Taji Ekonomi RI di Tengah Perang Israel-Palestina hingga Rusia-Ukraina

Ekonom mewanti-wanti dampak gejolak ekonomi kawasan, termasuk perang Israel-Palestina dan Rusia-Ukraina, terhadap perekonomian Indonesia.

Jakarta, CNN Indonesia — Dunia cemas dengan pecahnya perang antara Israel-Palestina. Genderang perang resmi ditabuh usai Israel dihujani ribuan roket serangan Hamas pada Sabtu (7/10).
Mengutip CNN, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah negaranya akan melakukan “balas dendam besar” atas serangan yang dilakukan pasukan Hamas. Ia juga bersiap untuk “perang yang panjang dan sulit”.

Pernyataan perang Israel disepakati kabinet hanya beberapa jam usai serangan Hamas. Ini adalah yang pertama kali dideklarasikan dalam 50 tahun terakhir sejak 1973, di mana kala itu terjadi Perang Yom Kippur.

Perang Yom Kippur berlangsung pada 6 Oktober-26 Oktober 1973. Ini merupakan perang antara Israel dengan negara-negara Arab yang dipimpin oleh Suriah dan Mesir.

Hingga Minggu (8/10), setidaknya 700 orang di Israel tewas dan lebih dari 2.000 jiwa terluka akibat serangan Hamas. Sementara itu, 400 warga Palestina di Gaza tewas terkena serangan balasan Israel via udara yang menyasar wilayah padat penduduk.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai eskalasi Israel-Palestina menambah ketidakpastian ekonomi global. Apalagi, dunia belum benar-benar pulih dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina.

Yusuf yakin Indonesia tidak akan mengalami dampak langsung dari konflik tersebut. Akan tetapi, ia mewanti-wanti gejolak harga komoditas hingga perubahan harga pangan dunia.

“Untuk konflik Israel-Palestina sebenarnya yang dikhawatirkan adalah ketika ini tidak hanya melibatkan kedua negara tersebut, namun melibatkan negara-negara terutama di Timur Tengah yang beberapa di antaranya adalah negara produsen minyak,” kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/10).

“Artinya ketika negara-negara ini (produsen minyak) terindikasi melibatkan diri pada konflik geopolitik antara Israel dan Palestina, maka ini saya kira bisa berpengaruh terhadap pergerakan harga komoditas minyak, berpotensi akan mengalami kenaikan,” imbuhnya.

Meski begitu, Yusuf melihat Indonesia masih punya peluang untuk bertahan di tengah panasnya konflik tersebut. Alasannya, Indonesia dianggap punya pasar domestik yang relatif besar.

Ia menyebut pasar domestik tidak terlalu terpengaruh terhadap kondisi perekonomian global secara langsung. Dengan begitu, perekonomian tanah air masih bisa bergerak atau cenderung aktif dibandingkan negara-negara yang ketergantungan dengan perekonomian global.

“Saya kira kalau konteksnya Indonesia, kita juga sudah melihat di beberapa periode krisis geopolitik sebelumnya dampak ke Indonesia itu sebenarnya tidak langsung dan relatif kecil. Sehingga saya kira menjaga kondisi pasar domestik merupakan hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk tetap kuat di tengah kedua gejolak,” jelasnya.

Yusuf pun berpesan agar Pemerintah Indonesia tidak jemawa dan terus berupaya meningkatkan perekonomian dalam negeri. Ia menyarankan beberapa sektor yang perlu digenjot, antara lain industri manufaktur.

Menurutnya, sektor ini adalah salah satu kue Indonesia yang perlu diperhatikan, terutama dalam urusan menjaga pertumbuhan ekonomi. Jika industri manufaktur bisa tetap terjaga di tengah gejolak, maka ekonomi Indonesia akan senantiasa tumbuh.

Ia meramal komponen perekonomian Indonesia juga akan berubah ke depan. Beberapa aspek yang bakal bereaksi terhadap konflik Israel-Palestina, antara lain ekspor, investasi, dan konsumsi masyarakat.

“Misalnya kalau kita bicara ekspor tentu harga dari komoditas global yang meningkat itu berpotensi juga akan ikut mempengaruhi kinerja dari ekspor. Namun, di saat bersamaan terjadi potensi kenaikan harga minyak sehingga nilai impor minyak juga berpengaruh,” tutur Yusuf.

“Sementara itu, investasi secara umum sebenarnya tidak akan terlalu berdampak langsung dari kondisi geopolitik. Konsumsi rumah tangga juga akan relatif sama. Artinya, keduanya akan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi dari perekonomian di dalam negeri,” sambungnya.

