TEMPO.CO,JAKARTA – Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat harga pangan nasional secara umum cukup stabil, kecuali pada beberapa komoditas, antara lain gabah kering panen, gabah kering giling, beras medium, dan beras premium. Menyitir grafik di laman Bapanas, tren harga komoditas-komoditas tersebut terus menanjak setelah sempat menurun pada April-Juni lalu.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, berharap tren menanjak harga beras bisa direm dengan adanya intervensi pemerintah, dari pemberian bantuan pangan selama tiga bulan kepada 21,3 juta keluarga penerima manfaat mulai bulan ini, gerakan pangan murah, hingga program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
“Seharusnya itu bisa memenuhi pasar. Jadi, kami berharap harga stabil atau turun, terutama setelah bantuan pangan mulai turun,” kata Arief ketika ditemui Tempo di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin.
Ia yakin model intervensi melalui bantuan pangan itu bisa mengerem kenaikan harga beras lantaran gelontoran beras sebanyak 210 ribu ton per bulan bisa setara dengan 7-8 persen konsumsi setiap bulan. “Seharusnya bisa menekan harga.”
Harga beras belakangan terus naik. Harga beras medium kini berada di tingkat rata-rata Rp 12.510 per kilogram, dengan harga tertinggi berada di Papua Rp 15.920 per kilogram dan terendah di DKI Jakarta Rp 11.480 per kilogram.
Adapun harga beras premium kini berada di kisaran rata-rata Rp 14.170 per kilogram. Harga beras premium tertinggi berada di Papua, yaitu sebesar Rp 17.880 per kilogram. Sementara itu, harga terendah terdapat di Sulawesi Selatan dengan Rp 12.820 per kilogram.
Harga-harga itu saat ini melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Bapanas untuk seluruh wilayah di Tanah Air. Padahal, sejak Maret lalu, pemerintah menaikkan HET beras premium dan medium.
HET di zona 1 (Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi) sebesar Rp 10.900 per kilogram untuk beras medium dan Rp 13.900 per kilogram untuk beras premium. Sementara itu, HET untuk zona 2 (Sumatera selain Lampung dan Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan) adalah Rp 11.500 per kilogram untuk beras medium dan Rp 14.400 per kilogram untuk beras premium. Adapun HET zona 3 (Maluku dan Papua) adalah Rp 11.800 per kilogram untuk beras medium dan Rp 14.800 per kilogram untuk beras premium.
Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan harga beras pada Agustus lalu berada di tiap tingkatan distribusi, dari penggilingan, grosir, hingga eceran. Harga beras di penggilingan naik 2,59 persen secara bulanan dan 20,27 persen secara tahunan. Sedangkan harga beras di tingkat grosir naik 1,02 persen secara bulanan dan 16,24 persen secara tahunan. Sementara itu, harga beras di tingkat eceran naik 1,42 persen secara bulanan dan 13,78 persen secara tahunan.
Arief tak memungkiri kenaikan harga sulit ditahan di tengah turunnya produksi beras yang diestimasikan bisa mencapai 5 persen akibat El Nino. “Untungnya Bulog punya stok. Bayangkan kalau tidak. Bagaimana mau mengintervensi?” ujarnya. Ia mengatakan titik kritis dampak El Nino diperkirakan terjadi pada November hingga Januari mendatang.
Belum lagi panen raya tahun depan pun berpotensi mundur, dari biasanya pada Maret menjadi ke kisaran April-Mei 2024. Karena itu, ketahanan pasokan pun harus dipastikan lebih lama. “Makanya saya bilang harus jaga sampai akhir tahun, lalu 14 Februari pemilu, 9 April Lebaran,” kata dia. “Itu harus dipikirkan Badan Pangan dan Bulog.”
Saat ini stok beras yang dikuasai Bulog sebanyak 1,52 juta ton, yang terdiri atas 1,47 juta cadangan beras pemerintah dan 49 ribu stok beras komersial. Dari jumlah tersebut, sekitar 590 ribu beras impor Bulog masih dalam perjalanan. Pasokan cadangan beras pemerintah itu ditargetkan bertahan di kisaran 1,2 juta ton pada akhir tahun.
