Zakat, COP-28, dan Perubahan Iklim

Oleh YUSUF WIBISONO, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)

REPUBLIKA, JAKARTA – Pemimpin dunia kembali membahas kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim dalam pertemuan puncak iklim internasional, Conference of Parties ke-28 (COP-28), di Dubai.

Membatasi perubahan iklim di masa depan merupakan prioritas terpenting umat manusia saat ini untuk mencegah bencana dan kepunahan massal. Dunia hari ini sudah berada dalam kondisi darurat perubahan iklim dan pemanasan global.

Salah satu isu yang mengemuka dalam COP-28 adalah rendahnya komitmen dan realisasi bantuan negara-negara maju untuk pembiayaan iklim negara-negara berkembang. Hal ini dipastikan akan menyulitkan negara-negara berkembang memenuhi komitmen iklim mereka dan berpotensi memperburuk masalah perubahan iklim dan pemanasan global.

Salah satu isu yang mengemuka dalam COP-28 adalah rendahnya komitmen dan realisasi bantuan negara-negara maju untuk pembiayaan iklim negara-negara berkembang, sehingga berpotensi memperburuk masalah perubahan iklim dan pemanasan global.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau, garis pantai hingga 108 ribu km, dan luas wilayah perairan 6,4 juta km2, Indonesia rentan dengan ancaman pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut.

Dalam senyap, wilayah daratan Indonesia terus berkurang, bukan karena invasi, tapi karena abrasi. Kenaikan permukaan air laut secara langsung mengancam kehidupan sekitar 13 ribu desa tepi laut di seluruh penjuru negeri, yang mengandalkan sektor tanaman pangan (padi), perkebunan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, peternakan dan kehutanan sebagai sumber penghasilan utama bagi penduduknya.

Riset IDEAS (2022) menunjukkan bahwa sejumlah daerah pesisir telah kehilangan wilayah daratannya secara signifikan dalam dua dekade terakhir.

Di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, kawasan yang tenggelam pada 2000-2021 di dua desa mencapai 16,13 km2 atau sekitar 1.613 hektare.

Kasus serupa ditemui di Sayung, Kabupaten Demak. Kawasan yang tenggelam di enam desa selama 2000-2021 mencapai 15,6 km2 atau 1.560 hektare.

Terkait sulitnya pembiayaan iklim yang dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, selayaknya lembaga filantropi Islam ikut berdiri di garda terdepan dalam salah satu isu paling krusial dalam peradaban manusia modern ini.

Terkait sulitnya pembiayaan iklim yang dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, selayaknya lembaga filantropi Islam ikut berdiri di garda terdepan dalam salah satu isu paling krusial dalam peradaban manusia modern ini.

Untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi pada isu perubahan iklim dan pemanasan global, penulis mengusulkan agar salah satu kriteria mustahik adalah mereka yang terdampak perubahan iklim dan pemanasan global (yaitu masuk ke ashnaf fakir-miskin) dan mereka yang berjuang melawan perubahan iklim dan pemanasan global (yaitu masuk ke ashnaf fii sabilillah).

Dengan demikian filantropi Islam dapat menunjukkan afirmasi yang lebih kuat ke isu perubahan iklim dan pemanasan global.

Dunia saat ini terancam menghadapi salah satu bencana terbesar dalam sejarah yang mempertaruhkan kelangsungan hidup umat manusia, yaitu kegagalan mencegah kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat celcius pada 2050.

Dalam skenario kenaikan suhu 1,5 derajat celcius saja, dunia akan mengalami penurunan produksi pangan yang signifikan karena kekeringan rata-rata akan mencapai dua bulan setiap tahun dan kebakaran hutan akan melonjak, serta permukaan air laut akan naik sekitar 1 meter.

Jika skenario ini terlewati, dan dalam skenario terburuk kenaikan suhu bumi mencapai 4 derajat celcius hingga 2050, dunia akan menghadapi malapetaka berupa kekeringan ekstrem yang akan sangat sering terjadi, produksi pertanian dan perikanan akan anjlok drastis sehingga akan mengakibatkan kelaparan global, dan permukaan air laut naik hingga 9 meter.

Ancaman kepunahan tanaman, hewan dan juga manusia adalah nyata dan tidak jauh di depan kita.

Untuk memperkuat dampak zakat terhadap penyelamatan bumi, disarankan agar program perlindungan lingkungan hidup yang sudah dijalankan oleh banyak lembaga filantropi Islam sejak lama, semakin diperkuat dan difokuskan arahnya pada upaya pencegahan dan mitigasi perubahan iklim, serta memperkuat sinergi dengan pemangku kepentingan lainnya.

Saat ini program lembaga filantropi Islam masih lebih banyak terfokus pada upaya ad-hoc jangka pendek menanggulangi masalah yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global. Seperti misalnya, menyediakan air bersih di daerah yang mengalami kekeringan atau membantu relokasi permukiman dari daerah yang telah tenggelam ke daerah baru yang jauh dari pesisir.

Namun yang lebih krusial sebenarnya adalah upaya pencegahan dan mitigasi perubahan iklim. Misal, dengan mencegah masyarakat dan dunia usaha menggunakan air tanah secara berlebihan, dan mendorong masyarakat agar lebih banyak menggunakan air bersih dari pengolahan air permukaan seperti air sungai, danau, dan air hujan.

Strategi menyelamatkan bumi yang berkelanjutan lebih berfokus pada upaya memperbaiki akar masalah (corrective measures) yang berdampak jangka panjang, seperti melarang ekstraksi air tanah untuk mencegah penurunan muka tanah, menjadikan daerah pesisir sebagai kawasan cagar alam, dan melarang aktivitas yang konflik dengan pelestarian alam pesisir, menjaga daerah aliran sungai, hingga penanaman kembali mangrove.

Secara keseluruhan, program prioritas yang penting diperkuat lembaga filantropi Islam terkait lingkungan hidup setidaknya terdiri dari empat klaster program.

Pertama, upaya perintis untuk mendorong moda transportasi non-motorized sehingga akan menekan emisi karbon dari kendaraan bermotor.

Contohnya seperti mendukung program pembangunan pedestrian dan jalur sepeda hingga mendukung KRL sebagai moda transportasi massal yang andal dan terjangkau.

Kedua, upaya perintis mendorong energi hijau untuk menekan penggunaan energi kotor berbasis fosil, terutama pembangkit listrik berbasis batu bara.

Contohnya seperti mendukung pembangunan rumah atau gedung sekolah dan rumah sakit atau tempat ibadah yang hemat energi, berlimpah cahaya, tanpa pendingin ruangan (green building), hingga mendorong pembangunan pembangkit listrik skala kecil berbasis air kali atau sungai (tenaga mikrohidro).

Ketiga, upaya perintis untuk mendukung pelestarian pesisir dan mencegah hilangnya wilayah pantai, seperti dengan mendukung penanaman mangrove hingga mengolah air permukaan untuk air bersih.

Tujuannya mencegah penggunaan air tanah yang pada gilirannya akan menahan penurunan tanah (land subsidence).

Keempat, upaya perintis untuk menyelamatkan hutan, seperti dengan mendukung ketahanan ekonomi masyarakat sekitar hutan melalui program agro-forestry atau wisata hutan, mendukung 29 ribu desa yang kehidupan masyarakatnya sangat bergantung pada hutan.

Di antaranya, memanfaatkan perhutanan sosial, hingga mendukung masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola hutan adat mereka.

Sumber :https://www.republika.id/posts/48750/zakat-cop-28-dan-perubahan-iklim