JAKARTA, investor.id – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 serta tahun-tahun sebelumnya dinilai telah masuk ke dalam situasi ‘gali lubang tutup lubang’, yakni membayar beban utang dengan utang baru. Ini setidaknya ditandai dengan keseimbangan primer yang defisit, rasio beban bunga utang terhadap penerimaan perpajakan yang jauh di atas level wajar, serta strategi pengelolaan utang yang terfokus pada refinancing.
Kondisi tersebut akan makin berat mengingat mulai tahun ini hingga empat tahun ke depan, APBN menghadapi periode puncak jatuh tempo utang pemerintah pusat. Bila mengacu pada pola defisit anggaran tahun ini, sekitar 70% dari total utang baru harus disetorkan kembali ke kreditur untuk membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman. Sementara rasio beban bunga utang terhadap penerimaan perpajakan mencapai 20,6% (outlook), jauh di atas batas aman 7 – 10%.
Berdasarkan data profil utang jatuh tempo yang diterbitkan Kementerian Keuangan tahun lalu, utang jatuh tempo tahun ini melonjak tajam menjadi Rp 556 triliun dari 2022 yang hanya Rp 106 trilun. Selanjutnya, utang jatuh tempo pada 2024 hingga 2027 naik menjadi di atas Rp 600 triliun, yaitu secara berurutan masing-masing Rp 644 triliun, Rp 601 triliun, Rp 675 triliun, dan kembali ke Rp 601 triliun. Utang jatuh tempo tersebut berpotensi naik dengan penerbitan utang baru.
Karena tingginya nilai utang tajuh tempo yang meliputi cicilan pokok dan bunga utang, sebagian besar utang baru digunakan kembali lagi ke kantong kreditur. Seperti tahun ini, pemerintah berencana untuk menerbitkan dan menaik utang baru senilai Rp 778,5 triliun. Dari total utang itu, Rp 523,5 triliun atau 67,2% harus diserahkan lagi ke kreditur untuk membayar cicilan pinjaman Rp 82,1 triliun dan bunga pinjaman Rp 441,4 triliun.
Sejumlah kalangan mengingatkan, situasi ‘gali lubang tutup lubang’ dalam APBN harus mulai diwaspadai karena beberapa risiko yang mengkhawatirkan. Alih-alih membuat perekonomian tumbuh kencang, stok utang pemerintah yang terus meningkat, diiringi dengan beban utang (bunga dan pokok) yang makin memberatkan, justru membuat potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang kian lemah. Pasalnya, ruang fiskal tersisa menjadi sangat terbatas.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyatakan, stok utang yang makin tinggi akan membuat alokasi anggaran publik makin tidak bersifat pro-poor yaitu dalam bentuk pembayaran bunga utang yang masif. Bahkan, menurut dia, berlimpah fakta empiris kontemporer telah membuktikan korelasi negatif dua variabel tersebut.
“Karena sebagian besar anggaran publik justru mengalir ke kelompok elit, bahkan ke luar negeri. Akibatnya, daya beli dan permintaan agregat akan selalu tertekan. Ini membuat pertumbuhan ekonomi di bawah tingkat optimalnya,” ujar Yusuf dalam paparannya saat menjawab pertanyaan Investor Daily pada Jumat (21/07/2023) malam.
Ia memberi contoh, beban pembayaran utang di APBN 2023 yang senilai Rp 441,4 triliun atau 14,4% dari total belanja negara yang sebesar Rp 3.061,2 trilun, hanya dialokasikan untuk sejumlah kecil investor. Angka tersebut bahkan sekitar 1,5 kali dari anggaran belanja subsidi dalam APBN 2023 yang ditetapkan Rp 298,5 triliun, yakni subsidi energi Rp 212,0 triliun dan subsidi nonenergi Rp 86,5 triliun.
Tidak hanya mengancam prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang, lonjakan utang publik yang tidak terkendali juga akan memberi tekanan inflasi dan merusak fungsi intermediasi keuangan dari perbankan. “Ini karena perbankan dengan cara sederhana beralih dari menyalurkan kredit ke sektor riil menjadi sekadar berinvestasi di SBN (Surat Berharga Negara),” ucap dia.
Menurut Yusuf, besaran utang baru berkorelasi kuat dengan cicilan pokok dan bunga utang. Sementara penghimpunan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Di awal era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni pada 2004, penerbitan SBN hanya Rp 32,3 triliun. Angka itu kemudian melonjak menjadi Rp 439 triliun pada 2014.
Sedangkan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019. Memasuki pandemi, penerbitan SBN melonjak makin kencang yakni menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021.
“Peningkatan besaran utang baru setiap tahun terlihat berkorelasi kuat dengan besaran beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN ‘baru’ di kisaran Rp 300 triliun. Pada 2019, angka ini melonjak hingga menembus Rp 700 triliun dan pascapandemi, pada 2021, menembus Rp 800 triliun,” papar Yusuf.
