KORANTEMPO, JAKARTA – Penyaluran kredit terancam kian menyusut seiring dengan tren pergeseran preferensi penempatan dana perbankan. Presiden Joko Widodo sebelumnya mengungkapkan adanya keluhan dari pelaku usaha tentang peredaran uang yang semakin kering dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia pada Rabu, 29 November 2023.
Jokowi menduga hal itu disebabkan oleh perbankan yang lebih banyak membeli instrumen surat utang berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan Kementerian Keuangan dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang diterbitkan Bank Indonesia alih-alih menyalurkannya kepada sektor riil.
“Jangan-jangan terlalu banyak yang dipakai untuk membeli SBN, SRBI, atau Surat Berharga dalam Valuta Asing sehingga yang masuk ke sektor riil berkurang,” ujarnya.
Jokowi mengatakan pemerintah tak melarang perbankan membeli instrumen keuangan, tapi dia meminta agar tak terlampau jorjoran hingga mengabaikan kebutuhan dunia usaha. “Jangan semuanya ramai-ramai membeli, agar sektor riil bisa lebih baik dari tahun lalu.”
Presiden juga mengajak industri perbankan tetap optimistis dan semakin menggencarkan penyaluran kredit, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dengan senantiasa memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Menampar Wajah Pemerintah
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebutkan fenomena perbankan yang lebih menyukai berinvestasi di SBN daripada menyalurkan kredit ke sektor riil sebenarnya bukanlah hal baru dan telah berlangsung cukup lama.
“Kritik Presiden ke perbankan di satu sisi positif dan bertujuan baik, meski sebenarnya amat terlambat dan menampar wajah pemerintah sendiri,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Sebelum masa pandemi Covid-19, perbankan menggenggam sekitar 20 persen dari total SBN yang diterbitkan pemerintah. Pada akhir 2019, kepemilikan SBN berdenominasi rupiah oleh perbankan tercatat sebesar Rp 581 triliun atau sekitar 21,1 persen dari total outstanding SBN yang sebesar Rp 2.750 triliun.
Pada masa pandemi, pembelian SBN melambung tinggi. Pada akhir 2020, penempatan dana perbankan di SBN melambung hingga Rp 1.375 triliun; lalu meningkat menjadi Rp 1.591 triliun; dan mencapai puncaknya pada akhir 2022, yaitu sebesar Rp 1.697 triliun.
“Salah satu pemicunya adalah tingginya risiko penyaluran kredit pada masa krisis dan besarnya penerbitan SBN oleh pemerintah untuk menutup defisit anggaran,” kata Yusuf.
Per November 2023, kepemilikan SBN oleh perbankan mulai menunjukkan penurunan menjadi Rp 1.571 triliun, meski angka ini masih jauh lebih tinggi dibanding kondisi prapandemi yang hanya berada di kisaran Rp 581 triliun.
Lonjakan Utang Picu Pelemahan Fungsi Intermediasi
Pekerja tengah merancang bangun model kertas atau papercraft di rumah produksi Ichinogami di Kemanggisan, Jakarta, 31 Agustus 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Menurut Yusuf, masalah rendahnya pasokan kredit perbankan terjadi karena dua penyebab. Pertama adalah keengganan perbankan menanggung risiko tinggi dari penyaluran kredit ke sektor riil, terutama UMKM. Kedua adalah penerbitan SBN yang sangat masif pada masa pandemi.
“Lonjakan utang pemerintah yang sangat masif pada masa pandemi harus dibayar mahal kini dalam bentuk pelemahan fungsi intermediasi perbankan hingga meningkatnya tekanan inflasi,” ujarnya.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berujar, fenomena yang disampaikan Jokowi dikenal dengan istilah crowding out effect. Kondisi ini terjadi ketika beberapa pihak saling berebut untuk mendapatkan dana yang tersedia di masyarakat. Akibatnya, pihak-pihak yang bersaing berlomba memberikan imbal hasil yang tinggi.
