Generasi Z dan Milenial Terbanyak Terjerat Kredit Macet Pinjol, Apa Sebabnya?

Ilustrasi Pinjaman Online. Freepix: Lifeforstock

TEMPO.COJakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai tingginya suku bunga menjadi akar masalah fundamental dari maraknya kredit macet pinjaman online atau Pinjol yang menjerat banyak generasi Z dan milenial. Hal ini mengacu pada data yang diungkapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa kelompok usia 19-34 tahun paling banyak mengalami kredit macet Pinjol.

“Kemudahan akses ke pinjol harus dibayar sangat mahal, dikenakannya debitur pinjol dengan suku bunga yang sangat tinggi,” katanya kepada Tempo, Senin, 11 Maret 2024.

Menurut Yusuf, kalangan usia 19 sampai 34 tahun, terutama dari masyarakat kelas bawah seharusnya mendapat bunga rendah. Namun, justru dikenakan bunga yang sangat tinggi. “Inilah yang merupakan alasan utama banyaknya kasus gagal bayar di fintech lending.”

Dia menambahkan, tingkat bunga Pinjol sangat tinggi. Suku bunga dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) hanya 7 persen, karena pemerintah memberi subsidi bunga hingga 10 persen. Sementara itu, suku bunga kredit mikro di bank besar di kisaran 15 sampai 20 persen, sedangkan di keuangan mikro berkisar 30 persen.

Pad industri Pinjol, suku bunga 30 persen justru dikenakan per bulan, bukan per tahun. “Dengan tingkat bunga setinggi itu, akan selalu ada nasabah pinjol dalam jumlah yang signifikan yang akan mengalami gagal bayar,” tuturnya.

Solusi paling fundamental dari masalah kredit macet di Pinjol menurut dia adalah dengan menetapkan pengaturan batas bunga maksimum. Langkah ini krusial untuk mengoreksi bunga yang sangat tinggi dan menjerat banyak kalangan rakyat miskin ke dalam jebakan utang.

Per Januari 2024, OJK telah membatasi suku bunga maksimum Pinjol maksimal 0,1 persen per hari untuk pembiayaan produktif dan maksimal 0,3 peraen untuk pembiayaan konsumtif.

Awalnya, suku bunga Pinjol berkisar 0,8 persen per hari. Menurut Yusuf, suku bunga maksimum 0,8 persen per hari dapat mencapai 24 persen per bulan atau setara 288 persen per tahun. Angka itu akan sangat mencekik peminjam.

Dengan pembatasan suku bunga Pinjol, kata dia, seharusnya akan terjadi perbaikan kualitas kredit dan penurunan kredit macet. Sehingga, konsumen akan terlindungi dan industri lebih sehat.

Suku bunga tinggi akan selalu memperburuk resiko gagal bayar melalui tiga cara. Pertama, suku bunga tinggi membuat beban bunga dan pengembalian utang menjadi lebih berat bagi peminjam. Kedua, suku bunga tinggi telah menarik semakin banyak peminjam berisiko tinggi. Ketiga, suku bunga tinggi memaksa peminjam terlibat dalam aktivitas yang lebih berisiko demi memenuhi pembayaran utang.

“Pembatasan suku bunga maksimum Pinjol oleh OJK akan menurunkan tingkat eksploitasi terhadap peminjam yang umumnya dari kelas bawah,” tuturnya.

Ketika OJK sudah membatasi bunga Pinjol namun kasus gagal bayar masih tinggi, maka ada dua faktor penyebab. Pertama, pembatasan bunga ini terlambat, karena korban sudah terlanjur berjatuhan. Kedua, pembatasan bunga masih kurang progresif.

“Saya melihat tingkat bunga maksimal fintech lending yang ditetapkan OJK ini masih tergolong sangat tinggi, terutama bunga maksimum untuk kredit konsumtif yang 0,3 persen per hari. Setara 9 persen per bulan atau 108 persen per tahun.”

Seharusnya, kata Yusuf, tidak ada perbedaan yang mencolok antara suku bunga maksimum pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Hal ini karena kemampuan membayar kedua segmen pembiayaan ini sebenarnya tidak banyak berbeda. Bahkan, kemampuan membayar nasabah pembiayaan konsumtif lebih rendah dari nasabah pembiayaan produktif.

Dia menambahkan, batas atas suku bunga Pinjol harus diturunkan untuk menurunkan masalah kredit macet. Dalam jangka pendek, bunga maksimum ini menurut dia seharusnya ditetapkan pada kisaran 0,05 persen per hari atau 18 persen per tahun. Angka ini setara dengan tingkat bunga kredit mikro di perbankan.

“Dalam jangka menengah, suku bunga maksimum pinjol seharusnya ditetapkan di kisaran 0,02 persen atau 7 persen per tahun, setara dengan suku bunga KUR.”

Selain suku bunga yang tinggi, ada dua penyebab lain yang mendorong kredit macet pada kelompok usia 19 sampai 34 tahun. Pertama, kalangan usia tersebut sangat fasih dengan gadget dan teknologi informasi terkini. Oleh karena itu, mereka lah yang paling besar terpapar dengan tawaran kredit dari pinjol.

“Tidak heran bila 60 persen peminjam pinjol berasal dari kalangan usia 19 sampai 34 tahun ini,” tuturnya.

Kedua, kelompok usia ini secara umum belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Kalaupun sudah memiliki pekerjaan, tapi belum mapan atau bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang tidak memadai.

Profil seperti itulah yang secara umum membuat mereka sulit mengakses kredit ke perbankan formal. “Inilah yang membuat mereka beralih ke Pinjol yang berani memberikan kemudahan kredit. Sering kali hanya cukup dengan KTP atau Kartu Keluarga, tanpa agunan,” kata Yusuf.

Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1843771/generasi-z-dan-milenial-terbanyak-terjerat-kredit-macet-pinjol-apa-sebabnya