Penanda Kerentanan Utang Negara

KORANTEMPO, JAKARTA – Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) kerap dijadikan tolok ukur tingkat kesehatan kepemilikan utang Indonesia. Berdasarkan konsensus internasional yang kemudian diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman rasio utang terhadap PDB adalah tidak lebih dari 60 persen.

Pada akhir 2023, total utang Indonesia menembus Rp 8.145 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 38,59 persen. Angka itu lebih baik dibanding pada akhir 2022 yang mencatatkan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,70 persen dengan total utang kala itu sebesar Rp 7.734 triliun. Dengan standar stok utang terhadap PDB tersebut, Indonesia dapat dikatakan masuk ke dalam negara dengan kinerja utang yang baik. Terlebih jika dibanding negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat, yang rasio utang terhadap PDB-nya masing-masing menembus 200 persen dan 100 persen.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto memastikan pemerintah mengelola utang dengan sangat hati-hati serta akuntabel. “Rasio utang Indonesia tergolong rendah jika dibanding negara-negara peers,” ujarnya kepada Tempo, kemarin. Dia mencontohkan Malaysia memiliki rasio 66 persen, Filipina 60,9 persen, Thailand 61 persen, Argentina 85 persen, Brasil 72,87 persen, serta Afrika Selatan 67,4 persen.

Suminto menjelaskan, utang merupakan salah satu instrumen dalam pengelolaan keuangan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai tujuan pembangunan. “Utang juga dilakukan untuk membiayai prioritas pembangunan yang tidak bisa ditunda, menjaga momentum pertumbuhan, serta menghindari hilangnya kesempatan dalam mendorong kinerja perekonomian,” katanya.

Pengadaan utang, dia menjelaskan, dilakukan dengan filosofi utang sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Agar memberikan dampak optimal, penarikan utang pun dilakukan secara terukur dan terencana dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Penggunaan utang difokuskan untuk memaksimalkan aktivitas perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta disalurkan untuk kebutuhan belanja prioritas, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Namun indikator rasio utang terhadap PDB itu nyatanya bukan satu-satunya cara untuk menentukan tingkat kesehatan dan kerentanan utang suatu negara. Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengungkapkan indikator tersebut dapat menyesatkan bila pada saat yang sama kemampuan pemerintah dalam membayar utang itu tidak diperhitungkan.

Pembangunan Jalan Tol Layang Harbour Road (HBR) II di Jalan RE Martadinata, Tanjung Priok, Jakarta, 13 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan

“Karena PDB baru merupakan potensi penerimaan pemerintah, sedangkan penerimaan pemerintah yang aktual tecermin pada rasio pajak (tax ratio),” ucapnya. Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB dalam waktu tertentu. Sebagai contoh, tax ratio Indonesia hanya berada di kisaran 10 persen dari PDB, sedangkan tax ratio Jepang berada di kisaran 35 persen dari PDB dan Amerika Serikat sebesar 30 persen dari PDB. Maka membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia secara langsung dengan negara lain tanpa memperhatikan kemampuan membayar utang menjadi tidak tepat.

Menurut Yusuf, indikator yang lebih tepat untuk menilai beban utang adalah rasio antara bunga utang serta cicilan pokok utang dan penerimaan perpajakan, yang mencerminkan pendapatan pemerintah yang sesungguhnya. Jika membandingkan biaya dari utang terhadap penerimaan perpajakan, meski stok utang terhadap PDB masih terjaga, tampak beban utang terhadap keuangan negara berada pada tingkat yang sangat memberatkan.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005-2014, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata mencapai 32,9 persen dari penerimaan perpajakan setiap tahun. Sedangkan di era Presiden Joko Widodo pada 2015-2022, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen. Artinya, hampir setengah dari penerimaan perpajakan diprioritaskan untuk membayar beban utang sehingga ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas.

“Dengan besarnya belanja terikat tersebut, belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang berada di bawah diskresi pemerintah sering kali harus dibiayai dengan utang,” ujar Yusuf. Alokasi belanja modal, subsidi, dan bantuan sosial baru mengikuti setelah belanja untuk kebutuhan pembayaran utang terpenuhi. Tak mengherankan, kebutuhan utang terus bertambah untuk menambal kebutuhan belanja stimulus fiskal dan perlindungan sosial. “Lagi-lagi atas nama rakyat, defisit anggaran dan utang dilakukan. Pembuatan utang baru berapa pun besar bebannya menjadi dibenarkan, bahkan menjadi tugas mulia.”

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara mengiyakan, dalam mengukur tingkat kesehatan utang, tidak bisa sekadar membandingkan rasio utang terhadap PDB Indonesia dengan negara lain. Sebab, ada faktor-faktor pendukung yang membedakan tingkat kerentanan utang setiap negara.

Dia mencontohkan Jepang dengan tingkat rasio utang terhadap PDB mencapai lebih dari 200 persen. Namun kategori risiko utangnya cenderung rendah karena lebih dari 90 persen dari jumlah utang tersebut merupakan obligasi atau surat utang yang dimiliki oleh masyarakat Jepang sendiri.

Pengguna membuka informasi Surat Berharga Negara (SBN) melalui ponselnya di Jakarta, 19 Desember 2023. TEMPO/ Nita Dian

Sedangkan Indonesia, meski rasio utang terhadap PDB-nya jauh lebih rendah, tingkat kepemilikan surat utang oleh asing dan pinjaman luar negeri masih berada di kisaran 30 persen. Walhasil, tingkat kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar dan tren suku bunga global menjadi lebih tinggi. “Melihat rasio utang dari stok utang terhadap PDB itu terlalu menyederhanakan masalah. Sebab, sejatinya risiko yang ada lebih kompleks jika menimbang indikator makro keuangan lainnya,” ucap Bhima.

Terakhir adalah tingkat produktivitas utang dan dampaknya terhadap perekonomian, yang dapat diukur dari realisasi pertumbuhan ekonomi dan PDB yang dihasilkan. Ekonom Center of Economic and Reform Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengimbuhkan, jika melihat dinamika kondisi perekonomian beberapa tahun terakhir dan mengecualikan kondisi pandemi, peningkatan perekonomian justru tidak lebih besar daripada peningkatan nominal utang yang dilakukan oleh pemerintah. “Salah satu alasan kenapa ini bisa terjadi, antara lain, adalah beberapa pos belanja yang diperkirakan bisa meningkatkan PDB itu belum bekerja secara optimal, baik yang dibiayai melalui utang maupun yang tidak,” ujarnya.

Menurut Yusuf, idealnya setiap utang yang ditarik dapat digunakan untuk beragam program belanja yang spesifik ingin disasar pemerintah atau APBN harus bersifat outcome based, bukan sekadar output based. Dengan demikian, dalam setiap belanja yang dikeluarkan pemerintah, perlu disertai evaluasi seberapa mampu belanja itu menyasar atau tidak hasil yang ingin dicapai dari setiap kegiatan atau program tersebut. “Ini nanti bisa dipertanggungjawabkan setiap satu rupiah yang ditarik dari utang itu bisa digunakan untuk beragam program apa saja.”

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486910/apa-indikator-utang-sebuah-negara-sehat