“Crowding out effect kerap terjadi ketika pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk membiayai pembangunan ataupun belanja sehingga umumnya sektor swasta harus bersaing dengan pemerintah untuk mendapatkan dana,” ucapnya. Sektor swasta biasanya kalah dalam persaingan karena tidak bisa mengimbangi imbal hasil yang ditawarkan pemerintah.
Yusuf mengimbuhkan, selama pemerintah tidak memiliki kebijakan yang bisa memaksa perbankan menyalurkan dana lebih banyak ke sektor riil, perbankan akan bekerja sesuai dengan kondisi alamiahnya, yakni melakukan penempatan dana yang menguntungkan dan memperkecil risiko. Kondisi tersebut yang kemudian mendorong semakin banyak penempatan dana perbankan ke instrumen obligasi alih-alih ke sektor riil.
Publik Ikut Berpaling ke SBN
Petugas melayani nasabah yang ingin membeli Surat Utang Negara retail. ANTARA/Nova Wahyudi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara membenarkan bahwa akar permasalahan seretnya pendanaan sektor riil oleh perbankan adalah penerbitan surat utang pemerintah yang menyedot likuiditas di pasar dengan imbal hasil yang relatif tinggi, yaitu 6-7 persen per tahun.
“Perbankan jadi malas menyalurkan kredit dan main aman dengan memarkir dana di SBN. Begitu juga masyarakat yang selama ini menjadi deposan lebih melirik SBN dengan bunga yang lebih tinggi daripada deposito,” ujarnya.
Menurut Bhima, supaya dampak perebutan dana ini tidak semakin membahayakan, pemerintah perlu menata ulang kebijakan penerbitan surat utangnya, seperti menunda penerbitan SBN dan mengatur jarak penerbitannya.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede berpendapat bahwa likuiditas perbankan saat ini semakin ketat, yang terlihat dari kenaikan rasio pinjaman terhadap simpanan (loan-to-deposit ratio/LDR). Namun seharusnya jumlah likuiditas yang ada itu tetap memadai untuk menyalurkan kredit ke sektor riil.
Ia menyatakan, untuk menghindari dampak lanjutan crowding out effect, penghimpunan dana melalui SBN juga harus diikuti peningkatan belanja agar memacu roda perekonomian. “Jika pemerintah dapat mengakselerasi belanjanya, dampak dari penghimpunan dana SBN tidak akan menjadi masalah karena akan kembali ke sektor riil dan masuk lagi ke sistem perbankan,” ujarnya.
Likuiditas Perbankan Lebih Ketat
Kalangan perbankan tak menampik adanya kecenderungan pengetatan likuiditas di industri, khususnya menjelang akhir tahun ini. Direktur Utama PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan berujar, hal itu tampak jelas dari pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
“Likuiditas di pasar memang terlihat lebih ketat. Ada peningkatan rasio LDR,” katanya kepada Tempo.
Lani mencontohkan, di CIMB Niaga, pertumbuhan kredit hingga kuartal III 2023 sebesar 6 persen yang ditopang oleh kredit segmen UMKM dan retail, khususnya kredit kendaraan bermotor. Sedangkan pertumbuhan kredit segmen korporasi menengah dan besar mengalami kontraksi. Di sisi lain, pertumbuhan DPK didominasi oleh dana murah atau current account saving account (CASA), seperti tabungan.
“Meski secara keseluruhan biaya dana yang ditimbulkan tetap masih mahal.”
Sementara itu, kalangan perbankan membantah adanya kecenderungan pembelian instrumen surat utang yang berlebihan. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, misalnya, menyampaikan penempatan instrumen surat berharga per Oktober 2023 sebesar Rp 224 triliun atau turun 13,85 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp 260,2 triliun.
Vice President Corporate Communication Bank Mandiri Ricky Andriano mengatakan, sebaliknya, di sisi kredit, perseroan mencatatkan pertumbuhan penyaluran hingga 13,74 persen secara tahunan menjadi Rp 1.031,4 triliun. “Hal ini mengindikasikan peran intermediasi keuangan kami semakin baik,” ucapnya.
