TEMPO.CO,JAKARTA — Masalah polusi yang memenuhi udara Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) disebut bukan berasal dari faktor tunggal. Karena itu, solusi yang diambil pun harus memperhatikan kemungkinan kombinasi berbagai sumber masalah kualitas udara buruk.
Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eddy Soeparno, menduga masalah polusi tersebut merupakan gabungan dari berbagai faktor, antara lain pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara, industri di sekitar Jabodetabek, hingga emisi dari sektor transportasi. “Maka permasalahannya harus diselesaikan bersama-sama,” ujar dia di Jakarta, kemarin, 29 Agustus 2023.
Eddy mengatakan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, lembaga, kementerian, dan masyarakat, perlu bahu-membahu mengatasi polusi udara yang kini mendera kawasan Jabodetabek. Para pemangku kepentingan harus melahirkan solusi berkelanjutan. Salah satu caranya, Eddy juga berharap seluruh pihak berkomitmen melanjutkan transisi energi sesuai dengan peta jalan yang telah disusun guna mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060.
Polusi udara menjadi topik pembicaraan publik selama beberapa pekan terakhir. Buruknya kualitas udara itu menyebabkan banyak warga mengalami gangguan pernapasan. Apabila tidak ditangani secara serius, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memperkirakan kerugian ekonomi bisa mencapai ratusan triliun rupiah.
“Kalau pakai estimasi kerugian polusi udara sebesar 1 persen dari PDB, nilainya Rp 213,9 triliun pada 2023,” kata Bhima. Ia mengatakan kerugian paling mahal datang dari biaya kesehatan.
Karena itu, ia mengatakan pemerintah tidak boleh defensif mengenai sumber penyebab polusi tersebut dan harus melihat berbagai faktor untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, tak hanya berfokus menyelesaikan masalah polusi dari kendaraan pribadi—dengan meminta masyarakat menggunakan bahan bakar beroktan tinggi maupun beralih ke kendaraan listrik—tapi juga menutup secara bertahap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang diduga menyebabkan polusi.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, menyadari bahwa masalah polusi merupakan perkara kompleks yang tidak bisa diselesaikan dengan satu atau dua solusi dalam waktu cepat. Misalnya, mempensiunkan PLTU secara mendadak berpotensi menyebabkan gangguan pada pelayanan listrik lantaran pada saat yang sama pembangkit listrik energi terbarukan belum cukup masif berdiri. Begitu pula dengan meminta masyarakat beralih ke transportasi umum karena layanannya belum cukup memadai.
“Solusi isu lingkungan itu perlu perencanaan jangka panjang yang matang. Solusi cepat hanya akan bertahan sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahannya,” kata Daymas.
Langkah tercepat yang perlu segera ditempuh pemerintah, menurut dia, adalah membuat matriks-matriks pendataan yang jelas mengenai jumlah emisi yang dihasilkan semua sektor, dari energi, industri, hingga transportasi dan sektor lainnya. Dari data itulah pemerintah baru bisa memitigasi pengurangan dan pencegahan emisi yang dihasilkan setiap sektor.
Masalah Polusi Dibahas Jokowi
Permasalahan polusi itu sudah dibahas oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Presiden, Senin lalu. Jokowi meminta jajarannya mengupayakan peningkatan kualitas udara di Jabodetabek dengan berbasiskan kesehatan. “Semua kementerian dan lembaga diminta tegas dalam melangkah, dalam kebijakan, serta dalam melangkah dan dalam operasi lapangan,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya setelah mengikuti rapat.
Untuk KLHK, kata Siti, arahan Jokowi adalah menegakkan hukum terhadap sumber-sumber pencemaran, terutama dari industri, pembangkit listrik, dan lainnya, serta memperketat uji untuk emisi kendaraan. Berdasarkan data pemerintah, sejumlah sumber yang berkontribusi dalam penurunan kualitas udara di Jabodetabek, antara lain, kendaraan bermotor sebesar 44 persen, PLTU 34 persen, serta sisanya dari rumah tangga, pembakaran, dan lainnya.
Siti berujar, kementeriannya telah mengecek sekitar 351 industri, termasuk PLTU dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Hasilnya, mereka mengidentifikasi 161 sumber pencemaran yang akan diperiksa di enam stasiun pemantauan kualitas udara. Hingga 24 Agustus lalu, 11 entitas telah dikenai sanksi administratif. Langkah tersebut akan terus dilanjutkan hingga empat atau lima pekan ke depan.
Selain melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap sumber pencemaran serta uji emisi kendaraan, Siti melanjutkan, pemerintah melakukan teknik modifikasi cuaca. Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah bersama seluruh elemen masyarakat menggalakkan penanaman pohon untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2) sekaligus mengurangi polusi.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, menyatakan jajarannya juga mendukung kebijakan peningkatan kualitas udara di Jabodetabek yang diambil pemerintah pusat. “Seperti menyemprotkan water mist dari gedung di lantai paling atas untuk bisa mengurangi polusi secara serentak,” ujar Heru. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mempercepat transisi menuju kendaraan listrik, salah satunya bus Transjakarta.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, menilai berbagai solusi yang diusung pemerintah untuk menanggulangi masalah polusi udara Jakarta cenderung tidak menyentuh akar masalah. Ia melihat pemerintah hanya menyentuh hal-hal yang tidak elementer, dari mendorong bekerja dari rumah alias work from home, rekayasa cuaca, menyiram jalan protokol dengan air, melakukan razia uji emisi kendaraan, hingga mendorong kendaraan listrik. Belakangan bahkan muncul wacana mengalihkan konsumsi masyarakat ke BBM beroktan tinggi, seperti Pertamax.
“Ini semua adalah solusi semu, solusi palsu, yang tidak akan berdampak banyak pada penurunan polusi udara,” ujar Yusuf. Bahkan rencana terakhir yang mencuat—tapi kemudian disangkal kembali oleh pemerintah—soal rencana memberikan subsidi pada Pertamax, dinilai justru menimbulkan masalah baru lantaran cenderung menguntungkan masyarakat kaya dan memukul kelas bawah.
Yusuf mengingatkan bahwa polusi udara Jakarta yang sudah sangat parah ini merupakan kombinasi banyak faktor yang sudah berjalan selama puluhan tahun dan tidak pernah mendapat koreksi yang memadai, sehingga kian tak terkendali. Karena itu, polusi udara yang jauh di atas batas aman ini hanya bisa diatasi oleh kebijakan yang fundamental.
Contohnya, masalah polusi dari PLTU batu bara seharusnya diselesaikan dengan segera mempercepat melakukan pensiun dini pembangkit-pembangkit berbasis energi kotor dan segera beralih ke energi terbarukan. Musababnya, ia mencatat setidaknya 85 persen pembangkit listrik Indonesia berasal dari energi fosil, yang sebagian besar merupakan batu bara.
Selanjutnya, Yusuf mengatakan, untuk mengatasi polutan dari industri manufaktur, pemerintah harus menyediakan alternatif sumber energi bersih untuk industri dengan harga yang kompetitif, misalnya gas. Penyediaan gas yang memadai dan harga yang kompetitif, kata dia, hanya bisa terlaksana jika pemerintah secara masif membangun jaringan pipa gas, yang saat ini masih terbatas.
Adapun solusi dari emisi sektor transportasi, ujar dia, bukanlah berbasis kendaraan pribadi seperti yang sudah ditawarkan pemerintah, melainkan solusi angkutan massal yang aman, nyaman, dan terjangkau. Caranya, dengan menambah dukungan anggaran untuk transportasi publik.
Sumber: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/484171/solusi-semu-atasi-polusi-di-jabodetabek