KORANTEMPO, JAKARTA – PEMBANGUNAN infrastruktur menjadi salah satu narasi utama pembangunan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk transformasi perekonomian. Pembangunan infrastruktur transportasi menjadi kebijakan andalan, dengan jalan tol menjadi yang terdepan. Akselerasi pembangunan jalan tol di era Jokowi mengesankan. Sepanjang 2015-2023 diperkirakan telah dibangun 2.132 kilometer jalan tol baru, dengan 1.005 km di antaranya berlokasi di Jawa dan 986 km di Sumatera. Jalan tol yang terbangun dalam sembilan tahun terakhir ini melampaui capaian selama empat dekade pemerintahan sebelumnya sepanjang 1978-2014 yang hanya mampu membangun 933 km jalan tol.
Arus besar pembangunan jalan tol pasca-era Jokowi diperkirakan masih terus berlanjut dan bahkan berpotensi menguat ke depan. Dalam dokumen “Rencana Umum Jaringan Jalan Tol” yang diterbitkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2020, total panjang jaringan jalan tol di seluruh Indonesia direncanakan mencapai 18.088 km yang akan dibangun hingga 2050, dengan jalan tol terpanjang di Jawa, yaitu 6.363 km (35,2 persen), diikuti Sumatera 5.524 km (30,5 persen), Kalimantan 3.112 km (17,2 persen), Sulawesi 2.819 km (15,6 persen), serta Bali-Nusa Tenggara Barat 270 km (1,5 persen).
Pembangunan jalan tol hingga kini terkonsentrasi di Jawa, pulau terpadat dengan permintaan transportasi yang tinggi, dan karena itu menawarkan janji pengembalian investasi yang menarik bagi investor. Hingga kini, sekitar 60 persen jalan tol (1.864 km) dibangun di Jawa, yang terdiri atas tol Jabodetabek 393 km, tol Trans Jawa 1.103 km, dan tol non-Trans Jawa 368 km.
Di balik janji tinggi manfaat ekonominya, pembangunan jalan tol di Jawa menyimpan sejumlah masalah besar, terutama terkait dengan lonjakan konsumsi bahan bakar minyak dan polusi udara serta pengendalian tata ruang dan alih fungsi lahan. Salah satu yang paling terancam oleh kehadiran jalan tol di Jawa adalah sawah.
Tol Menerjang Lumbung Pangan
Kedudukan Jawa sebagai lumbung pangan nasional dengan jumlah tenaga kerja yang tinggi kini semakin terdesak oleh industrialisasi dan urbanisasi. Urbanisasi dan pemekaran kota inti ke daerah sekitarnya (urban sprawl) banyak difasilitasi oleh keberadaan jalan tol, membuat harga tanah di wilayah perdesaan naik.
Perilaku pengembang proyek properti dan residensial yang mencari keuntungan dari kenaikan harga tanah membuat konversi lahan pertanian, terutama sawah, terjadi secara masif. Terjangan urbanisasi ini bertemu dengan rendahnya kesejahteraan petani gurem, mengancam sentra pertanian pangan di penjuru Jawa.
Maka, ekspansi jalan tol di era Jokowi akan semakin mengancam lumbung pangan di seluruh Jawa. Sepanjang 2015-2023 diperkirakan telah dibangun 1.005 km jalan tol di penjuru Jawa, yaitu 170 km tol Jabodetabek, 630 km tol Trans Jawa, dan 206 km tol non-Trans Jawa. Kebutuhan lahan untuk pembangunan jalan tol di Jawa ini banyak mengambil lahan pertanian produktif, terutama sawah. Ruas jalan tol Yogyakarta-Bawen, misalnya, sekitar 75 persen kebutuhan lahannya diambil dari sawah.
