tirto.id, Jakarta – Nada kecewa terlontar dari mulut Susan Herawati Romica. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) itu, menyayangkan permasalahan hidup nelayan dan warga pesisir minim dibahas dalam debat capres-cawapres. Ketiga paslon dinilai belum menyentuh akar permasalahan utama soal kesejahteraan nelayan dan warga pesisir yang memprihatinkan.
“Permasalahan yang cukup substansi dan tidak dibahas [juga] di visi mereka adalah bagaimana capres-cawapres bisa menjamin bahwa nelayan dan perempuan nelayan bisa tetap melaut di ruangnya,” kata Susan dihubungi reporter Tirto, Rabu (24/1/2023) malam.
Susan melihat agenda untuk nelayan dan warga pesisir masih diisi hal-hal yang problematik. Misalnya, rencana pembuatan kartu nelayan yang dinilai tidak efektif menangani masalah kesejahteraan hidup mereka.
“Bagi-bagi kartu, bicara pertumbuhan ekonomi, bicara produksi, tapi tidak bicara konflik ruang yang terjadi nyaris di seluruh perairan Indonesia. Ini tidak ada yang berani bicara soal konflik-konflik itu,” jelas Susan.
Dia menilai, periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi justru menghasilkan berbagai kebijakan yang mengancam ruang hidup nelayan dan warga pesisir. Pulau-pulau kecil diprivatisasi dan izin tambang pasir laut diteken yang membuat keberadaan pulau semakin rentan.
KIARA mencatat, hingga pertengahan 2023 ditemukan setidaknya 226 pulau kecil yang diprivatisasi di seluruh Indonesia.
“Bayangkan, pasir tidak diambil saja itu bisa menyebabkan desa-desa pesisir tenggelam, apalagi diambil ada material yang hilang dan memicu semakin tenggelam. Mimpi poros maritim dunia hanya mimpi kosong dan jargon politik semata,” tutur Susan.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Parid Ridwanuddin, menyatakan nelayan dan warga pesisir merupakan kelompok termiskin di antara kelompok miskin. Sebab, selama ini kebijakan politik di Indonesia belum sepenuhnya memperhatikan kesejahteraan nelayan dan warga pesisir.
“Contoh, kita belum punya aturan atau undang-undang yang mengakui wilayah tangkap nelayan tradisional di Indonesia. Jadi laut itu masih dianggap ruang kompetisi antara pelaku usaha skala besar dengan nelayan skala kecil,” kata Parid kepada reporter Tirto, Rabu (24/1/2024).
Kesejahteraan nelayan dan warga pesisir juga diperburuk dengan kebijakan pembangunan yang merampas ruang hidup mereka. Misalnya, kata dia, proyek reklamasi yang menyasar pesisir dan pulau kecil begitu masif terjadi hingga saat ini.
Walhi mencatat, sampai 2040 di 28 provinsi ada hampir 4 juta hektar rencana wilayah reklamasi. Hal ini berbanding kontras misalnya dengan luasan permukiman nelayan di 28 provinsi tersebut yang tidak lebih dari 60 ribu hektar.
“Wilayah tangkapnya enggak diakui, wilayah tinggalnya nggak diakui,” ujar Parid.
Ancaman Krisis Iklim
Parid menyayangkan kontestan Pilpres 2024 masih abai pada ancaman krisis iklim yang berdampak pada kesejahteraan nelayan dan warga pesisir. Dia menjelaskan, krisis iklim memiliki dampak nyata dengan semakin ganasnya cuaca sehingga membuat nelayan tidak dapat melaut.
“Penghasilan itu semakin menurun apalagi dengan krisis iklim, saya terakhir tanya ke kawan-kawan nelayan menurun drastis di atas 70 persen,” ungkap dia.
Cuaca ekstrem yang berkepanjangan juga membuat nelayan alih profesi ke darat. Walhi mencatat, ada penurunan jumlah nelayan hingga 330.000 orang sejak 2010. Ditambah, terjadi peningkatan jumlah nelayan yang meninggal di laut karena terpaksa tetap bekerja meski cuaca buruk dari 87 orang pada 2010 menjadi sekitar 250 orang pada 2020.
“Belum lagi bicara desa-desa tenggelam. Tahun 2017 sampai 2020 Walhi menghitung ada lebih dari 5.400 desa pesisir yang dihantam oleh banjir rob. Ada yang tiap tahun dihantam banjir rob, ada yang baru dan itu secara ekonomi berdampak,” jelas Parid.
Walhi mendesak capres-cawapres agar punya keberpihakan politik pada nelayan dan warga pesisir jika nanti terpilih. Walhi, kata Parid, mendorong pembahasan RUU Keadilan Iklim agar dapat terealisasi di pemerintahan selanjutnya.
“Karena ini untuk membangun skema perlindungan nelayan, dan ini harus jadi prioritas masuk Prolegnas tahun 2025 dan disahkan,” tambah dia.
