TEMPO, JAKARTA – Sekilas obligasi daerah tampak menjanjikan sebagai solusi untuk mendanai pembangunan infrastruktur dengan memanfaatkan dana dari pasar keuangan. Namun di balik rencana itu ada risiko besar yang mengintai, terutama potensi gagal bayar.
Contoh yang membikin miris itu ada di beberapa negara. Di Cina, misalnya, penerbitan obligasi daerah yang terlampau jorjoran menyebabkan peningkatan eksposur utang secara masif. Kementerian Keuangan Cina mengumumkan obligasi yang diterbitkan pemerintah daerah hingga akhir 2023 mencapai 3,96 triliun yuan atau setara dengan Rp 8,66 kuadriliun. Jumlah itu telah melebihi kuota, yang membatasi obligasi daerah hanya boleh maksimal 3,8 triliun yuan. Kini muncul pertanyaan mengenai kemampuan pemerintah Cina menyelesaikan seluruh kewajiban dan menjaga defisit anggaran tak melebihi 3 persen dari produk domestik bruto.
Hal lebih buruk terjadi pada Argentina yang terbenam dalam kebangkrutan, antara lain karena gagal bayar obligasi pemerintah daerah pada 2019. Kala itu eksposur utang Argentina secara keseluruhan melonjak hingga tiga kali lipat hingga membutuhkan negosiasi dan restrukturisasi yang masih berlangsung hingga saat ini. Di Amerika Serikat, kasus gagal bayar obligasi daerah terjadi di Detroit, yang menjadi wanprestasi terbesar sepanjang sejarah. Pemerintah Detroit gagal membayar imbal hasil dan pokok obligasi daerah jatuh tempo senilai US$ 8,4 miliar pada 2013.
Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menyayangkan rencana penerbitan obligasi yang masih berdiri di atas kegagalan reformasi keuangan daerah. “Sekitar 75 persen APBD selama ini habis untuk birokrasi, seperti belanja pegawai dan belanja barang,” ucapnya. Yusuf menilai kondisi ini tak sehat karena mempersempit ruang APBD untuk mendorong pembangunan infrastruktur daerah.
Karena itu, kata Yusuf, obligasi hanya menjadi pilihan jika daerah tersebut sudah mereformasi anggaran dan birokrasi. “Obligasi daerah hanya menjadi jalan pintas untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan utang. Jika ini menjadi pilihan, kita akan mengulang kisah yang sama seperti pemerintah pusat,” ujarnya.
Yusuf juga mengingatkan bahwa penerbitan obligasi daerah bukan tanpa biaya. Pemerintah daerah dihadapkan pada biaya “meminjam” dana investor di pasar keuangan dengan acuan atau benchmark imbal hasil alias yield obligasi pemerintah pusat. Menurut dia, jika tingkat yield pemerintah pusat saat ini dikatakan berada di kisaran 7 persen, kupon obligasi daerah bisa mencapai 10 persen. “Dengan beban yang setara dengan bunga utang komersial tersebut, risiko obligasi daerah pada APBD tak bisa diremehkan,” tuturnya.
Sumber :https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/171298/aturan-obligasi-daerah