JAKARTA, investor.id – Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia(FEUI) Yusuf Wibisono berpandangan, sebuah kesalahan berfikir ketika perekonomian Indonesia lebih banyak menggantungkan stabilitas eksternal pada langkah The Fed dibandingkan pada kekuatan sendiri yaitu surplus neraca perdagangan.
“Kita sesungguhnya memiliki bantalan ekonomi yang kuat untuk menjaga nilai tukar rupiah, yaitu surplus neraca perdagangan 46 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,” ujar dia kepada Investor Daily, Minggu (24/03/2024).
Sebagai informasi, Gubernur The Federal Rserve (The Fed) Jerome Powell pada Rabu (20/03/2024) waktu setempat menegaskan rencana bank sentral untuk menurunkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali di tahun ini dan menegaskan pertumbuhan ekonomi yang solid akan terus berlanjut.
Data inflasi yang tinggi baru-baru ini tidak mengubah tren pelonggaran tekanan harga-harga secara bertahap di Amerika Serikat (AS). Sesuai perkiraan, The Fed dalam pengumuman hasil pertemuan kebijakan Maret 2023 itu mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 5,25%-5,50%.
Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa The Fed masih memperkirakan terjadi soft landing dari lonjakan inflasi ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir di masa pandemi. Powell pun meminta para pejabat untuk tetap berhati-hati dengan data baru-baru ini demi memastikan tekanan harga terus berkurang.
Powell mengatakan, kapan dimulainya pemangkasan Fed funds rate masih bergantung pada keyakinan para pejabat nantinya bahwa inflasi bakal terus turun menuju target 2% The Fed, meskipun ekonomi AS terus melampaui ekspektasi-ekspektasi yang ada.
Sementara, kata Yusuf, tren pelemahan rupiah telah terjadi sejak Mei 2023 yang kala itu berada di kisaran Rp 14.700 per dolar.
Sejak itu rupiah terus melemah, dengan pelemahan terburuk di Oktober 2023 dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat menembus level Rp 15.900 dan mendekati level psikologis Rp 16.000 per dolar AS.“Kini di akhir Maret 2024 rupiah berada di kisaran Rp 15.700 per dolar AS,” kata dia.
Menurut Yusuf, rupiah yang tidak kunjung menguat ini di satu sisi memang banyak disebabkan karena faktor eksternal, yaitu stance kebijakan moneter negara-negara maju yang terus ketat, terutama The Fed.
“Ketika sepanjang Januari- September 2023 BI cenderung dovish dengan menahan suku bunga acuan di 5,75%, di waktu yang sama The Fed cenderung hawkish dengan menaikkan suku bunga acuan nya hingga 100 bps, dari 4,5% di Januari 2023 menjadi 5,5% pada September 2023,” papar dia.
Sehingga, lanjut dia, dengan selisih imbal hasil yang menyempit, pilihan investasi di luar negeri menjadi lebih menarik, sehingga memicu capital outflow yang kemudian mendorong pelemahan rupiah
BI, kata dia, sebenarnya segera merespon dengan menaikkan suku bunga acuan 25 bps ke tingkat 6%.
“Namun dengan ekspektasi pasar bahwa suku bunga di negara maju yang masih akan terus tinggi ke depan higher for longer membuat tekanan kepada arus modal keluar dan pelemahan Rupiah masih terus terjadi hingga kini,” kata Yusuf.
“Ketika kini di 2024 era hawkish The Fed diperkirakan akan berakhir dimana suku bunga acuan the Fed diproyeksikan akan mengalami penurunan hingga 3x hingga akhir 2024, menurut saya hal ini belum cukup untuk memberi keyakinan bagi bank sentral lain, termasuk BI, untuk menurunkan suku bunga. Situasi inflasi global menurut saya masih akan dinamis pada 2024, terutama harga energi dan komoditas,” lanjutnya.
Konversi DHE SDA ke Rupiah
Konflik geopolitik terutama perang Rusia-Ukraina dan perang di Timur Tengah masih menjadi sumber ketidakpastian terbesar yang sewaktu-waktu berpotensi melonjakkan harga komoditas global, yang seketika dapat merontokkan skenario penurunan The Fed Rate di 2024 ini. Secara singkat, Yusuf menilai era suku bunga tinggi belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Namun sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan sedemikian panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar. Pelemahan rupiah sebenarnya adalah anomali karena hingga Februari 2024 ini RI masih mencatatkan surplus neraca perdagangan dalam 46 bulan berturut-turut.
