Indonesia dapat melakukan inisiatif strategis di sini, dengan katakan mendirikan central boycott office.
Oleh YUSUF WIBISONO, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)
REPUBLIKA, JAKARTA-Serangan brutal Israel yang menarget warga sipil di Gaza sebulan terakhir, dari permukiman, sekolah, rumah sakit hingga rumah ibadah, telah menimbulkan korban jiwa yang sangat besar di pihak Palestina.
Hanya dalam 32 hari, antara 7 Oktober hingga 7 November 2023, korban tewas di pihak Palestina menembus 10 ribu jiwa, dengan lebih 4.000 korban adalah anak-anak, dan 24 ribu orang terluka.
Jumlah korban sipil di pihak Palestina ini telah melampaui korban perang Rusia–Ukraina dalam 1,5 tahun terakhir. Korban meninggal dunia dalam 592 hari perang Rusia–Ukraina, antara 24 Februari 2022 hingga 8 Oktober 2023, ‘hanya’ 9.806 jiwa, dengan 560 korban adalah anak-anak, dan 18 ribu orang terluka.
Kejahatan perang Israel yang sangat mengerikan di Gaza telah mendatangkan simpati dan dukungan masyarakat global untuk Palestina. Salah satu bentuk dukungan yang paling signifikan dari dunia internasional untuk Palestina adalah boikot ekonomi.
Kejahatan perang Israel yang sangat mengerikan di Gaza telah mendatangkan simpati dan dukungan masyarakat global untuk Palestina. Salah satu bentuk dukungan yang paling signifikan dari dunia internasional untuk Palestina adalah boikot ekonomi.
Kampanye boikot produk-produk yang diduga berafiliasi dengan Israel menyebar sangat masif terutama di media sosial sebagai bentuk dukungan terhadap Palestina. Gerakan boikot ini merupakan bentuk dukungan nyata masyarakat dunia untuk menghentikan krisis kemanusiaan di Gaza.
Di Indonesia, kampanye boikot Israel tak kalah masif, dengan sejumlah jenama asing terkenal menjadi sasaran utama karena dinilai publik cenderung mendukung serangan brutal Israel dan secara tidak langsung ikut bertanggung jawab atas krisis kemanusiaan di Gaza.
Dengan ikut berpartisipasi dalam boikot, maka publik ikut berkontribusi dalam memutus atau setidaknya menghambat pihak-pihak yang menyokong kejahatan Israel.
Terkini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa bahwa haram hukumnya mendukung pihak yang diketahui menyokong agresi Israel, seperti dengan membeli dan menggunakan produk dari Israel dan yang terafiliasi dengan Israel.
Pembelian produk yang hasilnya secara nyata digunakan untuk mendukung Israel, terhitung sebagai tindakan mendukung penjajahan dan kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina.
Prinsip dasar boikot adalah gerakan nonkekerasan yang legal, karena boikot merefleksikan etika dan moral konsumen dalam keputusan membeli dan konsumsi. Secara empiris, tidak ada keputusan ekonomi yang tidak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu.
Boikot sebagai etika konsumsi
Prinsip dasar boikot adalah gerakan nonkekerasan yang legal, karena boikot merefleksikan etika dan moral konsumen dalam keputusan membeli dan konsumsi. Secara empiris, tidak ada keputusan ekonomi yang tidak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu.
Seluruh aktivitas ekonomi adalah value chain dan untuk setiap rantai nilai itu konsumen turut bertanggung jawab. Keputusan membeli dan konsumsi adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan moral mereka.
Kasus terbaik boikot adalah boikot terhadap rezim apartheid Afrika Selatan. Sanksi ekonomi dunia terhadap Afrika Selatan mengambil tiga bentuk: boikot produk ekspor Afrika Selatan, embargo minyak, dan divestasi investasi asing di Afrika Selatan.
Boikot dimulai sejak 1973 ketika sejumlah bank asing memperketat kredit dan sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya di Afrika Selatan. Berpuncak pada pertengahan 1980-an ketika negara-negara utama Eropa, Kanada, Jepang, dan Amerika Serikat secara resmi memboikot Afrika Selatan.
Pada 1990, rezim apartheid di Afrika Selatan berakhir. Seluruh sanksi ekonomi atas Afrika Selatan dicabut ketika Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden pada 1994.
Boikot ekonomi bertujuan memberi tekanan kepada Israel agar menghentikan pendudukannya atas wilayah Palestina, memberi hak-hak warga Palestina secara penuh, dan mengizinkan pengungsi Palestina kembali ke tanah air mereka.
