Belum Efektif Atasi Masalah Beras

KORANTEMPO, JAKARTA – KEDATANGAN El Nino memberikan banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah. Perkara pangan pun menjadi kekhawatiran Presiden Joko Widodo. “Setelah kedatangan El Nino, produksi beras kita turun sedikit. Pada 2024 diperkirakan kita masih belum kembali ke keadaan normal,” kata Jokowi pada Jumat pekan lalu.

Ia mengaku mewaspadai kenaikan harga pangan akibat belum normalnya produksi. Karena itu, Presiden menyatakan pemerintah telah mengamankan 2 juta ton cadangan beras dari Thailand dan sebelumnya 1 juta ton stok dari India. “Untuk mengamankan ketahanan pangan memang itu harus kita lakukan (mengimpor).”

Direktur Ketersediaan Badan Pangan Nasional Budi Waryanto menuturkan pemerintah telah menggelar rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Perekonomian yang menyetujui impor 2 juta ton beras pada tahun depan guna mengantisipasi dampak El Nino.

“Tinggal Perum Bulog menjalankan regulasi,” ujar dia kepada Tempo, kemarin.

Rencana impor 2 juta ton beras tersebut berembus sejak November lalu. Impor diperlukan untuk memastikan cadangan beras pemerintah (CBP) cukup untuk memenuhi kebutuhan operasi pasar atau Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) serta program bantuan pangan beras 10 kilogram per bulan untuk 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang dilaksanakan hingga Juni 2024.

Pekerja menyimpan karung beras di gudang Bulog Gedebage, Bandung, Jawa Barat, 14 September 2023. TEMPO/Prima mulia

Berdasarkan hitung-hitungan Bulog pada awal November lalu, cadangan beras yang berada di gudang perusahaan diperkirakan mencapai 1,2 juta ton pada akhir 2023. Jumlah tersebut akan ditambah dengan 400 ribu ton beras impor yang akan tiba pada Januari 2024. Dengan demikian, total stok diproyeksikan mencapai 1,6 juta ton. Dari Jumlah tersebut, sebanyak 640 ribu ton akan digunakan untuk bantuan beras 10 kilogram. Kala itu, jumlah penerima bantuan beras masih sebanyak 21,3 juta KPM.

Selain untuk program bantuan beras, CBP rencananya digelontorkan untuk operasi pasar sebanyak 300 ribu ton selama Januari-Maret 2024. Walhasil, hingga akhir Maret 2024, CBP diestimasikan tinggal 700 ribu ton. Padahal, selama April-Juni 2024, Bulog masih harus menyalurkan bantuan pangan dan mengalokasikan pasokan untuk operasi pasar.

Kini pemerintah telah meningkatkan jumlah penerima bantuan pangan dari 21,3 juta KPM menjadi 22 juta KPM. Artinya, kebutuhan beras untuk tiga bulan pun naik dari 640 ribu ton menjadi 660 ribu ton. Sementara itu, estimasi CBP pun diperkirakan lebih sedikit daripada perkiraan pada November lalu. “Stok akhir tahun sekitar 1,1 juta ton,” ujar Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Bulog Mokhamad Suyamto.

Impor Menjadi Andalan

Dengan produksi beras yang masih terbatas pada awal tahun, ia tak menampik pernyataan bahwa impor menjadi andalan perseroan untuk mengisi CBP. Beras impor, ucap dia, diperlukan untuk mengantisipasi kenaikan harga karena tingkat produksi lebih sedikit daripada konsumsi beras sebelum masa panen raya.

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebutkan impor perlu dilakukan sebagai alternatif terakhir di tengah pengurangan produksi akibat perubahan iklim, fenomena El Nino, dan dampak pandemi Covid-19.

Terlebih, Kerangka Sampel Area (KSA) hasil amatan Badan Pusat Statistik pada November lalu menunjukkan bahwa area tanam yang panen masih di bawah 1 juta hektare selama tiga bulan ke depan. Padahal Indonesia memerlukan luas panen melebihi 1 juta hektare jika tidak ingin mengalami defisit neraca panen.

Arief mengungkapkan, berdasarkan proyeksi Badan Pangan, selama tiga bulan ke depan, Indonesia hanya akan bisa memproduksi beras sebanyak 900 ribu hingga 1,1 juta ton per bulan. Jumlah tersebut jauh di bawah kebutuhan konsumsi beras per bulan yang mencapai 2,5-2,6 juta ton.

Dua Jurus Antidefisit Beras

Petani mengoperasikan mesin perontok padi saat panen di Kampung Tegal Sumedang, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 26 September 2023. TEMPO/Prima mulia

Pelaksana tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Yudi Sastro, mengatakan sudah mengantisipasi mundurnya awal musim hujan dari Oktober menjadi Desember akibat El Nino. Musababnya, perubahan tersebut membuat luas area penanaman padi berkurang.

Pada 2023, puncak panen terjadi selama Februari-Maret. Adapun pada 2024, puncak panen diperkirakan mundur menjadi April-Mei. Langkah yang dilakukan Kementerian Pertanian untuk menutupi kekurangan produksi pada bulan awal 2024 adalah mempercepat penanaman di wilayah-wilayah yang curah hujannya normal pada Desember 2023 dan Januari 2024.

