YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; TIRA MUTIARA, Peneliti IDEAS; SHOFIE AZZAHRAH, Peneliti IDEAS; HUZNI MUBAROK, Peneliti IDEAS
REPUBLIKA.ID, JAKARTA-Berkuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) sejak lama telah menjadi dambaan dan harapan bagi anak negeri untuk mengejar mimpi. Kombinasi dari reputasi almamater, perkuliahan yang bermutu tinggi, dan biaya kuliah yang sangat terjangkau membuat berkuliah di PTN selalu menjadi cita-cita tertinggi anak negeri.
PTN adalah tumpuan masyarakat kelas bawah untuk mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau. Pendidikan tinggi yang inklusif adalah krusial bagi masa depan Indonesia yang sejahtera.
Secara umum, penduduk dengan gelar sarjana memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi, kualitas hidup yang lebih baik, partisipasi politik dan interaksi sosial yang bermakna, serta kebahagiaan hidup yang lebih tinggi. Hubungan antara pendidikan tinggi dan kualitas hidup yang lebih tinggi semakin kuat untuk lulusan PTN.
Secara tradisional, PTN ternama, yang kini banyak berstatus sebagai PTN Badan Hukum (PTNBH), merupakan kampus pencetak para pemimpin bangsa di pemerintahan maupun dunia usaha.
Dengan posisi pentingnya dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup serta daya saing lulusannya di dunia kerja, maka menjaga akses masuk ke PTN secara adil bagi semua adalah krusial untuk menurunkan kesenjangan.
Namun dalam dekade terakhir, biaya kuliah di PTN semakin melambung, membuat mimpi menjadi sarjana semakin sulit diraih oleh generasi negeri. Tingginya biaya kuliah di PTN, bahkan untuk jalur seleksi nasional sekalipun, membuat akses ke PTN menjadi semakin sulit bagi sebagian besar masyarakat.
Meski biaya kuliah di PTN untuk jalur seleksi nasional mendapat embel-embel “sistem berkeadilan” dengan adanya kelas-kelas UKT, tapi seringkali mahasiswa dari kelas ekonomi lemah ditetapkan pada kelas UKT yang tinggi sehingga harus membayar mahal. Banyaknya kasus mahasiswa yang mengeluhkan tingginya biaya kuliah di PTN meski masuk melalui jalur seleksi nasional, bahkan memutuskan tidak mengambil kursi di PTN dan pindah ke PTS, meledak pada tahun akademik 2023/2024 ini.
Semakin melambungnya biaya kuliah di PTN, termasuk di jalur seleksi nasional, sulit dibantah. Di Universitas Indonesia (UI) misalnya, meski menerapkan kelas-kelas UKT, tapi jumlah kelas UKT untuk jalur seleksi nasional terus bertambah signifikan, dari hanya empat kelas pada 2016 menjadi 11 kelas pada 2023.
Di program studi (prodi) S1 rumpun sains teknologi dan kesehatan, UKT di kelas tertinggi melambung dari Rp 7,5 juta per semester menjadi Rp 20 juta per semester. Di prodi S1 rumpun sosial dan humaniora, UKT di kelas tertinggi meningkat tinggi dari Rp 5 juta per semester menjadi Rp 17,5 juta per semester.
Lemah dukungan negara
Meski biaya kuliah di PTN diklaim masih terjangkau dengan adanya kelas-kelas UKT sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa, tapi biaya kuliah yang semakin tinggi dan membebani masyarakat adalah sulit dibantah. Keberadaan jalur mandiri yang menerapkan tarif komersial murni dengan kuota yang signifikan, hingga 30 persen, semakin mengokohkan fakta mahalnya biaya kuliah di PTN. Di PTNBH, kuota jalur mandiri bahkan mencapai hingga 50 persen.
Untuk menjaga mutu perkuliahan dan meningkatkan daya saing PTN, dukungan pendanaan yang signifikan adalah keharusan. Namun di tengah semakin tingginya biaya operasional perguruan tinggi yang bermutu, dukungan pendanaan pemerintah pada PTN, baik yang berstatus badan hukum, badan layanan umum (BLU), maupun satuan kerja, justru semakin terbatas.
Sebagai misal, di UI, bantuan dana APBN pada 2008-2011 sempat mengalami kenaikan, baik secara nominal maupun sebagai pangsa dari total kebutuhan UI, yaitu dari Rp 155 miliar (15,9 persen dari total pengeluaran) pada 2008 menjadi Rp 607 miliar (45,5 persen) pada 2011.
