TEMPO.CO,JAKARTA – Risiko pembengkakan utang kembali mengintai dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Pemerintah merencanakan defisit anggaran tahun depan sebesar 2,29 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 522,85 triliun. Defisit itu bersumber dari alokasi belanja negara sebesar Rp 3.304,13 triliun dengan target pendapatan negara sebesar Rp 2.781,3 triliun.
Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah masih merencanakan pembiayaan lewat utang dengan target sebesar Rp 648,1 triliun. Selain untuk menutup defisit APBN, pembiayaan utang digunakan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan lainnya, seperti pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, dan kewajiban penjaminan. Merujuk pada Buku II Nota Keuangan RAPBN Tahun 2024, utang yang bersumber dari penerbitan surat berharga negara (SBN) akan mendominasi, yaitu mencapai Rp 666,4 triliun.
Direktur Eksekutif Indonesia Development and Islamic Studies, Yusuf Wibisono, mengatakan rencana penarikan utang baru dengan jumlah fantastis tersebut berpotensi membebani APBN dalam jangka panjang. Jika melihat posisi outstanding utang pemerintah hingga Juni lalu, total utang mencapai Rp 7.805,2 triliun. Rinciannya, SBN sebesar Rp 6.950,1 triliun, pinjaman luar negeri Rp 830,6 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 24,5 triliun.
“Dengan perkembangan terbaru, posisi utang pemerintah di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berada di kisaran Rp 8.500 triliun,” ujar Yusuf kepada Tempo, kemarin. Menurut dia, pembiayaan utang yang semakin meningkat pada 2023 berpotensi menimbulkan biaya dana atau cost of fund yang mahal. Pasalnya, tingkat suku bunga SBN diprediksi ikut terkerek naik seiring dengan kenaikan inflasi dan tren kenaikan suku bunga bank sentral secara global.
Surat berharga negara dengan tenor 10 tahun, misalnya, pada 2020 tingkat suku bunganya sebesar 5,9 persen, kemudian naik menjadi 6,4 persen pada 2021, menjadi 7 persen pada 2022, dan pada tahun ini diproyeksikan sebesar 6,8 persen. “Asumsi di RAPBN 2024 mematok tingkat bunga di 6,7 persen. Ini berpotensi tidak tercapai karena tren inflasi global masih belum reda,” kata Yusuf. Dengan tren suku bunga tinggi yang diyakini masih akan bertahan lama ke depan, penarikan utang baru berpotensi semakin mahal dan memberatkan APBN secara keseluruhan.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, hingga akhir tahun ini saja, utang pemerintah diperkirakan sudah menembus Rp 8.100 triliun. Hal itu mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan awal 2024, dengan kebijakan front loading atau penerbitan utang lebih awal. “Faktor lain dari kebijakan ini adalah untuk mengantisipasi tren kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat yang berisiko membuat selisih imbal hasil menyempit dengan SBN,” ujarnya.
Adapun pada 2024, pemerintah perlu mewaspadai tekanan dalam pengelolaan utang karena banyaknya faktor yang berpotensi mempengaruhi dinamika beban pembiayaan. “Dari aliran modal keluar yang disebabkan oleh faktor wait and see investor akibat pemilu dan kreditor juga bisa meminta bunga yang lebih tinggi sebagai kompensasi kenaikan suku bunga di negara maju, hingga stabilitas inflasi yang membuat penyerapan utang baru ada kemungkinan tidak optimal.”
Indikator lainnya yang harus menjadi perhatian pemerintah bukan saja rasio utang, tapi juga ketersediaan ruang fiskal setelah dikurangi beban bunga utang. “Apalagi tahun depan ada rencana kenaikan gaji ASN, program bantuan sosial yang naik karena postur belanja yang populis, dan kenaikan subsidi energi,” kata Bhima. Pemerintah juga diminta bersikap bijak dalam mengelola utang, dengan menghindari pembayaran bunga dan pokok utang yang mengandalkan utang baru atau menerapkan sistem gali lubang tutup lubang. Pendapatan negara harus terus digenjot, yang akhirnya menimbulkan konsekuensi pada agresivitas penarikan pajak dan berpotensi menimbulkan kontraksi pada pelaku usaha.
Risiko lain yang mengintai dari tumpukan beban utang adalah crowding out effect akibat penerbitan SBN yang terlalu agresif. “Bisa dibayangkan serapan SBN itu mau dibeli siapa, bank tentunya akan memarkir banyak dana di SBN. Akibatnya, penyaluran kredit bisa melambat dan mengganggu pertumbuhan sektor riil,” ujar Bhima. Adapun tahun depan, komposisi utang diproyeksikan terdiri atas 93 persen surat berharga dan 7 persen dari pinjaman. “Artinya, kita akan membayar bunga pasar yang jauh lebih mahal.”
Sementara itu, pembayaran bunga utang mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Alokasi pembayaran bunga utang pada 2019 tercatat sebesar Rp 275,88 triliun dan naik menjadi Rp 441,4 triliun pada 2023. Dalam RAPBN 2024, pembayaran bunga utang dialokasikan sebesar Rp 497,31 triliun atau naik 12,7 persen dari tahun ini. Rinciannya terdiri atas pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 456,84 triliun dan bunga utang luar negeri sebesar Rp 40,46 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah berkomitmen mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam mengelola pembiayaan pada tahun depan. “Kebijakan defisit anggaran diarahkan untuk mendukung kelanjutan konsolidasi fiskal serta untuk mendorong peningkatan produktivitas, kesejahteraan masyarakat, dan akselerasi transformasi ekonomi,” katanya.
Upaya tersebut juga akan disertai optimalisasi penerimaan negara, peningkatan kualitas belanja, serta kebijakan pembiayaan yang inovatif dan berkesinambungan. “Pembiayaan anggaran dilaksanakan searah dengan kebijakan defisit dan akan dipenuhi melalui pembiayaan utang dan non-utang,” ujar Sri Mulyani.
Sumber: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/483925/risiko-lonjakan-utang-pemerintah