Layanan mobilitas on-demand berbasis platform digital (ride-hailing) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat terutama di daerah perkotaan. Sejak kemunculannya pada 2010-an, pasar ride-hailing dengan cepat membesar di Indonesia, terutama layanan pemesanan makanan-minuman, kurir paket logistik dan transportasi on-demand berbasis sepeda motor (ojek daring). Dengan ketiadaan data resmi dari perusahaan aplikator, jumlah pengemudi ojek daring kini diperkirakan mencapai 4 juta orang di seluruh Indonesia, dengan seperempat diantaranya berlokasi di Jabodetabek. Jika estimasi dari asosiasi ojek daring ini sahih, penyerapan tenaga kerja sebagai ojek daring ini sangat signifikan, setara dengan 50 persen jumlah pengangguran terbuka.
Namun terlepas dari popularitas dan kecepatan pertumbuhan usahanya, model bisnis digital berbasis sharing-economy yang awalnya digadang sebagai sistem ekonomi baru yang berkeadilan ini, kini semakin jelas terlihat tidak berbeda dari kapitalis bengis yang tak sungkan mempraktekkan relasi kapital-buruh yang eksploitatif. Retorika otonomi dan independensi dalam menentukan jenis pekerjaan, waktu kerja hingga jumlah pendapatan yang diinginkan, populer dikenal dengan istilah gagah gig workers, menjadi jargon kosong untuk menutupi fakta eksploitasi pekerja informal yang dibayar murah tanpa pemberian hak dan perlindungan kerja yang memadai.