Penyelesaian proyek pembangunan jalan tol Yogyakarta-Bawen di Seyegan, Sleman, D.I. Yogyakarta, 12 Januari 2024. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Demikian pula ruas jalan tol Ngawi-Kertosono, sekitar 80 persen kebutuhan lahannya diambil dari sawah. Tidak sedikit jalan tol di Jawa yang dibangun di tengah hamparan sawah dari tol Trans Jawa seperti ruas Cikampek-Palimanan dan ruas Solo-Ngawi, tol non-Trans Jawa seperti ruas Pandaan-Malang, hingga tol Jabodetabek seperti ruas Cibitung-Cilincing.
Untuk memahami dampak eksternalitas redistributif dari pembangunan jalan tol, kami menganalisis lahan di kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono. Ruas tol Ngawi-Kertosono membentang sepanjang 87 km, dibangun sejak 2015 dan mulai beroperasi pada 2018, melintasi Kabupaten Ngawi, Magetan, Madiun, dan Nganjuk. Sebelum pembangunan jalan tol, tutupan lahan awal kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono seluas 101 ribu hektare pada 2013 ini didominasi oleh sawah sebesar 66 persen, lahan terbangun (18 persen), serta tutupan pohon/hutan (13,6 persen).
Pada 2018, ketika ruas tol Ngawi-Kertosono sepanjang 87 km selesai dibangun di atas lahan seluas 379 ha dan mulai beroperasi, tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol ini berubah signifikan. Setelah jalan tol dibuka, tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono pada 2018 semakin didominasi oleh lahan terbangun yang meningkat menjadi 21,2 persen. Sedangkan sawah semakin menurun menjadi 62 persen. Seiring dengan terbangunnya jalan tol seluas 379 ha pada 2013-2018, lahan terbangun bertambah 3.223 ha dan sawah berkurang 4.010 ha.
Pada 2022, lima tahun setelah ruas tol Ngawi-Kertosono beroperasi, pola perubahan tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol ini semakin menguat, yaitu lahan terbangun semakin dominan menjadi 24,2 persen. Sedangkan sawah semakin menurun menjadi 59,3 persen. Sepanjang lima tahun ruas tol Ngawi-Kertosono beroperasi, dalam rentang waktu 2018-2022, lahan terbangun bertambah 2.994 ha dan sawah berkurang 2.718 ha.
Secara keseluruhan, dalam 10 tahun terakhir, tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono berubah signifikan, dengan lahan terbangun bertambah 6.217 ha dan sawah berkurang 6.728 ha. Hadirnya jalan tol sepanjang 87 km telah mengakselerasi konversi lahan yang membuat intensitas sawah menurun dari semula 66 persen pada 2013 menjadi 59,3 persen pada 2022, dan pada saat yang sama intensitas lahan terbangun melonjak dari 18 persen menjadi 24,2 persen.
Proses urbanisasi kawasan perdesaan dan konversi lahan pertanian yang didorong oleh pembukaan jalan tol adalah pola umum di Indonesia, terutama di wilayah aglomerasi Jawa, seperti Jakarta raya (Jabodetabek), Semarang raya (Kedungsepur), Bandung raya, dan Surabaya raya (Gerbangkertosusila).
Urbanisasi di Jawa ini dicirikan oleh konsentrasi penduduk, kapital, dan aktivitas ekonomi yang masif di kota inti, dengan mobilitas penduduk di daerah penyangga difasilitasi oleh sistem transportasi modern, terutama jaringan jalan tol. Ekspansi jaringan jalan tol di Jabodetabek, misalnya, membuat wilayah kota melebar dari Jakarta ke daerah perdesaan di sekitarnya secara cepat dan masif nyaris tak terkontrol.
Dengan harga tanah yang lebih murah dan terhubung ke Jakarta melalui jalan tol, proyek residensial skala raksasa segera bergulir kencang di wilayah sekitar Jakarta, diikuti proyek industri manufaktur, pembangunan kawasan pun berjalan tak terkendali.