Dari catatan BPS, pada 2021 tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir mencapai 4,19 persen. Angka itu bahkan lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yang sebesar 4 persen. Dari seluruh kemiskinan nasional yang mencapai 10,86 juta jiwa, sekitar 1,3 juta jiwa atau 12,5 persen berada di wilayah pesisir.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menyatakan kesejahteraan ekonomi warga pesisir secara umum tergolong rendah. Misal, hampir seluruh desa pesisir masih memanfaatkan laut untuk perikanan tangkap. Namun, jumlah nelayan semakin menyusut yang mengindikasikan bahwa laut dan perikanan tangkap semakin tidak bisa menjadi sumber penghidupan utama.
“Warga pesisir kini juga menghadapi ancaman ekonomi yang semakin nyata yaitu pemanasan iklim dan kenaikan permukaan air laut,” ujar Yusuf kepada reporter Tirto.
Yusuf menilai, sekitar 90 persen desa tepi laut mengandalkan tanaman pangan, perkebunan dan perikanan tangkap sebagai sumber penghidupan utama. Maka, kenaikan permukaan air laut secara langsung menciptakan kerentanan ekonomi dan sosial bagi warga pesisir.
“Sebagaimana kini banyak terjadi di desa-desa pesisir pantai utara Jawa,” kata dia.
Menurut dia, kebijakan terpenting untuk warga pesisir adalah merehabilitasi kawasan pesisir dari kerusakan. Seperti melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil, memberantas tambang ilegal, dan melarang ekspor pasir laut, maupun upaya penting yang berdampak jangka panjang seperti pelarangan ekstraksi air tanah untuk mencegah penurunan muka tanah (land subsidence).
“Juga menjadikan daerah pesisir sebagai kawasan cagar alam, menjaga daerah aliran sungai hingga rehabilitasi hutan mangrove,” tambah Yusuf.
Selain itu, pemerintah ke depan perlu melakukan kebijakan afirmasi untuk sektor utama warga pesisir. Misalnya kebijakan afirmasi di sektor perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
“Terutama, untuk menurunkan risiko usaha yang tinggi karena produk yang tidak tahan lama, produksi yang sangat dipengaruhi cuaca dan musim, serta pelaku usaha yang masih didominasi UMKM,” terang Yusuf.
Agenda Kubu para Paslon
Juru bicara Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Irvan Pulungan, menyatakan capres-cawapres mereka memiliki komitmen untuk mewujudkan keadilan ekologis berkelanjutan untuk generasi mendatang. Untuk mewujudkan program kerja tersebut, paslon nomor urut 1 akan memperkuat tata kelola lingkungan hidup.
“Khususnya melalui perbaikan peraturan perundangan-undangan, kelembagaan dan partisipasi masyarakat baik tata kelola lahan dan tata kelola wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil,” ujar Irvan kepada reporter Tirto, Rabu (24/1/2024).
Selain itu, Irvan menyatakan AMIN peduli terhadap perlindungan ekosistem perairan, pesisir dan pulau kecil. Seperti ekosistem mangrove dan terumbu karang yang dinilai dapat mendorong optimalisasi blue carbon. Serta akan bersandar pada peningkatan kemampuan adaptasi warga pesisir untuk menghadapi krisis iklim.
“Mengusahakan berdirinya sistem asuransi iklim yang memberikan proteksi pada nelayan dan masyarakat pesisir di waktu-waktu dampak krisis iklim mengganggu penghidupannya,” kata dia.
Sementara itu, kubu paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, membawa agenda ekonomi biru dalam dokumen visi-misi mereka. Prabowo-Gibran ingin membentuk kedaulatan maritim Indonesia dengan mendukung sarana prasarana bagi nelayan dan pembudidaya ikan.
“Yang paling dibutuhkan penyediaan bahan bakar untuk nelayan bisa melaut,” kata Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Erwin Aksa, kepada reporter Tirto, Rabu (24/1/2024).
Erwin menilai setelah pandemi COVID-19, pemerintah terus melakukan pemulihan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas. Hal ini akan tetap diteruskan termasuk pada sektor maritim.
Di sisi lain, Juru bicara TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Chico Hakim, menyatakan paslon nomor urut 3 membawa agenda penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zonasi. Ini dilakukan agar penangkapan ikan terkendali serta menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Selain itu, Ganjar-Mahfud akan melakukan penguatan industri galangan, perikanan dan hasil laut, pengelolaan kampung pesisir, serta konservasi laut dan terumbu karang. Chico menambahkan, terdapat agenda untuk membuat regulasi yang ketat untuk mengatasi pencemaran laut, termasuk pencemaran yang bersifat lintas batas negara.
“Juga akan meningkatkan kesejahteraan nelayan dan sumbangan ekonomi maritim terhadap PDB. Industrialisasi kelautan dilakukan demi gemilangkan pesisir yang dapat mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir,” kata Chico kepada reporter Tirto.
Sumber :https://tirto.id/persoalan-nelayan-warga-pesisir-butuh-solusi-konkret-paslon-gUVY