Namun sejak 2012 hingga kini, bantuan dana APBN untuk UI mengalami stagnasi dari Rp 529 miliar pada 2012 menjadi Rp 523 miliar pada 2022. Sebagai persentase terhadap total kebutuhan UI, bantuan dana APBN ini menurun drastis, dari 36,3 persen total pengeluaran pada 2012 menjadi hanya 17,7 persen pada 2022.
Dengan kebutuhan pengeluaran operasional universitas yang semakin meningkat di satu sisi dan semakin terbatasnya bantuan dana dari pemerintah di sisi lain, maka PTN didorong untuk melakukan diversifikasi pendapatan, termasuk pendanaan dari masyarakat. Namun diversifikasi pendapatan kampus hingga kini masih banyak bergantung pada pendanaan dari masyarakat, yaitu dari sumbangan peserta didik.
Bahkan pungutan dari peserta didik menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi PTN. Hal ini berimplikasi pada tingginya biaya kuliah di PTN, yang membuat masyarakat kelas menengah-bawah semakin sulit mengakses PTN.
Transformasi PTN menjadi PTNBH yang memiliki otonomi lebih luas dalam memanfaatkan aset dan menggalang sumber pendanaan dari luar pemerintah, gagal mendiversifikasi pendapatan PTN dan justru menjadi pintu masuk komersialisasi pendidikan. Otonomi PTN yang seharusnya mendorong kualitas kampus tanpa membebani mahasiswa, kini semakin terlihat menjadi legalisasi pungutan biaya kuliah yang tinggi di PTN.
Hingga kini, PTN masih menjadi harapan utama banyak anak negeri untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang berkualitas dengan biaya yang murah. Kesenjangan geografis pendidikan yang akut, terutama antara Jawa dan luar Jawa, rendahnya mutu mayoritas PTS dan terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat dalam mengakses PTS berkualitas, membuat PTN terus menjadi tumpuan anak negeri meraih mimpi masa depan.
Antara otonomi dan komersialisasi
Kenaikan biaya pendidikan di PTN dapat ditelusuri akarnya sejak era Reformasi. Pasca Reformasi, pemerintah mencanangkan misi penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkualitas secara merata di seluruh Tanah Air. Untuk mengejar ambisi ini di tengah keterbatasan APBN, maka PTN diberikan otonomi, termasuk meminta dukungan masyarakat untuk ikut membiayai PTN.
Berbekal PP No 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN), sejumlah PTN, seperti UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair mendapatkan status BHMN dan memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga sendiri, termasuk soal kerja sama penelitian, penerimaan mahasiswa baru, hingga masalah keuangan.
Pasca PP No 61/1999, beberapa PTN mulai membuka jalur penerimaan mahasiswa dengan tarif komersial untuk menarik pendanaan dari masyarakat, di antaranya melalui pembukaan program nonreguler. Sejak 2002, hampir semua PTN membuka program nonreguler di mana biaya pendidikan sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat.
Komersialisasi pendidikan oleh PTN mendapatkan pembenaran dari terbitnya UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Atas nama kemandirian keuangan, PTBHMN membuka jalur penerimaan mahasiswa baru dengan besar kecilnya sumbangan sebagai dasar penerimaan. Arus besar komersialisasi pendidikan di PTN ini dikukuhkan oleh UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
UU No 9/2009 substansinya mendorong kemandirian pendanaan PTN untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Namun pada praktiknya, kemandirian dan otonomi kampus tidak disertai dengan bantuan dana APBN yang memadai, sehingga PTN dipaksa mencari sumber keuangan sendiri untuk membiayai operasional universitas. Dan sumber pendanaan yang paling mudah bagi PTN adalah menarik pungutan biaya pendidikan dari peserta didik.
Optimalisasi pendapatan dari peserta didik dilakukan PTN dengan cara memperbesar kuota penerimaan melalui jalur penerimaan dengan tarif komersial, yaitu jalur nonreguler atau jalur mandiri, dengan di saat yang sama menurunkan alokasi penerimaan mahasiswa dari jalur bersubsidi dengan biaya kuliah murah, yaitu jalur seleksi nasional. Implikasinya, kesempatan bagi anak negeri dari keluarga miskin untuk mengakses PTN semakin mengecil.
Pada Maret 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No 9/2009 tentang BHP. PP No 66/2010 yang mengembalikan status PTBHMN kembali menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah. Namun tak berselang lama, untuk mengisi kekosongan payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi, terbit UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang antara lain mengatur kewenangan PTNBH untuk membuka dan menutup program studi, mengembangkan kerja sama dan usaha, pendapatan tidak masuk sebagai pendapatan negara bukan pajak, serta pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel.
