KORANTEMPO, JAKARTA — Cina hampir pasti kembali menjadi mitra pemerintah untuk melanjutkan proyek kereta cepat hingga ke Surabaya. Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional Cina (NDRC) telah sepakat memulai studi bersama pemerintah Indonesia untuk menghitung ongkos pembangunan serta kelayakan proyek secara komersial.
“Mereka belum bilang iya (akan melanjutkan proyek ke Surabaya), tapi mereka sedang melakukan pengkajian,” ujar Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo di kantor InJourney, Jakarta, kemarin. Pengkajian itu nantinya menunjukkan apakah proyek itu menguntungkan atau tidak untuk dieksekusi. Tiko—panggilan Kartika—mengatakan Cina menjadi pilihan karena saat ini sudah membangun infrastruktur kereta cepat dari Jakarta hingga Bandung.
Walau demikian, ia belum bisa memastikan apakah skema kerja sama ataupun pendanaan perluasan proyek kereta cepat ini akan menggunakan skema yang sama dengan skema sepur kilat sebelumnya. Keputusan itu akan diambil setelah studi kelayakan proyek kelar. Adapun pemerintah tidak mematok waktu kapan proyek itu akan dieksekusi. “Studinya baru dimulai,” tutur Tiko.
Sebelumnya, di sela acara peresmian pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung pada 2 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan studi kereta cepat Bandung-Surabaya yang melibatkan pemrakarsa rampung dalam dua pekan. Setelah itu, proses akan dilanjutkan pada studi yang dilakukan pemerintah. “Setelah hitung-hitungan, kalkulasi, baru diputuskan,” ujar Jokowi. Saat dimintai konfirmasi mengenai pernyataan Jokowi, Tiko mengatakan studi kelayakan proyek tersebut perlu waktu dan tidak mungkin kelar dalam dua pekan.
Petugas menanti penumpang kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) saat menunggu keberangkatan di Stasiun Halim, Jakarta, 20 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Dirancang Sejak 2008
Sejak awal, pemerintah sejatinya merancang kereta cepat untuk rute Jakarta-Surabaya. Gagasan itu muncul pada 2008 alias era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perencanaan dan studi kelayakan pun dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dengan menggandeng Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
Namun, lantaran pertimbangan politik dan besarnya dana, pemerintah memutuskan membangun infrastruktur itu secara bertahap. Pada 2011-2012, pemerintah melakukan studi untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung setelah melihat pertumbuhan ekonomi regional dua daerah ini. Kendati demikian, proyek ini tak juga dieksekusi hingga Presiden SBY turun jabatan.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akhirnya dieksekusi pembangunannya pada era Presiden Joko Widodo. Namun proyek itu akhirnya tak digarap bersama Jepang, melainkan dengan menggandeng Cina. Proyek ini rencananya berlanjut melalui koridor selatan Jawa. Sementara itu, Jepang direncanakan membangun kereta semicepat Jakarta-Surabaya melalui koridor utara Jawa.
Rencana proyek di jalur utara itu sebetulnya sesuai dengan Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030 Kementerian Perhubungan. Dalam rencana itu disebutkan bahwa trase kereta yang dianggap punya daya tawar baik adalah jalur pantai utara: Jakarta, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Bojonegoro, dan Surabaya. Proyek kereta semicepat di jalur utara itu pun sempat masuk proyek strategis nasional. Namun proyek itu diputuskan untuk dikeluarkan dari daftar tersebut pada tahun ini. Alasannya, rencana proyek dan pembiayaannya tak kunjung jelas.
Pemerintah akhirnya memastikan untuk meneruskan kereta cepat dari Bandung ke Surabaya. Hal itu kian kuat dengan adanya pernyataan sejumlah menteri Jokowi. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, misalnya, pada 8 Oktober lalu, mengatakan diminta oleh Jokowi membuat cetak biru rancangan kereta cepat Bandung-Surabaya.
Untuk itu, Kementerian Perhubungan membuat pemetaan atau rancangan dengan variabel tertentu agar proyek sepur itu lebih efisien. Variabel perhitungan itu antara lain soal biaya. Perhitungannya akan bergantung pada jalur yang akan dilalui sepur.