Boikot kepada Israel terbenarkan karena lebih tujuh dekade, Israel secara konsisten menunjukkan kejahatan dan kebijakan apartheid-nya atas Palestina. Banjir kecaman dan kutukan masyarakat dunia tidak pernah mengubah sedikit pun kebijakan dan sikap Israel dalam penjajahannya atas Palestina.
Boikot ekonomi bertujuan memberi tekanan kepada Israel agar menghentikan pendudukannya atas wilayah Palestina, memberi hak-hak warga Palestina secara penuh, dan mengizinkan pengungsi Palestina kembali ke tanah air mereka.
Logika boikot adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi atau dialog. Strategi diplomasi untuk mencapai hak-hak bangsa Palestina selama ini terbukti gagal karena Israel menikmati proteksi dan imunitas hegemoni kekuatan dunia.
Logika dialog dan persuasi terhadap Israel menunjukkan kebangkrutannya karena tidak ada “efek jera” bagi Israel tentang mengerikannya penjajahan, bahkan penindasan Israel justru makin meningkat.
Boikot sebagai gerakan
Boikot adalah ekspresi dari pilihan moral konsumen yang sah dan legal. Tidak heran jika boikot sebagai ekspresi perlawanan nonkekerasan atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel, tidak hanya terjadi di Indonesia.
Boikot ekonomi terhadap Israel telah lama menjadi fenomena global. Boikot masyarakat global terhadap Israel diinisiasi oleh gerakan “Palestinian Civil Society Call for Boycott, Divestment and Sanctions (BDS)” sejak 2005.
Agar efektif, boikot harus menjadi gerakan sistematis jangka panjang, bukan kerumunan sporadis jangka pendek. Hal krusial adalah efektifivitas boikot dalam mendorong perubahan kebijakan.
Agar efektif, boikot harus menjadi gerakan sistematis jangka panjang, bukan kerumunan sporadis jangka pendek. Hal krusial adalah efektifivitas boikot dalam mendorong perubahan kebijakan.
Mekanisme boikot adalah dilema yang dialami negara atau perusahaan terkait penurunan kinerja ekonomi dan finansial akibat boikot. Semakin signifikan penurunan kinerja ekonomi dan finansial, semakin besar daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan.
Agar berdampak signifikan dan mampu membuat perubahan kebijakan, boikot harus diikuti secara luas dan berkelanjutan. Keputusan konsumen untuk berpartisipasi dalam gerakan boikot ditentukan oleh persepsi publik akan probabilitas keberhasilan boikot.
Persepsi konsumen terhadap keberhasilan boikot sendiri ditentukan oleh kombinasi dari ekspektasi mereka terhadap tingkat partisipasi publik secara keseluruhan dan kerangka pesan yang disampaikan dalam komunikasi proboikot.
Menjadi krusial bagi pengelola dan aktivis proboikot untuk menyampaikan pesan-pesan berbasis nilai-nilai universal agar boikot ke Israel menjadi gerakan global, tidak bernuansa agama atau wilayah tertentu saja.
Partisipasi konsumen dalam boikot juga akan sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya yang akan mereka tanggung akibat boikot.
Partisipasi konsumen dalam boikot juga akan sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya yang akan mereka tanggung akibat boikot.
Strategi boikot secara menyeluruh (full boycott) berimplikasi pada biaya yang sangat besar pada konsumen.
Adopsi full boycott berimplikasi pada primary boycott, boikot ekonomi terhadap Israel dan warga negaranya; secondary boycott, boikot terhadap pihak non-Israel yang dipandang berkontribusi secara signifikan pada kekuatan ekonomi dan militer Israel; bahkan juga tertiary boycott, boikot terhadap pihak yang berhubungan dengan mereka yang masuk dalam blacklist di secondary boycott.
Biaya yang ditanggung konsumen dari full boycott adalah sangat besar karena besarnya produk yang diboikot dan minimnya akses terhadap produk substitusi. Maka adopsi partial boycott menjadi krusial dalam jangka pendek untuk menekan biaya yang ditanggung konsumen sekaligus mendorong partisipasi publik secara luas dalam boikot.
Dengan berfokus pada beberapa produk “prioritas” yang akan diboikot sebagai representasi boikot dan di saat yang sama secara sistematis berupaya memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang diboikot, gerakan boikot tidak hanya menjadi sarana perlawanan terhadap kejahatan Israel, tapi juga sebagai kebijakan afirmatif, katakan untuk usaha mikro dan pengusaha lokal.
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat melakukan inisiatif strategis di sini, dengan katakan mendirikan central boycott office.
Sumber :https://www.republika.id/posts/47680/krisis-gaza-dan-boikot-israel