Waspada Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Bengkak

Yusuf juga mewanti-wanti belanja pemerintah yang akan terpengaruh konflik ini. Menurutnya, bisa saja subsidi hingga harga BBM di tanah air membengkak.
“Dari sisi belanja pemerintah, bukan tidak mungkin pemerintah menyesuaikan, terutama untuk asumsi makro harga minyak. Ini akan mempengaruhi bagaimana kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan subsidi BBM,” jelasnya.

Senada, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menyebut ancaman besar dari gejolak Israel-Palestina adalah melonjaknya harga minyak dunia. Sempat mereda, harga minyak dunia kembali meroket 5 persen usai genderang perang ditabuh.

Israel ataupun Palestina memang bukan produsen minyak dunia. Namun, pasar dunia akan kembali berhati-hati dengan konflik kedua negara tersebut, apalagi ada kekhawatiran harga minyak dunia terbang jika Iran benar terlibat aktif dalam konflik ini.

“Terlebih, harga BBM di Indonesia secara bersamaan sudah mengalami kenaikan baru-baru ini. Harga BBM subsidi memang masih belum naik, tetapi ini dikhawatirkan menyebabkan stok BBM subsidi menjadi lebih langka karena pengguna BBM nonsubsidi kembali mengonsumsi BBM subsidi, serta kemungkinan keterbatasan produksi dari Pertamina,” wanti-wanti Andri.

Jika kekhawatiran ini terjadi, Andri menyebut dampaknya akan merembet ke inflasi di tanah air. Padahal, Indonesia sudah sanggup mengendalikan inflasi dengan cukup baik sejak awal 2023.

Ia pun mendesak Pemerintah Indonesia bersiap mengantisipasi lonjakan harga minyak dunia. Jika tidak, ini akan kembali menambah beban fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) imbas kenaikan biaya subsidi dan kompensasi energi yang sangat tinggi, seperti yang terjadi tahun lalu.

“Kementerian ESDM dengan Pertamina perlu mengkaji seberapa besar mereka harus mengamankan kontrak forward agar meminimalisir risiko harga minyak dunia melebihi asumsi Kemenkeu untuk berada di bawah US$90 per barel sepanjang tahun ini,” sarannya.

“Lalu, seberapa besar tanggung jawab Pertamina agar bersedia menanggung beban jika terjadi kenaikan biaya produksi dibandingkan dengan membebankannya terhadap kapasitas fiskal negara seperti tahun kemarin,” tandas Andri.

APBN Terancam Jebol

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono melihat titik krusial konflik Timur Tengah sekarang adalah kenaikan harga minyak yang kini sudah menembus level US$85 per barel. Ia mencontohkan pada konflik Rusia-Ukraina sebelumnya, di mana harga minyak dunia terbang hingga US$100-US$150 per barel.

Ujungnya, inflasi energi akan melonjak yang berpotensi mengerek inflasi secara keseluruhan. Pada tingkat global, lonjakan inflasi ini akan mendorong kenaikan suku bunga dan imbal hasil surat utang di negara-negara maju.

“Bagi Indonesia, dampak terbesar yang berpotensi akan datang ke depan adalah imported inflation, terutama dari kenaikan harga minyak dunia dan potensi pelemahan nilai tukar rupiah akibat kenaikan suku bunga di negara-negara maju,” pesan Yusuf.

“Potensi yang harus diwaspadai juga adalah kenaikan subsidi BBM. Dalam APBN 2023, asumsi harga minyak ICP US$90 per barel dan dalam APBN 2024 US$80 per barel. Jika kenaikan beban subsidi BBM tidak mampu dipikul APBN dan pemerintah memilih menaikkan harga BBM, maka ini berpotensi mendorong inflasi dan dibarengi pelemahan rupiah akan semakin menekan suku bunga bank sentral,” tambahnya.

Yusuf menyarankan antisipasi terpenting yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia adalah memfokuskan APBN untuk memperkuat daya beli masyarakat dan menjaga inflasi pangan, terutama beras.

“Secepatnya pemerintah juga menekan belanja tidak penting, termasuk proyek-proyek mercusuar yang tidak memiliki urgensi bagi rakyat, seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan kereta cepat,” tutupnya.

Sumber :https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20231010063520-532-1009185/taji-ekonomi-ri-di-tengah-perang-israel-palestina-hingga-rusia-ukraina/2