BTN Syariah dan Masa Depan Perbankan Syariah

Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono

INVESTOR.ID, JAKARTA – Dalam pekan terakhir, berhembus kabar bahwa BTN berniat mengakuisisi Bank Muamalat untuk digabungkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) BTN. Selain menegaskan rencana BTN untuk melakukan spin-off UUS-nya, perkembangan ini sekaligus mengkonfirmasi batalnya rencana awal pemerintah yang semula berniat menggabungkan BTN Syariah dengan BSI.

Kita mengapresiasi batalnya akuisisi UUS BTN oleh BSI. UUS BTN harus dibiarkan spin-off dan menjadi Bank Umum Syariah (BUS), menjadi pesaing BSI, dengan BTN Syariah berspesialisasi pada pembiayaan perumahan.

Kita menyambut baik rencana BTN untuk spin-off UUS BTN dengan cara mengakuisisi bank lain untuk digabungkan dengan BTN Syariah menjadi BUS baru. Namun kita menyayangkan jika bank yang akan diakuisisi BTN adalah Bank Muamalat yang merupakan bank syariah pertama dan bank syariah terbesar ke-2 saat ini. Kita berharap bank yang akan diakuisisi BTN untuk digabungkan dengan BTN Syariah adalah bank konvensional dengan fokus pembiayaan perumahan.

Kebijakan spin-off yang didorong OJK sudah berada di arah yang tepat untuk mendorong perkembangan industri perbankan syariah, yaitu POJK No. 12/2023 tentang spin-off UUS. Kita mengapresiasi arah besar kebijakan OJK yang mewajibkan tidak hanya bank namun lembaga jasa keuangan konvensional untuk memisahkan UUS-nya, yang merupakan elemen kebijakan sangat penting untuk pengembangan industri perbankan dan keuangan syariah nasional.

POJK No. 12/2023 mengatur bahwa UUS wajib spin-off ketika asetnya telah mencapai 50 persen dari aset induk atau minimal aset mencapai Rp 50 triliun. Ketika syarat terpenuhi, UUS wajib spin-off paling lambat 2 tahun kemudian.

Dengan POJK ini arus besar pengembangan perbankan syariah melalui kewajiban spin-off UUS yang telah susah payah dirintis UU No. 21/2008 dalam 15 tahun terakhir, dapat terus berlanjut.

Dengan POJK No. 12/2023 ini maka UUS besar seperti BTN Syariah harus spin-off dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2022, aset UUS BTN telah menembus Rp 45 triliun. Kita berharap OJK mengawal spin-off UUS ini dengan ketat, dan terutama dengan mengarahkan agar spin-off BTN Syariah ini tidak sekedar untuk menghasilkan pesaing BSI namun juga bervisi untuk mengembangkan market share industri perbankan syariah.

Jika spin-off diserahkan ke industri, maka pelaku pasar akan memilih opsi yang paling efisien, mudah dan cepat dilakukan. Dengan arahan OJK yang menginginkan adanya pesaing bagi BSI, hal ini akan membawa spin-off sekedar pada konsolidasi industri saja.

Kita bersepakat bahwa BSI harus mendapatkan pesaing yang cukup kuat agar persaingan di industri perbankan syariah menjadi lebih sehat. Saat ini industri perbankan syariah sangat timpang dimana BSI menjadi satu-satunya pemain yang sangat dominan, yaitu aset pada kuartal III 2023 menembus Rp 319,8 triliun, menguasai hampir 40 persen market share perbankan syariah nasional. Pesaing terdekat-nya adalah Bank Muamalat dengan aset hanya Rp 66,2 triliun, diikuti UUS CIMB Niaga Rp 61,5 triliun dan UUS BTN Rp 46,3 triliun (kuartal I 2023).

Selayaknya BSI memiliki 3-4 pesaing yang sepadan agar industri perbankan syariah nasional lebih sehat. Kasus lumpuhnya layanan BSI yang membuat konsumen perbankan syariah nasional mengalami kerugian sangat besar, terutama masyarakat Aceh, harus menjadi pelajaran berharga.

Namun demikian, agenda terbesar industri keuangan syariah hingga kini adalah mendorong market share perbankan syariah yang per Juni 2023 masih di kisaran 7,3 persen dari total industri perbankan nasional. Dengan kata lain, OJK seharusnya tidak hanya berfokus pada pencarian pesaing BSI namun di saat yang sama juga secara progresif terus mengejar kenaikan market share perbankan syariah.