Wilayah-wilayah tersebut, antara lain, Sumatera bagian barat (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, dan Riau), wilayah Kalimantan, sebagian Sulawesi, serta beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. “Rencananya panen pada Maret hingga April,” ujar Yudi.

Di samping itu, Kementerian Pertanian memiliki program Gerakan Nasional (Gernas) El Nino yang dicanangkan oleh Menteri Pertanian sebelumnya, Syahrul Yasin Limpo. Intensifikasi penanaman padi pada lahan yang direncanakan mencapai 500 ribu hektare itu diklaim telah dilaksanakan pada Agustus hingga November 2023. Diperkirakan sebagian lahan Gernas El Nino mulai panen pada bulan ini hingga Februari 2024. Di atas kertas, program itu bisa menghasilkan tambahan 1,5 juta ton beras.

KSA BPS hasil amatan pada November 2023 memproyeksikan produksi pada Januari dan Februari 2024 hanya sebesar 0,93 juta ton dan 1,32 juta ton. Padahal pada periode yang sama 2023, produksi beras nasional mencapai 1,34 juta ton pada Januari dan 2,85 juta ton pada Februari.

Dengan tingkat konsumsi masing-masing 2,54 juta ton dalam dua bulan tersebut, didapati bahwa Indonesia akan mengalami defisit beras 1,61 juta ton pada Januari 2024 dan 1,22 juta ton pada Februari 2024. Pada Januari 2023, defisit beras sebesar 1,2 juta ton, sedangkan pada Februari 2023 surplus 0,31 juta ton.

Meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya, nyatanya beras tetap menjadi penyumbang utama inflasi nasional. Pemerhati pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, menyatakan upaya-upaya pemerintah hanya bisa menahan harga agar tidak naik lebih tinggi. “Kita lihat pada November harga masih naik, tapi memasuki Desember adem.” Kementerian Pertanian, menurut dia, perlu mengambil langkah lanjutan untuk menyiasati pergeseran musim hujan.

Ia berujar Gernas El Nino juga seharusnya menjadi penambal pasokan di tengah persoalan produksi seperti saat ini. Masalahnya, hingga saat ini hasilnya belum terlihat. “Jangan-jangan realisasinya tidak menggembirakan,” kata Khudori. Apabila berbagai upaya menambal produksi itu belum membuahkan hasil maksimal, mau tidak mau impor menjadi pilihan.

Peneliti pangan dari Center of Reform on Economics, Eliza Mardian, mengatakan melambungnya harga beras bukan hanya dipicu oleh produksi yang berkurang, tapi juga lonjakan biaya produksi akibat kenaikan harga bahan bakar, tenaga kerja, hingga harga pupuk. “Untuk menjaga margin keuntungan, petani harus menaikkan harga penjualan gabah yang berujung pada naiknya harga beras,” katanya.

Food Estate Dibangun, Lahan Existing Diabaikan

Karena itu, menurut Eliza, impor hanya solusi jangka pendek yang tidak bisa menyelesaikan masalah secara sistemis. Pemerintah mesti melihat masalah berkurangnya lahan pertanian dan semakin banyaknya petani yang memiliki lahan sempit. Selama ini, dia menilai, pemerintah cenderung berfokus melakukan ekspansi lahan dan membangun infrastruktur dari nol, seperti proyek lumbung pangan alias food estate, ketimbang merevitalisasi irigasi di lahan existing.

Akibatnya, lahan pertanian existing kurang mendapat perhatian. “Tidak ada pelindungan terhadap lahan petani dari dampak aktivitas pembangunan, seperti saluran irigasi yang terganggu oleh pembangunan perumahan, industri, dan infrastruktur pendukung lainnya, serta limbah pabrik dan serangan hama penyakit,” ujar Eliza. Padahal petani sangat membutuhkan kondisi alam yang baik untuk menjamin level produksi.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengungkapkan harus ada langkah drastis untuk meningkatkan produksi beras, terutama dengan menghentikan alih fungsi lahan sawah dan mengembangkan persawahan keluarga di Jawa. “Kebijakan mendorong food estate di luar Jawa salah arah dan berisiko tinggi terhadap ketahanan pangan kita.”

Menurunnya kapasitas produksi beras nasional juga diperburuk oleh kelemahan dalam tata niaga beras. Selama lima tahun terakhir, kata Yusuf, terjadi perubahan besar dalam tata niaga beras nasional. Jalur distribusi dan pemasaran beras yang dulu dikuasai Bulog dan penggilingan kecil-menengah kini didominasi oleh penggilingan serta pabrik beras skala besar.

Masuknya pemain besar ke jalur distribusi telah meningkatkan kompetisi untuk memperebutkan gabah petani yang stoknya semakin terbatas.  Menurut Yusuf, pemain besar yang memiliki jalur pemasaran langsung ke retail modern cenderung memproduksi beras premium dan berani membeli gabah petani dengan harga yang lebih tinggi daripada penggilingan kecil-menengah.

Imbasnya, harga beras telah meningkat sejak di tingkat gabah petani. Kondisi ini sekaligus menjelaskan penyebab Bulog kesulitan menyerap beras karena tingkat harga jauh di atas harga pembelian pemerintah. “Saatnya pemerintah memberikan bantuan dan menerbitkan kebijakan afirmatif bagi penggilingan kecil yang selama ini produktivitasnya rendah karena mesin yang sudah tua.”

Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486369/langkah-pemerintah-belum-efektif-atasi-masalah-beras