Sri Mulyani Dikabarkan Tak Masuk Kabinet Prabowo, Ini Kriteria Menteri Keuangan Baru Versi Ekonom

TEMPO.COJakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono merespons soal kabar Sri Mulyani Indrawati tidak akan masuk dalam kabinet Prabowo Subianto, apabila menteri pertahanan itu resmi memenangkan Pilpres 2024. Yusuf mengatakan sosok Sri Mulyani selama ini terkenal sebagai figur dengan integritas dan kredibilitas yang baik, sehingga mendapatkan kepercayaan tinggi dari pelaku pasar dan juga komunitas internasional.

Yusuf menilai, Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan yang non partisan dan lebih banyak dituntun oleh pertimbangan profesional dan argumentasi rasional dalam pembuatan kebijakan. “Ini menjadi kunci dari kepercayaan banyak pihak terhadap Menteri Keuangan. Menurut saya faktor ini tetap akan menjadi syarat utama bagi Menteri Keuangan berikutnya,” ujar Yusuf saat dihubungi Rabu, 21 Februari 2024.

Namun terlepas dari apresiasi banyak pihak atas kepemimpinan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan selama ini. Menurut Yusuf, Sri Mulyani memiliki sejumlah kelemahan mendasar yang menjadi catatan penting bagi figur Menteri Keuangan berikutnya.

Pertama, ia menilai Sri Mulyani gagal meningkatkan penerimaan perpajakan. Hal ini, kata dia, terlepas dari berbagai kebijakan reformasi perpajakan yang digulirkan selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Termasuk tax amnesty dan Undang-Undang 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Serta terkini pengembangan core tax system, kinerja penerimaan perpajakan kita tidak banyak berubah.

Yusuf menjelaskan, tax ratio terkini pada 2023 hanya sebesar 10,23 persen dari produk domestik bruto (PDB). Besarannya bahkan masih lebih rendah dari tax ratio di awal pemerintahan Jokowi pada 2015 yakni 10,76 persen dari PDB. “Kinerja penerimaan perpajakan kita stagnan dalam satu dekade terakhir, jika tidak bisa dikatakan menurun,” ucapnya.

Kedua, ia menyebut Sri Mulyani gagal menahan beban utang pemerintah yang semakin membebani APBN secara signifikan. Imbasnya, menurunkan kemampuan APBN dalam menstimulus perekonomian dan melindungi rakyat miskin. Yusuf menuturkan beban bunga utang terus meningkat dalam 1 dekade terakhir, terutama pasca pandemi yang melejit sangat tinggi.

Bila pada 2015 beban bunga utang di kisaran Rp 150 triliun, tutur Yusuf, kini telah mendekati Rp 500 triliun pada RAPBN 2024. Beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2019 menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020.

Pada 2023 ia memperkirakan rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak masih akan berada di kisaran 20,6 persen. Lalu pada 2024 diproyeksikan di kisaran 21,5%, jauh diatas batas aman di kisaran 7–10 persen.

Dengan demikian, ia menekankan syarat sosok Menteri Keuangan yang terpenting adalah memiliki program dan kapasitas untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan dan menurunkan beban utang pemerintah. Yusuf berujar, Menteri Keuangan berikutnya tidak boleh lagi melanggar disiplin makroekonomi atas nama apa pun.

Di masa pandemi, kata Yusuf, untuk pertama kalinya pasca-krisis 1997, pemerintah melanggar 2 disiplin makroekonomi terpenting. Antara lain melanggar disiplin fiskal berupa batas maksimum defisit anggaran 3 persen dari PDB dan melakukan monetisasi utang pemerintah dengan meminta BI membeli SBN di pasar primer.

Karena itu, Yusuf berharap Menteri Keuangan berikutnya harus mampu menurunkan ketergantungan APBN yang sangat akut pada pembuatan utang baru, terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN.

Di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono atau SBY, penerbitan SBN dari hanya Rp 32,3 triliun pada 2004 melonjak hingga mencapai Rp 439 triliun pada 2014. Sedangkan di era Presiden Jokowi, penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019.

Di masa pandemi, penerbitan SBN melonjak menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. Pasca-pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, tercatat Rp 1.097 triliun pada 2022.

Yusuf pun menilai Menteri Keuangan berikutnya harus mampu meningkatkan penerimaan perpajakan tanpa bergantung pada harga komoditas global. Dia mengatakan penyehatan APBN pasca pandemi banyak terbantu oleh kenaikan harga komoditas global, terutama batu bara dan CPO. Sehingga, tax ratio Indonesia dapat membaik, yaitu dari 8,3 persen dari PDB pada 2020 menjadi 10,2 persen dari PDB pada 2023.

Hanya dengan kenaikan kinerja penerimaan perpajakan yang signifikan, menurut Yusuf, Indonesia akan mampu membuat redistribusi pendapatan dari kelas atas ke kelas bawah-menengah menjadi berjalan lebih cepat dan progesif. Hanya dengan tax ratio yang lebih tinggi, ia pun berpendapat Indonesia akan mampu menurunkan rasio utang pemerintah pada akhir 2023 yang mencapai 38,59 persen dengan nilai absolut utang pemerintah menembus Rp 8.145 triliun.

Selain itu, Yusuf mengatakan Menteri Keuangan berikutnya harus mampu menurunkan beban utang pemerintah yang telah berada pada tingkat yang sangat memberatkan. Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN “baru” di kisaran Rp 300 triliun. Pada 2019, ia mencatat angka ini melonjak menembus Rp 700 triliun dan pasca pandemi, pada 2021, menembus Rp 800 triliun.

Sementara pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp 500 triliun, namun pada 2023 diproyeksikan melonjak mendekati Rp 1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp 1.100 triliun. Yusuf menekankan, bila di era Presiden SBY, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata di kisaran 32,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2005-2014, maka pada 2015-2022, di era Presiden Jokowi, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen.

Sumber :https://bisnis.tempo.co/amp/1836002/sri-mulyani-dikabarkan-tak-masuk-kabinet-prabowo-ini-kriteria-menteri-keuangan-baru-versi-ekonom