Di era UU No 12/2012, negara tetap dituntut berperan dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Melalui bantuan operasional PTN (BOPTN), beban kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa akan berkurang. Mahasiswa hanya menanggung biaya kuliah dengan sistem subsidi silang di bawah sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). PTN juga diharuskan menerima minimal 20 persen mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu. Namun terbatasnya BOPTN membuat biaya kuliah di PTN masih terasa sangat mahal bagi mahasiswa miskin.
Lemahnya bantuan APBN membuat PTN memiliki ketergantungan yang tinggi pada pendanaan dari masyarakat untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Di UGM, misalnya, bantuan dana APBN awalnya sempat meningkat dari Rp 579 miliar pada 2013 menjadi Rp 790 miliar pada 2015. Namun setelah itu bantuan dana APBN terus menurun hingga Rp 679 miliar pada 2021.
Pada saat yang sama, pendapatan UGM dari layanan pendidikan terus meningkat dari Rp 741 miliar pada 2013 menjadi Rp 1,0 triliun pada 2021. Lemahnya bantuan APBN, memaksa PTN untuk mencari pendanaan dari sumber lain untuk menutup beban operasional yang terus meningkat.
Transformasi keuangan PTN
Di bawah rezim UU No 12/2012, pengelolaan keuangan PTN terbagi menjadi tiga jenis. PTN Satuan Kerja tidak memiliki otonomi keuangan di mana sumber pendanaan dan pembiayaan PTN seluruhnya bersumber dari APBN.
Sedangkan PTN BLU memiliki otonomi keuangan, khususnya sumber keuangan yang berasal dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Sedangkan PTNBH memiliki otonomi keuangan tertinggi di mana PTN diberikan ruang seluas-luasnya untuk menggali sumber pendanaan selain dari APBN.
Sejak dimulai oleh UU No 12/2012, hingga kini terdapat 21 kampus negeri yang menyandang status PTNBH, antara lain, PTN ternama dan terbaik di negeri ini, seperti UI, ITB, UGM, IPB, Unbraw, Unair, dan Unpad. Status PTNBH membuat kampus negeri dapat menerima dana dari masyarakat sehingga PTN dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Namun, alih-alih mengejar pendanaan dari perusahaan atau individu ultrakaya, pendanaan dari masyarakat lebih banyak diterjemahkan PTNBH secara sederhana: memungut dana dari peserta didik. Optimalisasi penerimaan dana dari masyarakat berimplikasi pada semakin mahalnya biaya kuliah di PTN.
Kegagalan PTN mengoptimalkan pendanaan dari perusahaan atau individu ultrakaya, harus dibayar mahal dengan biaya kuliah yang semakin menggigit oleh peserta didik. PTN menjadi semakin sulit diakses oleh mahasiswa miskin.
Ironisnya, semakin mahalnya biaya kuliah tidak selalu berkorelasi dengan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi yang semakin baik. UI, misalnya, pada 2011 menduduki peringkat 217 dunia dengan skor 45,1 pada QS World University Ranking. Namun pada 2023, satu dekade setelah menjadi PTNBH, peringkat UI justru anjlok menjadi peringkat 248 dengan skor 38,7 pada QS World University Ranking.
Secara konseptual, pemberian otonomi dan kemandirian pengelolaan keuangan kepada PTN akan meningkatkan mutu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat, antara lain melalui kemampuan mendiversifikasi pendapatan selain dari APBN. Meski diversifikasi pendapatan PTN saat ini masih banyak terfokus kepada sumber yang paling mudah, yaitu pungutan dari peserta didik, tapi sebagian PTN mampu melakukan transformasi pendanaan universitas yang tidak bergantung kepada APBN dan juga tidak mengandalkan pungutan dari peserta didik.
Contoh di sini adalah UGM yang telah mendapatkan otonomi sejak 1999 melalui status PT BHMN dan sejak 2012 dengan status PTNBH. Pada periode 2011-2014, rerata total pendapatan UGM adalah Rp 1,76 triliun, dengan struktur pendapatan didominasi pendapatan dari layanan pendidikan (47,9 persen), diikuti pendapatan dari APBN dan BP PTNBH (35,4 persen).
