Membenahi Harga dan Penyaluran Gas Melon

TEMPO.CO, JAKARTA – Pemerintah berupaya membenahi penyaluran elpiji bersubsidi. Tak hanya prosedur pembelian, pemerintah juga akan menetapkan formula penghitungan harga eceran tertinggi (HET) sebagai pedoman bagi pemerintah daerah. Selama ini, penentuan HET elpiji diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa standar formula penghitungan.

“Selama ini HET elpiji didasarkan pada peraturan pemda. Setelah kami evaluasi, di beberapa daerah, harga elpiji justru di atas HET. Makanya perlu pedoman untuk menentukan HET dan pelaksanaannya,” ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tutuka Ariadji, dalam forum diskusi daring, kemarin.

Ia mengatakan Kementerian Energi telah berkoordinasi dengan beberapa pemerintah daerah. Harapannya, dokumen pedoman itu bisa selesai pada bulan ini sehingga bisa segera diterapkan dan dilakukan evaluasi terhadap batasan harga eceran di daerah. “Sekarang tiap daerah menentukan HET sendiri dan kenyataan di lapangan bisa jauh di atasnya.”

Tutuka menjelaskan, pedoman penentuan HET elpiji tak lantas membuat batas harga eceran di tingkat nasional menjadi sama atau satu harga. Dokumen itu nantinya berisi formula atau cara menghitung HET bagi daerah. Hasil penghitungan tersebut bisa berbeda-beda karena setiap daerah memiliki perbedaan kondisi transportasi, jarak, dan geografis. Kendati belum mau membocorkan rincian formula penghitungannya, Tutuka memastikan ketentuan itu akan memberikan konversi dari jarak distribusi menjadi kuantifikasi harga. Formula tersebut juga akan memberikan margin yang wajar kepada penjual.

Pekerja memeriksa data KTP milik warga saat akan membeli elpiji 3 kg di pangkalan elpji Kelurahan Debong Tengah, Tegal, Jawa Tengah, 27 Juli 2023. ANTARA/Oky Lukmansyah

Berdasarkan pantauan Tempo di beberapa daerah, kemarin, harga gas elpiji melon di tingkat eceran saat pasokan tersedia pun kerap di atas HET. Di Surabaya, misalnya, warga Kecamatan Wonokromo dan Kecamatan Gubeng biasa membeli gas melon dengan harga hingga Rp 19 ribu per tabung. Padahal, menyitir Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2015, HET elpiji tabung 3 kilogram di Jawa Timur, yang berada dalam radius 60 kilometer dari depot elpiji Pertamina, sebesar Rp 16 ribu.

Harga tersebut saat ini hanya tercapai apabila konsumen membeli langsung di pangkalan. Sementara itu, aturan yang sama menyebutkan harga di pangkalan semestinya Rp 14.500 per tabung. Pada saat pasokan langka di daerah lainnya di Jawa Timur, Kediri, dua pekan lalu, harga elpiji 3 kg di tingkat eceran bisa melambung jauh hingga mencapai Rp 25 ribu per tabung. Untuk mendapatkan harga sesuai dengan HET, lagi-lagi konsumen harus menebusnya di pangkalan.

Ketentuan HET elpiji juga sempat diterapas oleh sejumlah pedagang gas di Medan. Berdasarkan pengakuan sejumlah warga, pada pekan lalu mereka kesulitan membeli elpiji 3 kg. Kalaupun ada, pasokannya minim dan harganya mencapai Rp 30 ribu per tabung. Padahal HET di sana hanya Rp 18 ribu per tabung.

Perbaikan Penyaluran Elpiji Bersubsidi

Penetapan formula HET hanyalah salah satu bagian untuk membenahi penyaluran elpiji. Pemerintah juga tengah berupaya mengalihkan subsidi elpiji 3 kilogram dari subsidi ke barang menjadi ke orang alias konsumen. Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, PT Pertamina (Persero) kini tengah mendata para pembeli elpiji 3 kilogram. Pendataan itu dilakukan di pangkalan penjualan elpiji.

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi, Maompang Harahap, mengatakan pendataan dimulai pada 1 Maret lalu. Pendataan ditargetkan kelar tahun ini sehingga pemerintah bisa menerapkan skema penyaluran gas melon tepat sasaran pada tahun depan. Selama masa pendataan, Pertamina tidak membatasi pembelian gas melon. Hanya, masyarakat yang membeli di pangkalan perlu menunjukkan kartu tanda penduduk dan kartu keluarga saat pertama kali membeli.

