-minta-ri-setop-hilirisasi-nikel-pengamat-tidak-serta-merta-upaya-intervensi-kedaulatan-negara?page_num=3