Sampai dengan akhir Mei 2023, posisi utang Pemerintah berada di angka Rp 7.787,51 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 37,85%. Dari total utang itu, Rp 6.934,25 triliun (89,04%) dalam bentuk SBN dan sisanya Rp 853,26 triliun (10,96%) dalam bentuk pinjaman. Baik secara nominal maupun rasio, posisi utang mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya yang masing-masing sebesar Rp 7.849,89 triliun dan 38,15%.
Bersifat Spekulatif
Menurut Yusuf, pembenaran pemerintah untuk berutang umumnya adalah bersifat spekulatif, yaitu bahwa utang akan digunakan untuk kegiatan produktif yang diproyeksikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari bunga utang. Dengan demikian, penerimaan perpajakan yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, akan mampu mengembalikan pokok utang dan sekaligus menutup beban bunganya.
Akibatnya, lanjut dia, kegagalan mendorong pertumbuhan dan menarik pajak dari pertumbuhan itu, harus dibayar dengan mahal, yakni ‘berutang kembali’. Di masa pandemi, kegagalan ini semakin masif dengan implikasi lonjakan utang yang sangat mengkhawatirkan. “Lambannya pemulihan ekonomi pascapandemi makin memperparah lingkaran jebakan utang tersebut,” tandas Yusuf.
Menaggapi kritikan terhadap kebijakan penambahan utang pemerintah, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengaku kini tak mau ambil pusing. Bahkan, ia menyebut bahwa masyarakat mengkritik kebijakan utang itu karena selama ini kurang teredukasi. “Jadi, kalau Anda bilang, ‘Bu Menteri Keuangan utang melulu,’ Anda sudah ketinggalan kereta jauh banget,” ucap dia, pekan lalu.
Menurut Menkeu, kenaikan utang pemerintah semestinya tidak hanya dilihat dari angka, tapi juga kebijakan pemerintah terkait penggunaan dana dari hasil utang yang terus naik tersebut. “Apakah menggunakan instrumen pajak atau instrumen subsidi, apakah menggunakan instrumen utang atau instrumen ekuitas?Itu semuanya menjadi sangat konkret,” ujar dia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Suminto menambahkan, pembiayaan utang selalu dilakukan secara terukur dan pengelolaannya secara prudent. Sehingga, kesinambungan fiskal bisa tetap terjaga dan risiko utang tetap terkendali. “Ini seperti disiplin fiskal menjaga defisit di bawah 3% dan rasio utang terhadap PDB di bawah batasan 60%,” ucap dia kepada Investor Daily, Jumat (21/07/2023) malam.
Selanjutnya, kata Suminto, untuk menjaga risiko pembiayaan kembali (refinancing risk), dilakukan beberapa upaya antara lain pertama, tetap menjaga kinerja dan disiplin APBN dan upaya konsolidasi fiskal jangka menengah sehingga defisit APBN dapat ditekan dan pembiayaan utang dapat dikendalikan. Kedua, optimalisasi pembiayaan nonutang untuk mengurangi pembiayaan utang yang dilakukan dalam tiga tahun terakhir.
Ketiga, pelaksanaan liability management yang dilakukan, misalnya melalui debt switch dan cash buyback untuk mengurangi jatuh tempo utang dalam jangka pendek. Keempat, pengembangan pembiayaan kreatif, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pembiayaan utang. “Dapat kami sampaikan bahwa indikator risiko utang pemerintah dapat dijaga dalam level aman terkendali, baik dari risiko refinancing, risiko nilai tukar dan risiko tingkat bunga,” tegas dia.
Selain itu, menurut Suminto, dalam jangka menengah dan panjang, pengelolaan utang masih dalam batas aman terkendali yang ditandai dengan pertama, rasio utang terhadap PDB makin turun seiring dengan kondisi perekonomian yang membaik. Kedua, Kinerja APBN terus membaik, seiring dengan upaya konsolidasi fiskal yang bahkan lebih cepat satu tahun dari yang ditargetkan 2023.
Sehingga, lanjut dia, penggunaan pembiayaan utang dapat dikendalikan. “Ketiga, pengembangan pasar yang dilakukan secara konsisten untuk mendorong tercapainya pasar SBN yang dalam, aktif dan likuid, sehingga dapat menurunkan cost of fund pembiayaan utang,” tutur Suminto.
Sementara itu, pada situasi pandemi Covid-19 lalu, terutama tahun anggaran 2020-2021, kebijakan fiskal dilaksanakan secara ekspansif dalam rangka penanganan pandemi maupun pemulihan ekonomi. Hal ini ditandai dengan defisit APBN yang cukup besar, yakni 6,1% PDB pada 2020 dan 4,6% PDB pada 2021.
Defisit APBN yang cukup tinggi selama pandemi harus dibiayai dengan utang pemerintah sehingga menyebabkan rasio utang pemerintah terhadap PDB naik dari 30,2% pada 2019 menjadi 40,7% pada 2021. “Pemerintah menggunakan APBN sebagai instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” pungkas dia.