Setelah terdaftar di sistem, masyarakat tinggal menunjukkan KTP untuk pembelian berikutnya. Sementara itu, untuk pelaku usaha mikro, pendaftaran harus disertai foto diri di depan tempat usaha. “Ini komitmen pemerintah melakukan transformasi subsidi elpiji 3 kilogram agar lebih tepat sasaran serta berbasis target penerima dan terintegrasi dengan program perlindungan sosial lainnya,” kata Maompang.

Pekerja menunjukkan tabung gas elpiji tiga kilogram di Patokan, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, 2 Agustus 2023. ANTARA/Muhammad Mada

Penyaluran elpiji bersubsidi secara tepat sasaran menjadi target pemerintah. Realisasi penyaluran gas bersubsidi selalu naik, rata-rata 4,5 persen per tahun sejak 2019 hingga 2022. Pada saat yang sama, terjadi penurunan realisasi volume penyaluran elpiji non-subsidi sebesar 10,9 persen sepanjang 2019-2022. Pemerintah pun mempertanyakan penyebab kondisi tersebut. Salah satu dugaannya adalah adanya migrasi penggunaan elpiji non-subsidi ke elpiji bersubsidi. Dugaan lainnya adalah adanya penyelewengan, misalnya pengoplosan dari elpiji melon ke elpiji non-subsidi.

Dengan data yang terkumpul dan sudah dicocokkan pada tahun ini, pemerintah akan memastikan penyaluran elpiji bersubsidi mulai tahun depan lebih tepat sasaran. “Perlu dilakukan penyempurnaan pendistribusian elpiji 3 kilogram yang saat ini berlaku. Pencatatan manual dalam logbook pangkalan rawan manipulasi sehingga tidak mampu menunjukkan profil pengguna tabung 3 kilogram sesungguhnya,” ujar Maompang.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, mengatakan, hingga 31 Juli lalu, perseroan telah mendata 6,7 juta pengguna elpiji melon di seluruh pangkalan di Indonesia. Ada jumlah transaksi harian yang mencapai 8,8 juta konsumen per hari. “Harapannya, pendataan dan masuk ke sistem digital selesai pada kuartal III 2023,” kata dia.

Tak Cukup Membatasi Penyaluran

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan pemerintah sudah seharusnya mengendalikan konsumsi elpiji melon agar lebih tepat sasaran. Data menunjukkan sekitar 68 persen konsumsi gas subsidi dinikmati masyarakat mampu. Di sisi lain, beban subsidi gas melon terus meningkat karena harga komoditas cenderung tinggi di tingkat global.

Meski demikian, ia khawatir pembatasan melalui pendataan itu pun tidak efektif lantaran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dan Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem diduga tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Masih ada inclusion dan exclusion error alias potensi masyarakat yang tidak berhak masuk dalam data atau sebaliknya. “Jika pemerintah berkeras ingin melakukan pembatasan elpiji 3 kg dengan cara seperti itu, ketersediaan basis data kemiskinan yang valid dan selalu update menjadi keharusan,” ujar Yusuf.

Menurut dia, cara yang seharusnya dicoba pemerintah serta berpotensi lebih efektif dan adil untuk menekan beban subsidi elpiji adalah membangun jaringan gas untuk rakyat secara masif. Pemipaan gas dinilai akan menghasilkan efisiensi yang signifikan dalam distribusi gas ke masyarakat dibanding melalui tabung. “Setidaknya ada tiga keuntungan besar dari pemipaan gas, yaitu harga yang lebih murah, turunnya beban APBN untuk subsidi elpiji, dan turunnya ketergantungan pada impor elpiji sekaligus menghemat devisa.” Apalagi saat ini Indonesia memiliki gas alam yang melimpah dan kerap diekspor dalam bentuk LNG.

Senada dengan Yusuf, Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, mengatakan pemerintah harus melakukan upaya lain di samping membatasi penjualan elpiji melon guna mengurangi beban subsidi. Selain pembangunan jaringan gas, konversi ke jenis kompor lain, seperti kompor listrik dan kompor surya, menurut dia, bisa menjadi opsi. “Kita perlu belajar dari kesalahan saat konversi minyak tanah ke gas elpiji 15 tahun lalu. Kita tidak boleh hanya bergantung pada satu sumber energi untuk kebutuhan rumah tangga. Diperlukan adanya bauran energi,” ujarnya.

CAESAR AKBAR | MEI LEANDHA (MEDAN) | HARI TRI WASONO (KEDIRI) | HANAA SEPTIANA (SURABAYA)

sumber: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/483641/membenahi-harga-dan-penyaluran-elpiji