KORANTEMPO, JAKARTA – Pemerintah diminta berhati-hati sebelum melanjutkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung hingga ke Surabaya bersama Cina. Salah satu risiko yang membayangi adalah makin tingginya ketergantungan utang kepada Negeri Tirai Bambu tersebut, khususnya untuk membiayai pembangunan infrastruktur. “Kondisi ini bisa menciptakan jebakan utang atau debt trap,” ujar Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira kepada Tempo, kemarin.
Risiko itu terlihat dari biaya jumbo yang dibutuhkan untuk memperpanjang rute kereta cepat hingga ke Surabaya. Diperkirakan proyek ini memerlukan biaya 4,8 kali dari ongkos yang dikeluarkan untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Asumsinya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer saja menelan biaya hingga sekitar Rp 112,5 triliun. Artinya, untuk setiap kilometer, biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 790,5 miliar.
Dari hitungan tersebut, jika dikalikan dengan jarak dari Bandung ke Surabaya yang mencapai 690 kilometer, estimasi biayanya adalah sekitar Rp 545 triliun, lebih tinggi daripada anggaran perlindungan sosial dalam APBN 2024 yang sebesar Rp 493 triliun. Besarnya biaya tersebut diperkirakan membuat pemerintah memanfaatkan skema yang sama dengan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung: berutang ke Cina. Masalahnya, kata Bhima, bunga pinjaman Cina tidak bisa disebut murah.
Sejumlah penumpang kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menunggu keberangkatan di Stasiun Halim, Jakarta, 20 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Sebagai informasi, dalam utang untuk menutupi pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Cina memberi bunga pinjaman sebesar 3,7-3,8 persen. Nilai bunga tersebut dianggap terlampau besar dibanding bunga yang pernah ditawarkan Jepang, sekitar 0,1 persen. “Itu artinya proyek kereta cepat secara keuangan sangat mahal,” kata Bhima.
Selain itu, apabila skema pengerjaan dan pembiayaan proyek ini sama seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, beban badan usaha milik negara yang menjadi pelaksana proyek akan sangat berat karena harus menanggung ongkos operasional dan pembayaran pokok utang plus bunga yang tinggi. Kondisi ini, ujar Bhima, juga menimbulkan risiko kontingensi ke APBN di kemudian hari.
Tak berbeda jauh, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono juga menilai salah satu titik kritis dalam memperpanjang rute kereta cepat adalah soal biaya. Dari kalkulasi Ideas, ekstensi rute ini diperkirakan memerlukan biaya hingga Rp 550 triliun. “Kebutuhan investasi ini sangat besar dan menjadi berisiko tinggi ketika pendanaan bersumber dari utang komersial.”
Apalagi pemerintah pernah keliru dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Dari semula dinyatakan proyek ini digarap dengan skema murni kerja sama bisnis alias business-to-business, tapi akhirnya tetap mengandalkan anggaran negara plus pemberian penjaminan pemerintah.
Setelah ongkos proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak dan perlu pembiayaan tambahan, pemerintah akhirnya menggelontorkan APBN serta memberikan penjaminan utang agar proyek bisa dirampungkan. Secara ekonomi pun proyek ini nyatanya menggunakan tenaga kerja asing, bahkan hingga tahap pengoperasiannya. “Jika untuk proyek Rp 110 triliun saja kita sudah sedemikian lemah di hadapan Cina, apalagi untuk proyek lebih dari Rp 550 triliun,” kata Yusuf.
Soal pembiayaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, @luhut.pandjaitan, pada 28 Oktober lalu, mengatakan perjanjian dengan Cina untuk proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya sudah berjalan. “Malah bunga pinjamannya jauh lebih murah daripada yang ditawarkan oleh banyak negara lain.”
Namun, kemarin, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan perkara ongkos proyek dan skema pembiayaan kereta cepat Bandung-Surabaya sampai saat ini masih dikaji bersama Cina. Negeri Tirai Bambu menjadi pilihan pemerintah karena sudah membangun rute existing Jakarta-Bandung. “Nanti setelah hasil studi keluar, jumlah (biaya proyek) dan feasibility-nya seperti apa, baru kami bahas.”
Saat disinggung soal bunga utang pinjaman cost overrun dari China Development Bank (CDB) sebesar 3,7-3,8 persen, Kartika menilai angka itu relatif kecil dibanding surat utang Amerika Serikat yang sebesar 5,25 persen. “Jauh di bawah itu.” Ia mengatakan bunga utang dari CDB itu pun bukan bunga komersial, melainkan bunga konsesi dengan tenor panjang hingga 35 tahun.
Suasana dalam kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) saat menunggu keberangkatan di Stasiun Halim, Jakarta, 20 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya secara bisnis sangat masuk akal dan diprediksi mendapat pangsa pasar yang besar bila sudah beroperasi. Sebab, rute ini bisa menyingkat waktu perjalanan Jakarta-Surabaya hanya 3,5 jam sehingga menjadi penawaran menarik bagi konsumen.
Namun pendanaan proyek ini tetap harus direncanakan secara profesional dan model pembiayaannya tidak merugikan pemerintah. Menurut Ronny, pemerintah harus mengambil pelajaran dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Terutama dari sisi model pembiayaan, nominal pembiayaan, jaminan pembiayaan, komitmen transfer teknologi, komitmen pembiayaan riset untuk pengembangan teknologi transportasi nasional, komitmen soal komposisi barang modal untuk proyek, komitmen dalam memberikan prioritas pada sumber daya manusia domestik, hingga efek pengganda pada perekonomian nasional selama proyek berjalan.
Dengan kata lain, Ronny mengingatkan agar kalkulasi biaya harus dihitung secara teliti dan berdasarkan rasionalitas komersial, bukan berdasarkan rasionalitas politik. Dengan demikian, kelayakannya bisa diterima oleh publik dan pada akhirnya tidak memerlukan jaminan APBN. “Jadi nominal pembiayaan bisa diterima akal sehat, nominal utang kereta cepat pun terbilang bisa diterima secara komersial dan jumlahnya tidak berubah tiba-tiba.”
Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/485326/risiko-utang-jumbo-proyek-kereta-cepat