KORANTEMPO, JAKARTA – Pembangunan infrastruktur secara masif belum mampu membangkitkan perekonomian. Inefisiensi dalam investasi.
SAMPAI pengujung 2023, Pelabuhan Patimban di Jawa Barat hanya didatangi truk-truk dan kapal-kapal pengangkut kendaraan bermotor. Cita-cita menjadikan bandar di pantai utara Subang ini sebagai pesaing Pelabuhan Tanjung Priok masih jauh panggang dari api. Pengembangan infrastruktur pada proyek strategis nasional (PSN) senilai Rp 43,2 triliun—salah satu yang termahal—ini masih lambat.
Merujuk pada cetak birunya, Pelabuhan Patimban sebetulnya dirancang untuk menjadi pelabuhan ekspor-impor dengan kapasitas 7,5 juta TEUs (twenty-foot equivalent unit) peti kemas dan 600 ribu unit kendaraan bermotor utuh. Namun kapasitas itu ditargetkan baru tercapai pada 2029. Saat ini Patimban baru memiliki terminal peti kemas berkapasitas 250 ribu TEUs dan terminal kendaraan berkapasitas 218 ribu unit.
Toh, Patimban belum bisa melayani bongkar-muat peti kemas karena fasilitasnya belum memadai. Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Patimban Dian Wahdiana menjelaskan, hingga saat ini belum ada fasilitas penunjang, seperti derek dan alat berat lainnya. Selain itu, kedalaman perairan di sekitar pelabuhan baru 14 meter. Padahal, agar kapal peti kemas bisa bersandar, kedalaman laut harus 18-20 meter. “Perlu aneka suprastruktur tersebut supaya bisa melayani peti kemas,” kata Dian kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Peneliti dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Shofie Azzahrah, menyebutkan proyek Patimban menjadi contoh inefisiensi akibat ambisi pembangunan infrastruktur secara berlebihan. Terlebih, proyek ini dibangun di lokasi yang tak strategis dan minim pengguna, padahal nilai investasinya besar. “Sehingga malah jadi pemborosan. Pertumbuhan ekonomi pun jadi stagnan,” ujarnya, kemarin.
Bandar Udara Kertajati, PSN besar lainnya di Jawa Barat, kata Shofie, juga hampir bernasib sama dengan Patimban. Dengan investasi pembangunan hingga Rp 2,6 triliun, bandara di Kabupaten Majalengka itu sepi pengguna sejak beroperasi pada Mei 2018. Alih-alih bisa menampung 29 juta penumpang per tahun seperti target awalnya, Kertajati sempat hanya dijadikan embarkasi umrah dan layanan kargo. Rencana pengembangan bandara ini sebagai hub kargo ataupun pusat perawatan pesawat pun belum berlanjut.
Aktivitas penerbangan di Kertajati baru ramai belakangan. Itu pun setelah pemerintah “menutup” Bandara Husein Sastranegara per Oktober lalu dengan mengalihkan penerbangan pesawat jet dari dan menuju Bandung ke Kertajati. Kebijakan serupa demi menghidupkan Kertajati sebetulnya pernah dilakukan pada Juli 2019, tapi upaya itu gagal mendongkrak jumlah penumpang dan penerbangan di sana. Kini di Kertajati sudah ada lima maskapai penerbangan berjadwal yang beroperasi.
Pesawat Citilink parkir di Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Majalengka. TEMPO/Prima Mulia
Tak Banyak Mengungkit Perekonomian
Bertahun-tahun sejak diresmikan, kedua megaproyek ini pun belum terbukti mendongkrak perekonomian daerah di sekitarnya. “Walau memakai biaya besar, ekonomi di kawasannya stagnan. Itulah yang terhitung sebagai inefisiensi ekonomi,” kata Shofie.
Padahal kedua proyek itu, sejak dicanangkan Presiden Joko Widodo, digadang-gadang menjadi motor pertumbuhan ekonomi baru. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jawa Barat, pertumbuhan ekonomi provinsi ini pada triwulan III 2023 tercatat hanya 4,57 persen, turun dibanding pada triwulan III tahun sebelumnya yang sebesar 6,03 persen.