“Sepanjang tahun 2023, surplus neraca perdagangan kita mencapai US$ 36,9 miliar. Maka ketika Rupiah melemah di sepanjang 2023, terutama sejak Mei 2023 hingga kini, hal ini secara jelas mengindikasikan kegagalan kebijakan kewajiban repatriasi devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA).
Menurut dia enforcement kebijakan kewajiban repatriasi DHE SDA adalah krusial. Menjadi amat tidak bermoral ketika surplus neraca perdagangan RI yang demikian besar namun tidak kembali ke dalam negeri sehingga rupiah melemah. BI bahkan meluncurkan term deposit valas DHE SDA dengan suku bunga yang kompetitif dibandingkan suku bunga deposito valas di bank luar negeri.
Cadangan valas di Maret 2023, ketika term deposit valas DHE diluncurkan, mencapai US$ 145,2 miliar. Namun di September 2023 cadangan valas tinggal US$ 134,9 miliar. Kini di Februari 2024 cadangan valas pulih di kisaran US$ 144,0 miliar.
Untuk stabilitas Rupiah ke depan, lanjut dia, alih-alih memperkenalkan dan bergantung ke instrumen baru seperti SRBI atau menaikkan suku bunga acuan, menurut dia sebaiknya BI lebih mendorong enforcement kewajiban repatriasi DHE SDA, bahkan BI telah memberikan bunga yang tinggi untuk instrumen term deposit valas DHE.
Antara Maret 2023, ketika term deposit valas DHE diluncurkan, sampai September 2023, cadangan valas turun US$ 10,3 miliar.
Padahal di saat yang sama, surplus neraca perdagangan mencapai US$ 18,5 miliar. Kewajiban repatriasi DHE SDA gagal memasok US dollar di pasar dalam jumlah memadai sehingga rupiah terus melemah.
“Seiring kejatuhan harga komoditas global terutama sawit dan nikel, kita berpotensi tidak memiliki kemewahan surplus neraca perdagangan lagi ke depan,” katanya.
Hal ini terlihat dari tanda-tandanya dalam 5 bulan terakhir ini. Bila surplus neraca tertinggi terjadi pada April 2022 yaitu US$ 7,6 miliar, maka surplus neraca perdagangan di Oktober 2023 hanya US$ 3,5 miliar, November 2023 turun US$ 2,4 miliar, Desember 2023 sempat naik US$ 3,3 miliar, namun Januari 2024 hanya US$ 2,0 miliar dan Februari 2024 anjlok hanya US$ 0,9 miliar.
Pemerintah dan BI memiliki potensi besar menguatkan nilai tukar rupiah dan menjauhkannya dari batas psikologis Rp 16 ribu. Dengan nilai tukar rupiah kini di kisaran 15.700 maka kejatuhan nilai tukar rupiah berpotensi dengan cepat menyeret rupiah ke batas psikologis Rp 16 ribu.
“Jika itu terjadi, menurut saya hal itu akan membahayakan perekonomian nasional. Sektor-sektor yang masih banyak bergantung pada impor akan terpukul mulai dari industri manufaktur, industri makanan dan minuman hingga sektor kesehatan. Di hilir, masyarakat akan terkena kenaikan harga-harga mulai dari produk elektronik, otomotif, obat-obatan hingga gandum, kedelai dan susu,” ujarnnya.
APBN juga akan terpengaruh terutama dari kenaikan beban subsidi BBM, LPG dan Listrik, dan juga beban pembayaran utang luar negeri. Di APBN 2023, asumsi nilai tukar Rupiah adalah 15.000 per US$. Setiap pelemahan rupiah sebesar 100 poin terhadap US$ berpotensi meningkatkan beban APBN hingga Rp 10 triliun.
Namun pelemahan rupiah juga berpotensi meningkatkan penerimaan perpajakan hingga Rp 4 triliun. Secara keseluruhan pelemahan rupiah 100 poin terhadap US$ berpotensi meningkatkan defisit anggaran hingga Rp 6 triliun.
Dengan tanda-tanda melemahnya surplus neraca perdagangan Yusuf mendorong pemerintah dan BI segera bergegas menegakkan kewajiban konversi DHE SDA ke rupiah.
Hal ini diyakininya akan mendorong pasokan dolar secara signifikan. Penguatan rupiah sebagai hasil enforcement kewajiban repatriasi dan konversi DHE ini membuka ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan tanpa bergantung pada langkah The Fed,” katanya.
Sumber :https://investor.id/macroeconomy/surplus-neraca-perdagangan-jadi-bantalan-ekonomi-yang-kuat-untuk-menjaga-nilai-tukar-rupiah