TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono merespons soal dugaan politisasi bantuan pangan atau bansos beras menjelang Pemilu 2024 ini. Dia menilai dugaan politisasi bansos menguat signfikan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantaran presiden sangat aktif terlibat dalam penetapan kebijakan bansos.
Adapun dugaan tersebut mencuat setelah Jokowi memutuskan untuk memperpanjang periode penyaluran bansos hingga Juni mendatang. Selain berpotensi dipolitisasi, seharusnya program bansos bersifat temporer.
“Prinsip dasarnya bansos bersifat temporer dan akan direalokasi ke penerima baru yang lain ketika penerima lama sudah tidak lagi membutuhkan, yaitu ketika kesejahteraannya telah meningkat,” ujar Yusuf saat dihubungi Tempo, Rabu, 24 Januari 2024.
Karena itu, prinsip dasar bansos bersifat temporer. Artinya, program tersebut seharusnya dihentikan dan direalokasi ke penerima baru yang lain ketika penerima lama sudah tidak lagi membutuhkan, yaitu ketika kesejahteraannya telah meningkat.
Ia menegaskan program bansos pun semestinya dibuat ketika ada kondisi darurat kemiskinan. Seperti, mempertahankan tingkat konsumsi minimal, mencegah masyarakat jatuh pada kemiskinan yang lebih dalam, atau menguatkan daya beli kelas bawah.
Seharusnya, ucap Yusuf, pemerintah berfokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat seperti UMKM dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, bukan terus memperbesar dan memperluas bansos.
Sehingga, pembagian bansos dapat semakin kecil cakupannya seiring perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, menurut Yusuf, pemerintah perlu menerapkan konsep graduasi dalam bansos, yaitu berakhirnya kepesertaan seseorang dalam bansos karena sudah tidak lagi berhak atau sudah tidak lagi membutuhkan. Ketika seseorang sudah tidak lagi menghadapi situasi darurat miskin, orang tersebut akan graduasi atau tidak lagi menjadi penerima program bansos.
“Maka menjadi sebuah keanehan, ditengah klaim pertumbuhan ekonomi tinggi namun cakupan bansos justru semakin besar dan luas secara sangat signifikan,” ucapnya.
Misalnya program keluarga harapan (PKH). Yusuf menyebutkan hingga akhir periode Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 hanya memiliki 2,7 juta keluarga penerima. Namun hanya empat tahun kemudian pada 2018, penerima PKH berlipat menjadi 10 juta keluarga penerima.
Seiring perluasan bansos ini, Yusuf mengungkapkan anggaran belanja bansos pun melonjak signifikan dari Rp 49,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 112,5 triliun pada 2019. Dia berujar anggaran belanja bansos yang sangat besar terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir.
Anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 Rp 152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019.
Dengan konsep graduasi, menurut Yusuf, jumlah penerima bansos seharusnya semakin menurun seiring perbaikan kondisi perekonomian. Misalnya penerima PKH seharusnya menurun, bukan justru menjadi berlipat ganda jelang pemilu 2019. Hingga kini menjelang pemilu 2024, jumlah penerima PKH tetap 10 juta keluarga.
Jika pemerintah menerapkan konsep graduasi 5 persen saja setiap tahunnya, Yusuf memperkirakan seharusnya jumlah penerima PKH menurun 2,3 juta. Sehingga, jumlah penerima PKH pada 2024 seharusnya tinggal sekitar 7,7 juta.
Dengan demikian, ia menegaskan besarnya jumlah penerima PKH yang terus dipertahankan dan penambagan bansos beras dan BLT el-nino, ini bukan indikasi tingginya komitmen penanggulangan kemiskinan.
“Kondisi ini justru lebih menandakan besarnya motif politisasi bansos untuk mendapatkan keuntungan elektoral sekaligus menandakan lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja,” tuturnya.
Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1825317/kritik-politisasi-bansos-ekonom-nilai-bantuan-pangan-seharusnya-bersifat-temporer