Menurut Shofie, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi tak cukup hanya melalui pembangunan infrastruktur. Justru, dia melanjutkan, pemerintah harus berfokus mengatasi deindustrialisasi yang saat ini terjadi. “Industri manufaktur banyak yang redup, padahal kunci pertumbuhan ekonomi ada di sini,” katanya.
Redupnya aktivitas manufaktur Indonesia tergambar dari Purchasing Managers’ Index (PMI) yang beberapa kali jeblok sepanjang tahun ini. Pada Mei lalu, berdasarkan data yang dirilis S&P Global, PMI Indonesia tercatat di level 50,3, turun dari posisi 52,7 pada bulan sebelumnya.
Setelah itu, PMI memang mulai menanjak dan kembali ke fase ekspansif hingga ke level 53,9 pada Agustus 2023. Namun, sebulan berikutnya, posisinya kembali anjlok ke 52,3 dan turun lagi ke 51,5 pada Oktober. Indeks ini baru meningkat per November lalu dengan naik tipis ke angka 51,7.
Untuk mendorong pertumbuhan lewat sektor manufaktur, kata Shofie, pemerintah harus membentuk iklim usaha yang kondusif. Caranya, membatasi impor untuk produk-produk yang bisa diproduksi masif oleh industri domestik dan memberikan insentif pajak. Pembangunan infrastruktur untuk menunjang logistik, ia melanjutkan, harus dilakukan melalui pengkajian yang matang agar para pelaku usaha dapat memanfaatkannya.
Minimnya daya ungkit proyek infrastruktur terhadap perekonomian, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal disebabkan oleh perencanaan yang kurang matang. Sebuah proyek, kata dia, bisa dikatakan berhasil jika bisa mendongkrak perekonomian lokal sejak tahap konstruksi hingga operasi. Indikator itu berhubungan dengan volume pekerja yang diserap proyek serta koneksi proyek ke pusat ekonomi terdekat. “Jika perencanaan tak matang, dampak ekonominya lambat.”
Pada periode 2016-2022, pemerintah tercatat mengerjakan 153 PSN. Untuk seluruh proyek itu, anggaran yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 1.040 triliun. Namun, kata Faisal, saat ini pertumbuhan ekonomi masih tertahan di 4,2 persen. Angka ini jauh lebih rendah dari target 7 persen yang pernah diungkapkan Jokowi.
Mobil-mobil yang akan diekspor di Terminal Kendaraan Pelabuhan Patimban, Subang, Jawa Barat, 29 Maret 2023. ANTARA/M Ibnu Chazar
Performa Logistik Masih Rendah
Pembangunan infrastruktur logistik secara masif di era pemerintahan Jokowi juga dianggap belum berkontribusi besar terhadap pelaku industri. Hal ini terlihat dari indeks performa logistik Indonesia yang jeblok. Pada 2023, Bank Dunia merilis laporan yang menyebutkan logistic performance index (LPI) Indonesia ada di posisi ke-61 atau turun 15 peringkat dari posisi ke-46 pada 2018. Skornya pun turun dari 3,2 menjadi 3. Laporan itu kontradiktif dengan klaim pemerintah yang menyebutkan biaya logistik sudah turun 8 persen, dari 23,9 persen pada 2019 menjadi 16 persen pada 2023.
Infrastruktur logistik yang gencar dibangun pemerintah dalam sembilan tahun terakhir adalah jalan tol. Per Desember lalu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melaporkan panjang jalan tol di Indonesia mencapai 2.816 kilometer, naik drastis dari hanya 820,15 km pada 2015.
Toh, bertambahnya jumlah dan panjang jalan tol tak banyak membantu pengusaha. Seperti ditulis Koran Tempo beberapa waktu lalu, pengusaha logistik yang juga mantan Ketua Asosiasi Logistik Indonesia, Zaldy Masita, menyebutkan 80 persen truk yang beroperasi di Jawa tak melintasi jalan tol Trans Jawa karena biayanya mahal dan menambah ongkos logistik.
Direktur Ideas Yusuf Wibisono mengatakan pembangunan jalan tol yang masif itu belum terbukti menekan biaya logistik menjadi lebih murah. Musababnya, jalan tol merupakan layanan berbayar dengan tarif yang cenderung mahal. “Hal ini diperparah oleh masih maraknya pungutan liar dan premanisme. Akibatnya, biaya logistik kita tak membaik meski (jumlah) jalan tol bertambah signifikan.”