Kebijakan nasional terkini yang terus memacu Jabodetabek-Puncak-Cianjur semakin mengintensifkan konversi lahan pertanian dan sawah produktif untuk aktivitas non-pertanian, baik di koridor timur (Bekasi-Karawang), koridor barat (Tangerang-Serang), maupun koridor selatan (Bogor-Cianjur). Sedangkan pembukaan ruas tol Jakarta-Cikampek dan Cikampek-Cipularang, selain semakin mengintensifkan sabuk perkotaan baru Jakarta-Bandung, semakin mengancam sentra sawah, seperti Karawang, Purwakarta, dan Subang, sebagai lumbung beras nasional.
Alih Fungsi Sawah Tersebab Jalan Tol
Lahan pertanian pangan Indonesia, terutama sawah, sudah lama menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang masif. Di Jawa, alih fungsi sawah banyak dipicu oleh pembangunan jalan tol. Jalan tol memfasilitasi aspirasi masyarakat kaya kota inti untuk hunian dan wisata di daerah penyangga. Pengembangan kota-kota baru di Jawa tidak ditujukan untuk meringankan beban kota induk, melainkan lebih kuat didorong motif mengejar keuntungan. Urbanisasi wilayah pinggiran kota inti berjalan liar karena dikendalikan kuasa modal semata. Pencarian keuntungan pengusaha berkelindan dengan perburuan rente pembuat kebijakan.
Ekspansi jalan tol Jawa di era Jokowi dalam satu dekade terakhir telah mengakselerasi konversi lahan pertanian dan perdesaan di penjuru Jawa. Di ruas tol Ngawi-Kertosono, kami menganalisis tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol ini dan menemukan keterkaitan yang kuat antara pembukaan jalan tol dan akselerasi urbanisasi kawasan perdesaan yang memicu hilangnya sawah. Sepanjang 2013-2022, seiring dengan ruas tol Ngawi-Kertosono yang dibangun sejak 2015 dan beroperasi sejak 2018, luas sawah berkurang hingga 6.728 ha dan luas lahan terbangun bertambah 6.217 ha di kawasan buffer 5 km ruas tol ini.
Dari analisis perubahan tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono, kawasan yang paling terpengaruh oleh pembangunan jalan tol, terlihat dua pola utama konversi lahan. Pertama, lokasi jalan tol dibangun cenderung di daerah sentra sawah. Dari 379 ha kebutuhan lahan untuk ruas tol Ngawi-Kertosono, sekitar 80 persennya dipenuhi oleh sawah, dan hanya 11 persen berasal dari tutupan pohon (hutan) serta sekitar 9 persen dari lahan terbangun.
Terlihat bahwa pengadaan lahan yang paling mudah untuk pembangunan jalan tol adalah sawah. Terlebih dengan proyek jalan tol yang umumnya berstatus PSN (Proyek Strategis Nasional), yang karena itu mendapat banyak perlakuan khusus dari pemerintah, semakin lemahlah daya tawar sawah di hadapan jalan tol.
Pola kedua, pembukaan jalan tol telah mendorong konversi dan alih fungsi sawah yang semakin masif. Dengan lokasi jalan tol yang memang berada di sentra sawah, alih fungsi lahan di sekitar jalan tol paling banyak melibatkan sawah. Pola umum yang sangat kuat terlihat adalah alih fungsi sawah untuk lahan terbangun. Dari 6.217 ha tambahan lahan terbangun di kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono pada 2013-2022, sekitar 90 persen di antaranya berasal dari sawah, sekitar 8 persen dari lahan pertanian (ladang), dan sekitar 2 persen dari tutupan pohon (hutan).
Konversi lahan sawah akibat dibukanya jalan tol telah terjadi sejak masa perencanaan dan pembangunan jalan tol serta berlanjut hingga masa operasional. Dari analisis tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono, terlihat bahwa alih fungsi sawah menjadi lahan terbangun pada periode 2013-2018 mencapai 2.792 ha dan pada periode 2018-2022 mencapai 2.806 ha.
Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan tol yang memberi akses ke pusat kota telah mendorong alih fungsi lahan perdesaan dari kegunaan pertanian pangan (sawah) menjadi kegunaan non-pertanian pangan (lahan terbangun). Penguasaan lahan oleh pengembang swasta (land bank) ditengarai telah dilakukan jauh sebelum rencana jalan tol dibuat dan diumumkan.
Kondisi tersebut sudah terprediksi karena serupa dengan pengalaman pembangunan jalan tol sebelumnya di Jawa. Ekspansi jaringan jalan tol di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek), diawali tol Jakarta-Bogor-Ciawi (1978) dan tol Bandara Soekarno-Hatta (1985), kemudian tol Jakarta-Tangerang (1984) dan tol Jakarta-Cikampek (1988), diikuti tol dalam kota Jakarta (1989) dan tol lingkar luar Jakarta (1995), telah membuat wilayah kota melebar dari Jakarta ke sekitarnya secara cepat dan masif, nyaris tak terkontrol.
Wilayah pinggiran Jakarta mengalami suburbanisasi yang lebih cepat dari kota induknya, dengan penduduknya berstatus komuter harian ke tempat kerja di Jakarta. Car dependent society pun tercipta, dengan derajat ketergantungan yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Kisah serupa terjadi di Surabaya dan sekitarnya, diawali tol Surabaya-Gempol (1986), tol Surabaya-Gresik (1993), tol Bandara Juanda (2008), dan tol Jembatan Surabaya-Madura (2009). Demikian pula Bandung, yang mengawali dengan tol dalam kota, yaitu tol Padalarang- Cileunyi (1991) dan tol Soreang-Pasirkoja (2017), diikuti tol Cikampek-Padalarang (2005) dan terkini tol lingkar luar kota (2022).
Dari perubahan tutupan lahan kawasan buffer 5 km ruas tol Ngawi-Kertosono periode 2013-2022, kami mengidentifikasi mekanisme transmisi tipikal bagaimana pembukaan jalan tol memicu alih fungsi lahan pertanian. Pembangunan ruas tol Ngawi-Kertosono mengambil lokasi di sentra sawah, dengan 80 persen kebutuhan lahan tol diambil dari sawah. Pembukaan jalan tol diikuti dengan pembangunan kawasan komersial, permukiman, dan industri yang kembali mengorbankan banyak sawah. Di kawasan buffer 5 km ruas tol, luas lahan terbangun bertambah 6.217 ha sepanjang 2013-2022, dengan 90 persen tambahan lahan terbangun tersebut berasal dari sawah. Secara keseluruhan, sepanjang 2013-2022 terjadi alih fungsi sawah hingga 6.728 ha, terutama untuk lahan terbangun (82,2 persen), ladang (13 persen), dan jalan tol (4,5 persen).
Jalan Tol, Urbanisasi, dan Konversi Sawah
Pembangunan jalan tol sering dilekatkan dengan rasionalitas antara permintaan perjalanan dan pertumbuhan ekonomi. Jalan tol menurunkan biaya logistik, memperbaiki rantai pasok, meningkatkan perdagangan, dan mendorong industrialisasi. Namun kini semakin berlimpah bukti yang menunjukkan kontra-argumen yang memutus keterkaitan infrastruktur transportasi dan pertumbuhan ekonomi untuk alasan bahwa jalan tol yang terus bertumbuh adalah tidak berkelanjutan.
Dengan hanya membangun 358 km jalan tol sepanjang 2005-2014, Presiden SBY mampu menghasilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,8 persen per tahun di sepanjang pemerintahannya. Dan, jika kita tidak memperhitungkan periode krisis global 2008, bahkan mampu mencapai 5,9 persen. Namun, di era Presiden Jokowi, meski telah membangun lebih dari 2.132 km jalan tol dalam sepuluh tahun terakhir, rerata pertumbuhan ekonomi pada 2015-2024 diperkirakan hanya di kisaran 4,2 persen. Andaipun kita keluarkan periode pandemi 2020-2021, rerata pertumbuhan ekonomi di era Jokowi tetap diperkirakan hanya di kisaran 5,1 persen.
