KORANTEMPO, JAKARTA — Pemerintah tak bisa lepas dari ketergantungan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi pangan lokal semakin mengecil. Hal itu membuat target swasembada yang dicanangkan Presiden Joko Widodo semakin jauh.
“Penyebab utama produksi pangan menurun adalah lahan yang semakin terbatas,” kata pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori kepada Tempo, Jumat, 19 Januari 2024.
Mengutip data Badan Pertanahan Nasional 2019, dia menuturkan, luas lahan pertanian tercatat 7,46 juta hektare. Lahannya lebih luas dibanding pada 2018 yang sebesar 7,1 juta hektare. Namun, dibanding pada 2016 dan 2017, luas lahan justru menyusut. Pada 2016, luas lahan pertanian mencapai 8,18 juta hektare. Lalu turun menjadi 8,16 juta hektare pada 2017.
Menurut Khudori, perluasan lahan pertanian menjadi kebutuhan mendesak. Potensi lahan yang bisa dimanfaatkan masih besar, terutama untuk lahan rawa dan gambut kering. Lahan tersebut paling banyak berada di luar Pulau Jawa, dengan kesuburan tanah bervariasi, dari level 2 hingga 4. Pemanfaatan lahan tersebut membutuhkan waktu hingga lima tahun agar produktif secara optimal dan stabil. “Pada tahap awal, butuh investasi infrastruktur, ketersediaan air, teknologi, dan yang paling penting kesiapan pemerintah.”
Kebijakan pemerintah di sektor pertanian, kata Khudori, juga memprioritaskan korporasi dibanding para petani. Salah satu contohnya program food estate. Khudori menilai pemerintah berseberangan dengan amanat undang-undang yang menyebutkan sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat.
Menurut Sensus Pertanian Badan Pusat Statistik pada Desember lalu, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga petani di Indonesia pun meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.
Khudori berharap pemerintah membuat kebijakan yang memastikan petani untung saat menanam tanaman pangan apa pun. Jika hal itu dilakukan, petani akan produktif tanpa perlu dipaksa menanam. Dia mencontohkan produktivitas padi yang nyaris tidak bergerak selama lima tahun karena kebijakan yang tidak memihak para petani. Padahal kebutuhan beras naik mengikuti jumlah penduduk yang tumbuh 1,2 persen per tahun. Untuk mengejar faktor pertumbuhan penduduk, setidaknya produksi padi nasional harus tumbuh 2,5-3 persen setiap tahun setelah kebutuhan domestik sendiri tercukupi.
Aktivitas pembongkaran beras impor dari Thailand di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 29 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Rekor Impor Beras
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyoroti tingginya impor beras yang naik 613,61 persen dari 429 ribu ton pada 2022 menjadi 3,06 juta ton pada 2023. Fenomena El Nino atau kemarau panjang yang menekan produksi beras tidak menghapus gambaran besar bahwa ada masalah dalam kapasitas produksi beras nasional. Dia mencatat produksi beras stagnan dalam lima tahun terakhir, dengan kecenderungan menurun.
Dari produksi 33,9 juta ton pada 2018 menyusut menjadi 31,5 juta pada 2019. Pada tahun lalu proyeksi produksi beras turun menjadi 30,9 juta ton. “Tidak mengherankan impor beras pada 2023 menembus 3 juta ton, tertinggi dalam 25 tahun terakhir sejak impor beras 4,75 juta ton pada 1999,” katanya.
Yusuf mengatakan pemerintah perlu menerapkan kebijakan terobosan untuk meningkatkan produksi beras. Salah satunya menghentikan secepatnya alih fungsi lahan sawah dan memperbaiki tata niaga beras.
Dia menuturkan, dalam lima tahun terakhir, terjadi perubahan besar dalam tata niaga beras nasional, dengan distribusi dan pemasaran beras yang dulu dikuasai Bulog dan penggilingan kecil-menengah yang kini didominasi oleh penggilingan serta pabrik beras berskala besar. Masuknya pemain besar ke jalur distribusi dan pemasaran beras, kata Yusuf, telah mengubah pasar di hulu, yakni persaingan yang menguat untuk memperebutkan gabah kering panen di tingkat petani. Sementara itu, stok gabah kering panen dalam lima tahun terakhir semakin terbatas.
Untuk komoditas bawang putih, tercatat produksi dalam negeri hanya mencukupi 5 persen kebutuhan domestik sehingga sisanya dipenuhi dengan impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi bawang putih nasional pada 2023 mencapai 30.194 ton. Sementara itu, kebutuhan domestik sebesar 554 ribu ton. Maka, kesenjangan kebutuhan bawang putih nasional sebesar 532 ribu ton. Kondisi tersebut, kata Khudori, terjadi karena swasembada bawang putih yang ditargetkan pada 2021 gagal.
Khudori mengatakan penyebab gagalnya program swasembada karena tidak ada kebijakan proteksi bawang putih lokal di pasaran. Produksi domestik terus menurun karena kalah bersaing dengan bawang impor. Hal itu bermula setelah Indonesia menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998. IMF kala itu mensyaratkan pemerintah membuka proteksi bahan pangan agar produk impor bebas masuk ke pasar.
“Tidak mudah mendorong petani kembali ke bawang putih. Mereka juga makhluk ekonomi yang menghitung risiko kegagalan. Kalau tidak ada proteksi dan jaminan harga, setiap harga domestik jatuh, petani merugi.”