Sebagai catatan, Bulog harus mengeluarkan lebih dari 600 ribu ton untuk bantuan pangan selama tiga bulan ke depan. Belum lagi kebutuhan untuk mengintervensi pasar melalui SPHP. Dalam delapan bulan terakhir, perseroan telah menggelontorkan lebih dari 747 ribu ton cadangan beras pemerintah untuk operasi pasar tersebut.
Perseroan kini masih memiliki sisa sekitar 453 ribu dari total 2 juta ton kuota impor beras pada tahun ini. Untuk merealisasi penugasan impor, Bulog masih mencari negara yang memiliki ketersediaan beras untuk didatangkan ke dalam negeri. “Kami akan lihat ketersediaan, harga, dan kualitas sebelum mendatangkan beras,” kata dia.
Belum Ada Tanda-tanda Harga Akan Turun
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan tingginya harga beras saat ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Penanganan masalah ini juga membutuhkan perubahan kebijakan yang drastis dalam jangka pendek. Musababnya, kenaikan harga beras saat ini secara umum memperlihatkan adanya masalah struktural yang serius.
Indikasinya, kenaikan harga beras terjadi secara konsisten sejak Agustus 2022 hingga Agustus 2023. “Pola kenaikan harga beras dalam setahun terakhir ini mengkhawatirkan karena tidak terdapat tendensi harga turun,” kata dia. Padahal pemerintah telah mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton sejak akhir 2022. Indonesia juga sudah melalui panen raya pada Maret-Juni lalu. Harga tersebut juga tidak kunjung goyah meski pemerintah telah menetapkan impor beras 2 juta ton pada tahun ini dan cadangan beras Bulog kini telah di kisaran 1,5 juta ton.
Meski tingkat inflasi secara umum terkendali hingga kini di kisaran 3 persen sesuai dengan target pemerintah, Yusuf mengingatkan bahwa kenaikan harga beras yang liar dan berpotensi diikuti kenaikan harga pangan lainnya seiring dengan El Nino dan kekeringan panjang akan mendorong inflasi pada 2023 secara umum ke kisaran 4 persen.
Akibat Kenaikan Ongkos Produksi Petani
Peneliti pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengaku belum bisa memperkirakan sejauh mana harga beras akan menanjak. Namun, ia mengatakan, harga beras yang terjadi saat ini tidak terlepas dari kenaikan ongkos produksi yang dialami petani.
Saat ini, tutur dia, porsi terbesar biaya produksi beras berasal dari sewa lahan dan tenaga kerja pertanian. Sewa lahan menempati porsi terbesar ongkos produksi lantaran sebagian besar petani di Indonesia bukanlah pemilik lahan. Di sisi lain, harga sewa semakin naik. Adapun upah tenaga kerja pertanian juga kian naik. Salah satunya karena adanya kenaikan biaya hidup pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2 September 2022.
“Ditambah lagi suplai tenaga kerja pertanian sudah sulit didapatkan, sekalipun di desa,” ujarnya. Kekurangan tenaga kerja tersebut terjadi karena para pemuda lebih tertarik bekerja sebagai pengemudi ojek atau buruh pabrik. “Menurut penelitian saya, bahkan ada desa yang mengimpor tenaga kerja pertanian dari kecamatan tetangga. Kelangkaan ini menyebabkan upah naik.”
Selain dua faktor itu, mahal dan langkanya pupuk berkontribusi meningkatkan biaya produksi. Musababnya, pupuk berkontribusi sekitar 10 persen untuk biaya total produksi. Ketika subsidi pupuk dikurangi, otomatis harga pupuk naik dan biaya produksi petani pun naik. Nah, kenaikan biaya-biaya ini, menurut Eliza, pasti ditransmisikan kepada harga jual gabah untuk memastikan petani tetap untung. Kenaikan harga gabah inilah yang kemudian menyebabkan harga beras di tingkat konsumen tetap tinggi.
Sumber: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/484287/penyebab-harga-beras-tak-mau-turun