Pada periode 2019-2021, ketika rerata total pendapatan Rp 2,92 triliun, struktur pendapatan UGM ini telah berubah drastis. Pada periode 2019-2021 struktur pendapatan UGM kini didominasi pendapatan lainnya (41,8 persen), diikuti pendapatan dari layanan pendidikan (34,4 persen), dan pendapatan dari APBN dan BP PTNBH (23,9 persen).
Terlepas dari keberhasilan transformasi pendanaan PTN yang sudah bergerak ke arah yang diinginkan, tapi kecenderungan komersialisasi pendidikan di PTN tetap sulit dibantah. Di UGM sendiri, pendapatan dari layanan pendidikan terus meningkat dari Rp 741 miliar pada 2013 menjadi Rp 1,0 triliun pada 2021.
Meski rasio pendapatan dari layanan pendidikan terhadap total pendapatan UGM cenderung turun, dari 45 persen pada 2013 menjadi 31 persen pada 2021, tapi pendapatan dari layanan pendidikan yang secara nominal terus meningkat menunjukkan bahwa tarif biaya pendidikan terus meningkat.
Pembiayaan APBN untuk PTN
Lulusan pendidikan tinggi mendapatkan keahlian berpikir kritis dan kemampuan abstrak untuk menyelesaikan masalah, serta penanaman nilai dan etika. Perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat kemampuan-kemampuan ini menjadi semakin berharga. Maka perluasan akses ke pendidikan tinggi selayaknya menjadi prioritas nasional.
Biaya perluasan akses ke pendidikan tinggi dalam jangka pendek memang mahal, tapi dalam jangka panjang akan menjadi murah. Hal ini karena pendidikan adalah investasi yang mengharuskan pengeluaran besar di awal, sedangkan hasilnya baru akan dirasakan seiring waktu berjalan. Lulusan perguruan tinggi akan memiliki pendapatan lebih tinggi setelah lulus dan akan membayar pajak lebih besar.
Dalam kasus PTN, terdapat korelasi yang kuat antara dukungan dana pemerintah dan tingkat komersialisasi pendidikan. Melemahnya dukungan pendanaan pemerintah ke PTN, cenderung diikuti dengan semakin tingginya tingkat komersialisasi pendidikan.
Sebagai misal di ITB, rasio bantuan dana APBN terhadap total pendapatan ITB secara konsisten terus menurun dari 44 persen pada 2016 menjadi 29 persen pada 2022. Pada waktu yang sama, rasio pendapatan layanan pendidikan terhadap total pendapatan yang awalnya sempat turun dari 31 persen pada 2016 menjadi 22 persen pada 2019, kembali meningkat pasca pandemi menjadi 33 persen pada 2022.
Kebebasan akademik dan otonomi keilmuan adalah keniscayaan bagi perguruan tinggi, tapi menurunkan bantuan APBN dalam mendukung operasional PTN atas nama otonomi yang berimplikasi pada melemahnya akses masyarakat kelas bawah ke PTN adalah sebuah kesalahan.
Konstitusi sejak awal telah memberi amanat bahwa salah satu intervensi terpenting negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Implikasi tugas konstitusi ini adalah sangat jelas: negara harus menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua anak bangsa. Semua anak bangsa harus memiliki peluang yang sama untuk mengakses pendidikan.
Kuliah murah bahkan gratis secara jelas adalah lebih mahal dan membutuhkan dukungan anggaran yang masif. Namun manfaat dari pendidikan tinggi bagi perekonomian jauh lebih besar daripada biaya yang ditanggung pemerintah dan masyarakat. Akses tanpa batas ke pendidikan tinggi menjanjikan manfaat yang lebih besar ke masyarakat secara keseluruhan.
Kewajiban konstitusi bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD, sejatinya adalah jendela kesempatan yang besar untuk mendorong tingkat partisipasi pendidikan tinggi, terutama mahasiswa dari kelas bawah. Dengan implementasi mandatory spending 20 persen dari APBN dan APBD sejak 2009, anggaran pendidikan terus meningkat dari waktu ke waktu. Anggaran pendidikan meningkat dari Rp 409 triliun pada 2015 menjadi Rp 612 triliun pada 2023, tumbuh 5,2 persen per tahun.
Kuliah gratis di kampus negeri
Untuk membuka akses masyarakat miskin pada pendidikan tinggi, pemerintah sejak 2010 meluncurkan program Bidikmisi (Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi). Program Bidikmisi didesain bukan untuk beasiswa yang merupakan penghargaan atas prestasi akademik, tapi bantuan biaya pendidikan agar anak keluarga miskin dapat mengakses pendidikan tinggi.