Salah satu alasan keterputusan jalan tol dengan kesejahteraan masyarakat di Jawa, terutama petani dan penggarap lahan pertanian, ialah alih fungsi lahan pertanian akibat persaingan proyek komersial non-pertanian yang semakin masif seiring dengan pembukaan jalan tol. Terhubungnya wilayah perdesaan dengan kota inti melalui jalan tol telah menguatkan persaingan memperebutkan lahan perdesaan yang kini harganya meningkat.
Terjangan urbanisasi yang dipicu jalan tol ini bertemu dengan rendahnya kesejahteraan petani, membuat hasil akhir persaingan memperebutkan lahan perdesaan untuk penggunaan pertanian dan non-pertanian sudah dapat dipastikan: alih fungsi lahan, terutama sawah, dan semakin minimnya lahan yang dikuasai petani.
Minimnya lahan yang dikuasai petani Jawa adalah masalah struktural. Lebih dari setengah petani Indonesia hanya memiliki lahan di bawah 0,5 ha, yaitu petani gurem, terutama di Jawa, yang di dalamnya petani dengan lahan kurang dari 0,1 ha tersebar luas. Dalam satu dekade terakhir, jumlah petani gurem di Jawa meningkat. Sepanjang 2013-2023, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) gurem di Jawa meningkat dari 10,2 juta RTUP menjadi 11,2 juta RTUP. Akibatnya, sebagai persentase dari RTUP pengguna lahan, RTUP gurem di Jawa melonjak dari 76,4 persen pada 2013 menjadi 80,8 persen pada 2023.
Fenomena ini berbanding terbalik dengan dekade sebelumnya. Pada periode 2003-2013, jumlah RTUP gurem di Jawa turun drastis dari 14,1 juta RTUP menjadi 10,2 juta RTUP. Hal ini membuat persentase RTUP gurem terhadap RTUP pengguna lahan menurun dari 80,4 persen pada 2003 menjadi 76,4 persen pada 2013. Sepanjang 2003-2013 hanya dibangun 296,2 km jalan tol di seluruh Jawa. Sedangkan sepanjang 2013-2023 setidaknya telah dibangun 1.045,7 km jalan tol di seluruh Jawa.
Melonjaknya jumlah petani gurem di Jawa dalam dekade terakhir terlihat berkorelasi kuat dengan ekspansi jalan tol yang sangat masif di era Jokowi. Ekspansi jalan tol telah membuat persaingan memperebutkan lahan pertanian kian menguat, dengan implikasi akhir yang sudah terprediksi: konversi lahan pertanian dan sawah untuk penggunaan komersial perkotaan.
Meningkatnya jumlah petani gurem di Jawa dalam dekade terakhir menggambarkan tiga fenomena yang menguat sepanjang 2013-2023. Pertama, semakin banyak lahan pertanian yang mengalami alih fungsi sehingga rerata lahan yang dikuasai atau digunakan petani semakin menurun, dari yang awalnya lebih dari 0,5 ha kini turun menjadi kurang dari 0,5 ha. Kedua, semakin banyak petani yang melepas lahan tapi tidak menemukan peluang usaha di sektor non-pertanian sehingga terpaksa bertahan di sektor pertanian sebagai petani gurem.
Ketiga, lemahnya regenerasi dan ketertarikan terhadap pertanian di kalangan anak-anak petani sehingga pewarisan lahan pertanian dari petani ke anak-anaknya menghasilkan luas lahan yang semakin sempit.