Opsi yang paling strategis dan menunjukkan afirmasi pemerintah untuk pengembangan industri perbankan syariah seharusnya adalah konversi Bank BUMN Konvensional menjadi bank umum syariah (BUS), yaitu BTN. Dengan aset BTN yang kini telah berada di kisaran Rp 400 triliun, maka konversi BTN menjadi BUS akan segera menciptakan pesaing yang kredibel bagi BSI.

Dalam skenario ini maka spin-off UUS BTN dilakukan dengan cara mengalihkan UUS ke BTN sebagai induk dimana pada saat yang sama BTN mengkonversi diri menjadi BUS. Jika skenario strategis-afirmatif ini terwujud, maka market share perbankan syariah akan melonjak menembus 11 persen.

Namun jika opsi yang dipilih pemerintah adalah spin-off UUS BTN menjadi BUS baru dengan cara mengakuisisi bank lain dan menggabungkannya ke BTN Syariah, maka kita berharap akuisisi ini dilakukan ke bank konvensional, bukan ke bank syariah. Jika BTN menggabungkan BTN Syariah dengan Bank Muamalat, maka tidak ada pengaruh-nya bagi market share perbankan syariah. Jika BTN mengakuisisi bank konvensional dengan ukuran aset, katakan Rp 75 triliun, maka market share perbankan syariah akan segera menembus 8,0 persen.

Jika BTN mengakuisisi Bank Muamalat, maka kita akan mengulang kasus merger 3 bank BUMN Syariah menjadi BSI yang tidak memiliki dampak bagi perkembangan market share industri. Pasca berdirinya BSI, dengan ketiadaan injeksi modal baru, market share perbankan syariah tidak banyak berubah.

Demikian pula jika Bank Muamalat digabung dengan BTN Syariah, tidak akan ada penambahan market share industri perbankan syariah. Kita berharap OJk benar-benar mengawal agar proses spin-off UUS ini tidak hanya menghasilkan bank syariah besar sebagai pesaing BSI namun juga mendorong market share industri perbankan syariah.

Kita perlu mengambil best practices dari proses spin-off UUS dibawah UU No. 21/2008 yang terbukti berhasil membesarkan market share industri perbankan syariah nasional.

Pada 15 tahun awal eksistensi-nya, yaitu sejak diperkenalkan pada 1992 hingga Juni 2008, pangsa pasar perbankan syariah hanya mencapai 2,36 persen saja. Namun sejak UU No. 21/2008 hadir pada Juli 2008, market share perbankan syariah meningkat signifikan. Dalam 16 tahun terakhir, antara Juni 2008 hingga Juni 2023, pangsa pasar perbankan syariah melonjak dari 2,36 persen menjadi 7,31 persen.

Sejak hadirnya UU No. 21/2008, setidaknya tercatat 4 pola respon pelaku BUK (Bank Umum Konvensional) yang masuk ke pasar perbankan syariah dalam menghadapi ketentuan kewajiban spin-off. Pertama, sejak awal tidak membentuk UUS namun secara langsung mengakuisisi BUK lain dan mengkonversi-nya menjadi BUS, sebagaimana kasus BCA Syariah.

Kedua, melakukan spin-off UUS-nya menjadi BUS, sebagaimana kasus BJB Syariah. Ketiga, mengakuisisi BUK lain dan mengalihkan UUS-nya ke BUK tersebut yang pada saat yang sama dikonversi menjadi BUS, sebagaimana kasus BTPN Syariah.

Keempat, mengalihkan UUS ke BUK induk dimana pada saat yang sama BUK induk mengkonversi diri menjadi BUS, sebagaimana kasus Bank Aceh Syariah dan Bank NTB Syariah.

Kita berharap spin-off UUS BTN menjadi momentum bagi BTN untuk menunjukkan keseriusan BTN untuk turut berkontribusi dalam mengembangkan dan membesarkan industri syariah dengan cara mengakuisisi bank konvensional dan menggabungkan nya dengan BTN Syariah menjadi BUS baru. Dan untuk menguatkan core business BTN Syariah, bank konvensional yang diakuisisi BTN sebaiknya adalah bank konvensional yang memiliki fokus di pembiayaan perumahan.

Direktur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies)*) 

Sumber :https://investor.id/investory/346803/btn-syariah-dan-masa-depan-perbankan-syariah