Secara keseluruhan, pertumbuhan penyaluran kredit Bank Mandiri sepanjang tahun ini diprediksi berada di 10-12 persen, dengan segmen pertumbuhan yang merata, baik wholesale atau korporasi maupun retail.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, menimpali, bank sering kali menempatkan investasi di SBN karena dianggap sebagai investasi yang relatif aman dan likuid. “Beberapa alasannya adalah keamanan modal, penghasilan bunga yang stabil, dan ketersediaan pasar sekunder untuk likuiditas.”
Adapun pengelolaan likuiditas dilakukan dengan mempertimbangkan jangka waktu investasi yang sesuai dengan kebutuhan likuiditas bank. Dalam hal ini, bank dapat menjual SBN di pasar sekunder jika memerlukan dana tunai.
Arianto mengatakan, dalam mengelola aset dan liabilitasnya, bank memiliki tujuan memaksimalkan imbal hasil. “Secara umum, porsi penempatan bank-bank pada SBN adalah 10-30 persen dari portofolio pinjaman, dan porsi ini bergerak sesuai dengan kebutuhan ekspansi serta pengelolaan likuiditasnya.”
Penerbitan SBN bertujuan untuk membiayai kebutuhan operasional negara hingga proyek pembangunan. Sedangkan penerbitan SRBI ditujukan untuk mengendalikan nilai tukar rupiah sebagai instrumen moneter.
Bank dilibatkan sebagai bagian dalam transmisi kebijakan itu, terlebih bank juga memiliki kepentingan untuk mengelola imbal hasil dan biaya bunga dengan memanfaatkan penerbitan SBN. “Jadi bank dan pemerintah dalam hal ini saling membutuhkan.”
OJK Sebut Likuiditas Perbankan Masih Bagus
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar turut membantah adanya keterbatasan ruang penyaluran kredit oleh perbankan. Jika merujuk pada aspek likuiditas dan kesehatan kinerja, perbankan diyakini masih memiliki ruang yang longgar untuk menyalurkan kredit kepada sektor riil.
“Pada akhirnya, pemberian kredit, peningkatan investasi atau modal kerja, serta kebutuhan lainnya sangat bergantung pada kondisi pertumbuhan di sektor riil,” ucapnya.
Adapun perkembangan pertumbuhan kredit dan DPK yang belakangan melambat, menurut dia, merupakan hal yang wajar, mengingat sektor-sektor usaha baru saja pulih dan bangkit dari kondisi pandemi Covid-19. Pada Oktober 2023, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 8,7 persen dan DPK sebesar 3,9 persen.
“Kalau dilihat dari kacamata rasio kredit terhadap simpanan (LDR) yang masih berada di kisaran 83 persen, ini menunjukkan bahwa ruang peningkatan alokasi kredit masih besar,” kata Mahendra. Dengan demikian, momentum pertumbuhan ekonomi ke depan diharapkan dapat terus terjaga dengan dukungan pembiayaan dari perbankan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menimpali, bank sentral telah memberikan insentif kepada perbankan untuk mendorong kecukupan likuiditas. Di antaranya pemberian insentif likuiditas makroprudensial berupa pelonggaran kewajiban pemenuhan giro rupiah bank di BI yang diberikan kepada bank yang menyalurkan pembiayaan dalam rangka mendukung pemulihan perekonomian.
“Insentif likuiditas akan terus kami lanjutkan sebagai tambahan likuiditas untuk perbankan menyalurkan kredit,” ujarnya.
Perry mengimbau, likuiditas tambahan yang dimiliki perbankan seharusnya dialirkan langsung ke sektor riil, bukan membeli SBN atau SRBI. Bank sentral memproyeksikan likuiditas perbankan akan bertambah hingga Rp 158,6 triliun, yang bisa dipakai untuk meningkatkan pertumbuhan kredit perbankan hingga 0,6-0,7 persen dari target bank sentral sebesar 9-11 persen pada 2023.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/485868/kenapa-penyaluran-kredit-ke-sektor-riil-seret