Semakin terdesaknya lahan pertanian di Jawa, terutama sawah, terlihat sangat kuat terjadi di daerah yang diterjang urbanisasi seiring dengan dibukanya jalan tol. Pada 2013-2022, kami menganalisis luas sawah di lima daerah yang dilalui ruas tol Ngawi-Solo dan ruas tol Ngawi-Kertosono, yaitu Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kota Madiun, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk. Dari analisis tutupan lahan di lima daerah ini, sejak dibangunnya jalan tol pada 2015 dan beroperasi pada 2018, luas lahan sawah menurun signifikan.
Sepanjang 2013-2018, pembangunan jalan tol sejak 2015, terjadi konversi lahan sawah seluas 14.350 ha di lima daerah ini. Kabupaten yang mengalami kehilangan sawah terbesar adalah Ngawi (7.300 ha), diikuti Madiun (3.940 ha), dan Magetan (2.420 ha). Sedangkan sepanjang 2018-2022, seiring dengan beroperasinya jalan tol sejak 2018, lima daerah ini kembali kehilangan sawah seluas 5.160 ha, dengan sawah yang hilang terluas di Kabupaten Magetan (2.410 ha) dan Kabupaten Nganjuk (2.050 ha). Dengan demikian, seiring dengan dibukanya 122 km jalan tol, lima daerah ini kehilangan 19.510 ha sawah sepanjang 2013-2022, atau setara dengan seluruh sawah di Kabupaten Kudus.
Hilang Sawah Tergerus Tol
Akselerasi pembangunan jalan tol di era Presiden Jokowi dalam sembilan tahun terakhir menyimpan fakta tersembunyi: tergusurnya ribuan hektare area lahan pertanian produktif di Jawa, terutama sawah. Untuk mengukur seberapa besar sawah yang hilang akibat dibukanya jalan tol di Jawa, kami menganalisis tutupan lahan kawasan buffer 5 km tiga ruas tol di Jawa periode 2013-2022, yaitu ruas Ngawi-Kertosono, Solo-Ngawi, dan Pandaan-Malang. Pembukaan ruas tol Ngawi-Kertosono sepanjang 87 km telah memicu hilangnya sawah seluas 6.728 ha pada 2013-2022. Dengan demikian, di ruas tol ini, setiap 1 km jalan tol telah membuat alih fungsi sawah hingga 77 ha.
Adapun dibukanya ruas tol Solo-Ngawi sepanjang 90 km telah memicu hilangnya sawah seluas 12.297 ha pada 2013-2022. Dengan kata lain, di ruas tol ini, setiap 1 km jalan tol telah membuat alih fungsi sawah hingga 137 ha. Sementara itu, pembukaan ruas tol Pandaan-Malang sepanjang 38 km telah memicu hilangnya sawah seluas 6.866 ha pada 2013-2022. Dengan demikian, di ruas tol ini, setiap 1 km jalan tol telah membuat alih fungsi sawah hingga 181 ha.
Terlihat bahwa dibukanya jalan tol segera diikuti dengan ekspansi perkotaan yang deras menggerus area sawah dan lahan pertanian produktif, terutama di sekeliling jalan tol. Dengan perhitungan progresif, yang di dalamnya pembukaan jalan tol paling banyak mengambil lahan pertanian di lokasi paling strategis, yaitu di kawasan buffer 5 km ruas tol, setiap 1 km jalan tol dibangun berpotensi mendorong alih fungsi sawah 77-181 ha.
Untuk mendapat perhitungan yang lebih umum dan konservatif, kami menganalisis perubahan tutupan lahan di seluruh wilayah, tidak hanya di kawasan buffer 5 km ruas tol. Dari analisis tutupan lahan di lima daerah yang dilintasi ruas tol Solo-Ngawi (35 km) dan ruas tol Ngawi-Kertosono (87 km), pembukaan ruas tol sepanjang 122 km telah memicu hilangnya sawah seluas 19.510 ha pada 2013-2022. Dengan demikian, di lima daerah ini, setiap 1 km jalan tol telah membuat alih fungsi sawah hingga 160 ha. Estimasi ini dapat diinterpretasikan sebagai dampak keseluruhan dari dibukanya jalan tol, baik dampak di kawasan buffer 5 km maupun di luar kawasan buffer 5 km ruas tol.