Pembangunan infrastruktur yang terlalu terfokus pada jalan tol pun membuat sistem logistik Indonesia sangat bertumpu pada moda transportasi darat, seperti truk. Pemerintah, kata Yusuf, justru mengesampingkan pembangunan sistem logistik terintegrasi yang bisa menghubungkan pengangkutan barang berbasis truk dengan pengangkutan barang berbasis kereta api dan kapal laut.
Selain itu, Yusuf menyoroti pembangunan jalan non-tol yang cenderung terabaikan. Akibatnya, keberadaan jalan tol baru sering kali tak ditopang kondisi jalan non-tol yang sepadan. “Sehingga, ketika angkutan logistik keluar jalan tol, mereka menghadapi kemacetan atau jalan yang rusak,” katanya. Kondisi ini membuat durasi pengiriman barang juga tak lantas membaik.
Untuk memperbaiki kinerja logistik, menurut Yusuf, pemerintah perlu mendorong efisiensi dengan mengubah arah kebijakan pembangunan infrastruktur. Pertama, pemerintah harus meningkatkan dan memperbaiki kualitas jalan non-tol, terutama perbaikan jalan yang rusak parah, dan secara tegas melarang truk-truk dengan muatan berlebih.
Selain itu, angkutan logistik lain, seperti kereta api, perlu dibenahi agar secara tarif bisa kompetitif dengan angkutan darat lainnya. “Bisa dengan menghapus pajak atas angkutan logistik kereta api,” kata Yusuf. Di angkutan laut pun, Yusuf menyarankan pemerintah memperbanyak jumlah kapal feri jarak jauh yang disubsidi dan menghapus pungutan liar di pelabuhan. “Dengan begitu, angkutan logistik laut juga bisa kompetitif,” ujarnya.
Pembangunan Jalan Tol Layang Harbour Road (HBR) II di Jalan RE Martadinata, Tanjung Priok, Jakarta, 13 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Upaya Menekan Inefisiensi
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menyebutkan pembangunan infrastruktur untuk menekan biaya logistik itu seharusnya bisa mengatasi isu lain, yakni inefisiensi dalam investasi. Seperti diketahui, saat ini biaya berinvestasi di Indonesia kian mahal alias tak efisien.
Kondisi ini tergambar dalam nilai rasio produktivitas investasi atau incremental capital to output ratio (ICOR) Indonesia yang relatif tinggi. “ICOR yang tinggi menunjukkan inefisiensi pemanfaatan input investasi dalam menghasilkan output ekonomi,” kata Josua.
Ia melihat ada empat persoalan yang menyebabkan inefisiensi itu masih tinggi. Pertama, skill tenaga kerja yang masih tertinggal dari negara lain sehingga mempengaruhi produktivitas. Kedua, permasalahan deindustrialisasi dini yang menurunkan porsi kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto Indonesia. “Rantai pasok domestik Indonesia cenderung stagnan. Sementara itu, output tinggi dari investasi biasanya dihasilkan rantai pasok yang lebih panjang karena menghasilkan nilai tambah lebih,” ujarnya.
Faktor lain adalah pembentukan modal tetap bruto Indonesia masih disumbang oleh struktur dan bangunan alias infrastruktur, yang porsinya mencapai 70 persen. Hal ini terjadi karena pemerintah terlalu agresif menjalankan program pembangunan infrastruktur. “Sayangnya, pembentukan modal bruto non-struktur dan bangunan, seperti mesin, cenderung menurun,” kata Josua. Artinya, kata dia, dalam berproduksi, industri di Tanah Air masih menggunakan teknologi lama yang kurang efisien.
Untuk mengatasi berbagai faktor penyebab itu, Josua menjelaskan, pemerintah perlu mengejar investasi asing yang bisa mendatangkan transfer teknologi. Begitu juga dengan upaya meningkatkan skill tenaga kerja. “Sehingga industri domestik dapat mengikuti tuntutan ekonomi yang kian erat dengan penggunaan teknologi tingkat lanjut dan digitalisasi,” ujar Josua.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486451/rendah-dampak-proyek-infrastruktur-unggulan