Terfokus pada Refinancing
Yusuf menambahkan, akar masalah lain dari fenomena ‘gali lubang tutup lubang’ ini adalah strategi pengelolaan utang yang terfokus pada refinancing untuk memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo. Sehingga pengelolaan utang hanya sekadar utang baru untuk menutup kewajiban utang lama.
Akibatnya, stok utang pemerintah tidak pernah benar-benar turun. Pengelolaan portofolio utang hanya sekedar debt switching dan buyback, dengan pemanis terms and conditions yang lebih baik. Beban bunga utang terus meningkat dan pascapandemi melejit sangat tinggi. “Beban bunga utang melonjak dari 17,9% dari penerimaan perpajakan pada 2019, menjadi 24,4% pada 2020, jauh diatas batas aman 7 – 10%. Seiring pemulihan ekonomi, beban ini menurun namun tidak signfikan,” ungkap dia.
Menurut Yusuf, risiko utang terjaga ketika keseimbangan primer (primary balance), selisih antara penerimaan negara dan belanja negara minus bunga utang, bernilai positif dan jumlahnya mencukupi untuk membayar bunga utang. Sementara APBN telah mengalami defisit keseimbangan primer sejak 2012. “Secara ideal, surplus keseimbangan primer semestinya harus cukup besar agar mencukupi tidak hanya untuk membayar bunga utang saja namun juga cicilan pokok utang,” pungkas dia.
Kemampuan Bayar Meningkat
Secara terpisah, ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky menilai bahwa situasi utang dalam APBN secara spesifik belum bisa dikatakan sebagai ‘gali lubang tutup lubang’.
“Kondisi keseimbangan primer memang defisit. Tapi, apakah ini hal yang buruk? Enggak juga. Karena utang itu digunakan untuk membangun infrastruktur, mendorong pendidikan, kemudian mendorong aspek kesehatan. Jadi, tujuannya memang untuk meningkatkan produktivitas yang harapannya ke depan return lebih besar daripada utang yang kita ambil,” ucap dia.
Sehingga, menurut Riefky, profil utang Indonesia belum perlu terlalu diwaspdai. Apalagi, mesti utang jatuh tempo Indonesia terus meningkat, tapi kemampuan bayarnya juga meningkat. “Penerimaan kita meningkat, size ekonomi kita meningkat. Jadi, kemampuan kita untuk membayar utang juga meningkat. Yang perlu dilihat adalah size relatifnya,” jelas dia.
Terkait langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintahan untuk meningkatkan kemampuan membayar utang di tengah jatuh tempo yang sedang berada dalam puncaknya, menurut dia, tak lain adalah mendorong penerimaan dan memperbaiki kualitas belanja (quality spending). “Ini memang tampaknya agak sulit di tahun ini karena sedang Pemilu. Tapi kita harapkan reformasi untuk meningkatkan quality spending dan penerimaan negara bisa terus dilakukan,” ucap Riefky.
Pemerintah juga perlu mendorong kolaborasi dengan lembaga bank pembangunan multinasional. Ini bisa membantu pemerintah untuk mendanai agenda-agenda pembangunan berkelanjutan seperti green transition. “Jadi, kerja sama multilateral, skema pembiayaan KPBU, dan berbagai inovative financing perlu terus didorong. Iklim investasi dan bisnis juga perlu dijaga untuk mendorong investasi masuk ke Indonesia, sehingga bisa mengurangi beban-beban APBN,” jelas dia.
Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menyatakan bahwa situasi ‘gali lubang tutup lubang’ dalam APBN tidak sehat buat perekonomian Indonesia. “Besaran utang per akhir Mei yang menembus angka Rp 7.787,51 triliun, ini tentu perlu diwaspadai, mengingat profil utang Indonesia rata-rata tertimbang jatuh tempo di kisaran delapan tahun,” ujar anggota Fraksi Partai Gerindra tersebut.
Oleh karena itu, kata Kamrussamad, pemerintah perlu sungguh-sungguh membangun sumber-sumber ekonomi baru yang potensial. “Pemerintah juga perlu mempertimbangkan penghentian pembayaran bunga obligasi rekap senilai Rp 50 triliun yang setiap tahun membebani APBN. Karena ini hanya menguntungkan konglomerat,” tandas dia.
Baru-baru ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam paparan laporan berjudul ‘A World of Debt’ menyebutkan bahwa negara gagal adalah negara yang mengucurkan pembayaran bunga utang, lebih banyak daripada pembiayaan anggaran kesehatan dan pendidikan penduduknya. Dalam APBN 2022, pembayaran bunga utang adalah Rp 386,34 triliun, sedangkan anggaran pendidikan adalah Rp 621,28 triliun dan anggaran kesehatan Rp 255,39 triliun.
sumber: https://investor.id/macroeconomy/335871/waspadai-gali-lubang-tutup-lubang-apbn