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menyarankan pemerintah menata sektor hulu agar swasembada bawang putih berjalan mulus. Salah satunya menyiapkan program dan anggaran untuk sarana dan prasarana produksi komoditas bawang putih. Bukan hanya itu, inovasi benih unggul dan tata kelola hingga proses distribusi juga perlu diperbaiki pemerintah. Kementerian Pertanian, kata dia, harus menunjukkan keberpihakan kepada para petani bawang putih, seperti pemberian bantuan benih, pupuk, serta pendampingan teknik khusus.
Adapun Kementerian Pertanian memprioritaskan anggaran dan program untuk produksi beras dan jagung mulai Januari hingga Juni 2024. Di antaranya, mempercepat tanam padi dan jagung dengan memberikan bantuan benih padi untuk luasan 1,6 juta hektare, bantuan benih jagung untuk 1,9 juta hektare, serta bantuan alat mesin panen.
“Selain itu, perlu optimalisasi lahan rawa sebagai salah satu sumber lumbung pangan,” kata Direktur Perbenihan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Yudi Sastro.
Adapun rincian program tersebut, antara lain, bantuan benih padi sebanyak 40.375 ton dengan sarana produksi pertanian dengan nilai anggaran Rp 1,5 triliun. Sedangkan untuk bantuan benih jagung sebanyak 30 ribu ton berikut sarana produksi pertanian yang menelan dana Rp 1,89 triliun. Terakhir, bantuan alat mesin panen sebanyak 1.400 unit dengan anggaran Rp 620 miliar. Dengan semua program tersebut, pemerintah menargetkan produksi beras mencapai 32 juta ton dan jagung 16,5 juta ton. “Harapannya, April mulai panen,” tutur Yudi.
Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) Sholahuddin berharap pemerintah menaikkan kualitas bantuan benih agar tanaman menjadi lebih produktif. Dia mengatakan saat ini bantuan benih jagung yang diterima petani lebih baik dibanding bantuan sebelumnya. Para petani kini menerima benih berkualitas medium seharga Rp 60 ribu per kilo di pasaran, lebih baik dari sebelumnya yang seharga Rp 40 ribu per kilogram.
Pemerintah, kata Sholahuddin, akan mendapat jumlah panen produksi jagung tak sedikit jika petani memperoleh benih premium yang seharga Rp 100 ribu per kilo. “Kami berterima kasih, tapi pemerintah jangan tanggung-tanggung karena panennya bisa lebih banyak.”
Ketua Dewan Jagung Nasional Tony J. Kristianto meminta pemerintah menaikkan impor jagung agar kebutuhan pakan ternak domestik dapat dipenuhi. Ia menuturkan saat ini para peternak dan industri sulit mendapat jagung. “Impor jagung sangat terpaksa dilakukan karena kekurangan produksi lokal. Bisa menimbulkan chaos di kalangan peternak kita kalau jagung menjadi langka.”
Sementara itu, menurut Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi, dengan program bantuan pangan beras, stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) beras, serta menjaga stok beras pemerintah, inflasi harga beras dapat dikendalikan. Menurut Bayu, terdapat perbedaan yang signifikan antara inflasi harga beras bulanan pada periode pelaksanaan bantuan pangan dan SPHP dibanding periode tanpa bantuan pangan serta SPHP. Namun dia mengakui harga beras belum dapat diturunkan. “Harga beras stabil pada tingkat yang tinggi.”
Alasannya, produksi beras dalam negeri memang tak sebaik yang diharapkan. Komponen harga beras, kata dia, terutama harga pupuk, naik dengan pasokan yang terbatas dan pasar dunia masih penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut akibat negara-negara menutup pintu ekspor sehingga pasokan global berkurang.
“Untungnya harga beras yang tinggi itu berimbas pada harga gabah petani yang tinggi juga sehingga petani mendapat insentif untuk lebih bersemangat dalam berproduksi,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Bayu mengatakan stabilisasi pangan secara moral adalah suatu keharusan dan secara konstitusional adalah kewajiban. Dia menyebutkan lima dimensi stabilitas yang diperlukan untuk bisa membangun stabilitas pangan secara keseluruhan. Kelima dimensi itu adalah stabilitas pendapatan petani pangan, stabilitas sumber daya pangan, stabilitas produksi pangan, stabilitas ketersediaan pangan bagi kelompok masyarakat yang paling membutuhkan, serta stabilitas pasokan pangan secara keseluruhan.
Urusan pangan akan menjadi salah satu tema dalam debat kedua calon wakil presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum pada Ahad besok, 21 Januari 2024. Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, pada 11 Januari lalu menegaskan modernisasi pertanian dari hulu hingga hilir menjadi kunci untuk mewujudkan kemandirian bangsa. Dia menekankan soal pemanfaatan teknologi yang penting diterapkan di pertanian. Salah satu bentuk modernisasi pertanian, menurut Ganjar, adalah penggunaan alat pertanian ataupun teknik menanam yang baru, khususnya di lahan yang sempit.
Adapun pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, akan mengusung konsep contract farming di sektor pertanian. Menurut juru bicara Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin, Billy David Nerotumilena, contract farming merupakan kontrak bisnis pemerintah yang memberi janji kepastian pendapatan bagi petani sekaligus kepastian pasokan serta keterjangkauan pangan bagi konsumen.
Sementara itu, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mengandalkan program lumbung pangan (food estate). Program tersebut merupakan penyempurnaan lumbung pangan yang sudah ada menjadi lumbung pangan terintegrasi desa, daerah, dan nasional.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486788/mengapa-swasembada-pangan-tak-tercapai