Pemerintah juga akan melihat daya beli masyarakat sebagai salah satu pertimbangan agar kereta cepat bisa optimal. Di samping adanya pertimbangan efek kebangkitan ekonomi di kota-kota yang dilalui kereta berkecepatan 350 kilometer per jam itu. “Cost yang dikeluarkan untuk kereta cepat terbayarkan oleh bangkitnya ekonomi di banyak daerah,” kata Budi Karya.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga sempat menyampaikan bahwa nantinya kereta cepat Jakarta-Bandung diteruskan menuju Surabaya melalui rute ke Kertajati, Yogyakarta, Solo, dan berakhir di Surabaya.
Namun, berbeda dengan pernyataan Tiko, Luhut dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, @luhut.pandjaitan, pada 28 Oktober lalu, justru mengatakan perjanjian dengan Cina untuk proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya sudah berjalan. “Malah bunga pinjamannya jauh lebih murah daripada yang ditawarkan oleh sejumlah negara lain.”
Sejumlah penumpang kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) saat menunggu keberangkatan di Stasiun Halim, Jakarta, 20 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Risiko Lebih Mahal Lewat Jalur Selatan
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan ekstensi kereta cepat dari Bandung ke Surabaya memang diperlukan agar proyek sepur kilat bisa lebih optimal dan menguntungkan. Musababnya, apabila hanya sampai Bandung, proyek itu justru diperkirakan rugi karena investasinya mahal, tapi jarak tempuhnya hanya 142 kilometer.
Lantaran sudah kadung membangun infrastruktur kereta ke Bandung, ia mengatakan perpanjangan lintasan kereta cepat lebih mungkin dilanjutkan melalui koridor selatan Jawa, melalui Yogyakarta dan Solo. Dengan demikian, investasi yang diperlukan hanya pembangunan prasarana karena sarana keretanya sudah ada.
Risikonya, biaya proyek diperkirakan lebih tinggi daripada jalur utara lantaran topografinya yang melintasi pegunungan. “Tapi selatan ini jalur gemuk, dibanding via utara dari Bandung, hanya di Semarang yang padat.”
Guru besar transportasi dari Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, mewanti-wanti agar perkara trase kereta cepat Jakarta-Surabaya dikaji mendalam karena menyangkut biaya pembangunan dan nilai ekonomi yang menjadi target. Sebelumnya, Sutanto memperkirakan biaya proyek kereta cepat hingga ke Surabaya bisa mencapai Rp 700 triliun, dengan asumsi ongkos pembangunan sebesar Rp 1 triliun per kilometer. Itupun jika jalurnya dibuat secara melayang.
“Pengkajian ini harus melihat keberlangsungan yang berhubungan dengan nilai keekonomian serta efisiensi dalam pembangunan, operasi, dan perawatannya.” Kondisi geografis, kata Sutanto, akan menentukan besaran biaya pembangunan dan konsekuensi biaya pengoperasian serta perawatan. Sedangkan berbagai kota yang dilalui trase kereta cepat akan menentukan nilai keekonomiannya.
Secara umum, ia menilai pantai utara Jawa memiliki beberapa kota yang sudah berkembang serta topografi yang relatif datar dibanding pantai selatan Jawa sehingga kereta cepat melalui pantai utara Jawa memiliki keunggulan komparatif.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mewanti-wanti agar kelayakan finansial proyek menjadi perhatian utama pemerintah. Dengan terbatasnya ruang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ia merasa proyek pembangunan infrastruktur yang sangat mahal, seperti kereta cepat, tidak bisa dibiayai oleh APBN.
Dengan biaya pembangunan yang sangat mahal, diperlukan jumlah permintaan penumpang yang besar dengan kemampuan ekonomi tinggi untuk membayar tiket yang mahal. Dengan demikian, proyek ini dianggap layak secara finansial. Tanpa perencanaan yang matang, Yusuf khawatir ujung-ujungnya kejadian pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bisa berulang. “Pemerintah akan terlibat dan menjamin proyek serta APBN akan ikut terbebani biaya proyek, termasuk adanya kemungkinan subsidi tiket,” ujarnya.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/485323/rencana-proyek-kereta-cepat-ke-surabaya