Dengan perhitungan konservatif ini, kami memperkirakan ekspansi jalan tol di seluruh penjuru Jawa sepanjang era Jokowi memiliki dampak yang signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah. Dengan ekspansi pembangunan jalan tol di seluruh Jawa sepanjang 2015-2023 mencapai 1.005 km, dalam perhitungan konservatif, kami memperkirakan konversi lahan sawah di Jawa dapat mencapai 160 ribu ha, setara dengan luas gabungan seluruh lahan sawah di Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen. Dalam jangka panjang, dampaknya berpotensi akan lebih besar lagi.
Arah Kebijakan ke Depan
Kebijakan utama ketahanan pangan yang diadopsi hingga kini adalah ekspansi lahan pertanian baru di lokasi yang tidak strategis secara komersial, terutama di luar Jawa, sebagai pengganti lahan pertanian strategis di Jawa yang telah hilang. Kebijakan ekspansi sawah baru di luar Jawa ini berisiko tinggi jika ditujukan sebagai pengganti sawah Jawa karena kesuburan tanah dan kultur pertanian yang jauh berbeda.
Ketersediaan lahan yang sesuai untuk ekosistem sawah adalah terbatas, dan kini semakin sulit untuk menemukannya. Dibanding tanaman non-pangan, produksi tanaman pangan membutuhkan prasyarat yang jauh lebih ketat, seperti lahan yang subur, iklim yang sesuai, ketersediaan sumber air, serta kontur tanah yang relatif datar. Karena itu, memaksakan pencetakan lahan sawah baru di lokasi yang tidak sesuai membutuhkan investasi yang jauh lebih mahal dan dengan produktivitas yang jauh lebih rendah.
Ancaman terbesar bagi kedaulatan pangan datang dari rendahnya kesejahteraan petani. Sektor pertanian kini semakin tidak populer, semakin ditinggal oleh tenaga kerja muda dan talenta terbaik bangsa. Ketimpangan kepemilikan lahan dan struktur biaya produksi yang tidak efisien menjadi hambatan terbesar dalam mendorong usaha pertanian. Dengan rendahnya hasil dari usaha pertanian, tekanan kompetisi dari sektor lain untuk pemanfaatan sumber daya pertanian pangan sering berakhir dengan alih fungsi sumber daya, terutama lahan dan tenaga kerja. Melindungi lahan sawah yang tersisa, terutama di Jawa, adalah kebijakan yang tidak dapat lagi ditawar.
Pendekatan liberal yang dominan dalam kebijakan pangan saat ini, yang menitikberatkan pada peningkatan produksi pangan dengan memberi prioritas pada “food enterprises” dan akses ke
pasar pangan global melalui impor pangan, telah mendorong hilangnya sawah dan pertanian berskala kecil di Jawa dan berganti dengan sawah dengan pertanian berskala besar ala “food estate”
di luar Jawa. Kebijakan ini salah arah dan berisiko tinggi terhadap ketahanan pangan nasional, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Arah kebijakan utama seharusnya mempertahankan dan mengembangkan pertanian berskala kecil di Jawa. Dengan posisi sebagai lumbung pangan nasional, mempertahankan usaha
pertanian pangan berskala kecil berbasis keluarga (family farming) di Jawa, yang merupakan pelaku utama usaha tanaman pangan nasional, adalah krusial bagi kelangsungan sentra-sentra
tanaman pangan strategis. Arah kebijakan ini tidak hanya akan menjamin ketahanan pangan nasional, tapi juga menurunkan kemiskinan dan kesenjangan secara mengesankan.
Artikel ini merupakan hasil riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang ditulis oleh Direktur IDEAS Yusuf Wibisono dan peneliti IDEAS Sri Mulyani.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/studia/487128/jalan-tol-menggusur-sawah-di-jawa