Dengan memberi peluang berkuliah bagi mahasiswa miskin dengan bantuan biaya pendidikan hingga 8 semester, maka diharapkan rantai kemiskinan dapat diputus dan kesenjangan ekonomi dapat ditekan. Sejak 2020, program Bidikmisi berganti menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dengan implikasi pendaftar KIP Kuliah harus merupakan penerima KIP saat SMA atau penerima Program Keluarga Harapan (PKH).
Namun, sebagaimana program bantuan sosial pemerintah lainnya, persoalan kelemahan basis data dan salah sasaran penerima program masih menjadi masalah besar dalam pelaksanaan program Bidikmisi atau KIP Kuliah. Dengan hanya menyasar kelompok miskin, maka kelompok penduduk yang banyak berada di kategori “rentan miskin” dan “hampir miskin” yang aksesnya ke pendidikan tinggi juga terbatas, tidak tercakup dalam program sehingga exclusion error diduga adalah tinggi.
Ketika targeting program adalah sulit dan banyak mengalami salah sasaran, baik inclusion error dan terlebih exclusion error, maka memberikan subsidi secara langsung kepada fasilitas yang diakses rakyat miskin adalah lebih berkeadilan. Membuka akses masyarakat seluas mungkin ke PTN yang sebagian besar adalah kampus-kampus terbaik di negeri ini, menjadi pilihan terbaik.
Bantuan dana pemerintah ke PTN selama ini terfokus kepada ambisi untuk melambungkan peringkat global dari PTN. Hingga kini, dari sekitar 4.500 universitas di Indonesia, hanya 20 universitas yang mampu masuk dari pemeringkatan dunia, dan hanya lima universitas saja yang mampu berada dalam 500 perguruan tinggi terbaik dunia.
Lima universitas terbaik di Indonesia yang berada di jajaran 500 universitas terbaik dunia ini seluruhnya adalah PTN, yaitu UGM, ITB, UI, Unair, dan IPB.
Pada 2021, bantuan pendanaan APBN bagi 11 PTNBH hanya Rp 1,67 triliun atau rata-rata Rp 150 miliar untuk setiap PTNBH. Dari kasus besaran pendapatan UKT dan besaran bantuan pendanaan pemerintah di UGM, kami memperkirakan bahwa untuk menurunkan UKT hingga 50 persen di 11 PTNBH ini dibutuhkan anggaran Rp 3,11 triliun atau rata-rata Rp 280 miliar untuk setiap PTNBH.
Jika kita bergerak lebih progresif dengan tujuan bebas UKT di 11 PTNBH ini, maka kebutuhan anggaran mencapai Rp 6,21 triliun atau rata-rata Rp 560 miliar untuk setiap PTNBH. Anggaran ini relatif masih terjangkau dibandingkan dengan total anggaran pendidikan yang dikelola pemerintah pusat, bahkan masih tetap realistis sekalipun dibandingkan dengan total anggaran yang dikelola Ditjen Dikti Kemendiknas.
Untuk lebih mendorong kinerja dana bantuan pemerintah dalam meningkatkan akses mahasiswa miskin terhadap pendidikan tinggi, dibutuhkan perubahan dalam desain subsidi ke PTN. Dana bantuan pemerintah seharusnya diarahkan kepada PTN yang mampu menunjukkan kinerja tinggi dalam mendorong partisipasi mahasiswa miskin melalui penurunan biaya kuliah, bahkan menggratiskannya. Biaya kuliah gratis merupakan kebijakan terbaik untuk mendorong partisipasi mahasiswa terutama dari kelas bawah.
Lebih jauh, insentif yang lebih besar diarahkan kepada PTN yang tidak hanya memiliki tingkat partisipasi mahasiswa miskin yang tinggi, tapi juga mampu menjaga agar mereka menyelesaikan studi dan lulus dengan kinerja akademik yang tinggi. Menekan tingkat putus kuliah dan mendorong tingkat penyelesaian kuliah membutuhkan dukungan lebih dari sekadar pembebasan biaya kuliah.
Lebih jauh lagi, insentif terbesar diberikan ke PTN yang tidak hanya memiliki tingkat partisipasi dan tingkat kelulusan tertinggi untuk mahasiswa miskin, tapi juga mampu membekali mereka dengan keahlian yang relevan dan dibutuhkan oleh dunia usaha, baik kapasitas manajerial dan profesional maupun kapasitas riset untuk inovasi.
Sumber :https://republika.id/posts/45989/mimpi-kuliah-gratis-di-kampus-negeri utm_campaign=rolsosmed&utm_source=whatsapp