Pengganjal Target Investasi Prabowo-Gibran

KORANTEMPO, JAKARTA – PEMERINTAH membutuhkan investasi senilai Rp 7.329,28 triliun hingga Rp 7.417,86 triliun pada 2025 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 5,3-5,6 persen. Merujuk rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah 2025, pemerintah menggantungkan realisasi investasi ini kepada badan usaha swasta dan masyarakat.

Sebesar 87-88 persen dari kebutuhan investasi berasal dari kredit perbankan, penerbitan saham, penerbitan obligasi korporasi, serta dana internal masyarakat. Sementara itu, investasi pemerintah hanya 7-8 persen dan investasi badan usaha milik negara atau BUMN lebih kecil lagi, di kisaran 4 persen.

Khusus untuk penanaman modal asing dan dalam negeri, pemerintah mematok target investasi dari Rp 1.868,2 triliun hingga Rp 1.905,6 triliun. Angkanya naik sekitar 15 persen dari target investasi tahun ini yang sebesar Rp 1.650 triliun. Sementara itu, jika dibanding realisasi investasi tahun lalu yang sebesar Rp 1.418,9 triliun, ada lonjakan hingga 34 persen.

Target investasi yang terus meningkat ini, menurut Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono, berkaitan dengan kondisi ekonomi global yang masih lesu. Dengan proyeksi resesi global, satu motor pertumbuhan ekonomi dipastikan akan sulit diandalkan, yaitu ekspor. Itulah sebabnya investasi menjadi andalan untuk mendongkrak ekonomi.

Efisiensi Rendah karena Korupsi

Kendaraan melintas di jalan tol Semarang-Batang, Jawa Tengah, 9 April 2024. ANTARA/Aprillio Akbar

Yusuf berujar akar dari target investasi yang makin tinggi adalah rendahnya efisiensi penggunaan kapital dalam perekonomian. Tandanya terlihat dari incremental capital-output ratio atau ICOR yang tinggi. Makin tinggi ICOR, makin besar kapital yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 persen pertumbuhan ekonomi.

ICOR Indonesia pada era Presiden Joko Widodo berada di kisaran 6,8. Angkanya memburuk dibanding pada era pemimpin sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang berada di kisaran 5,0. Pada era Orde Baru sebelum krisis pada 1997, ICOR Indonesia berada di kisaran 4.

“Hal ini yang menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5 persen meski sedang berada dalam masa bonus demografi dan pembangunan infrastruktur sangat masif,” tutur Yusuf, kemarin.

Yusuf menjabarkan, porsi investasi mencapai 30 persen dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada era Presiden Soeharto ataupun 10 tahun terakhir ini. Namun pertumbuhan ekonomi pada era Orde Baru mampu mencapai 7-8 persen. Sementara itu, selama era Presiden Jokowi pertumbuhan ekonomi hanya bergerak di angka 4-5 persen.

Angka ICOR tinggi karena berbagai faktor. Salah satunya ialah ekonomi biaya tinggi akibat korupsi dan pungutan liar. Akibatnya, pebisnis harus mengeluarkan biaya besar untuk memulai dan menjalankan usaha.

Belanja modal dan pembangunan infrastruktur juga dinilai tidak efisien karena didominasi skema penugasan ke perusahaan pelat merah, dengan pembiayaan utama berbasis utang dan diwarnai tata kelola yang buruk. Belum lagi infrastruktur yang dibangun sebagian besar minim dampak terhadap efisiensi perekonomian. Contohnya ialah jalan tol di Pulau Jawa yang tidak membantu kinerja logistik karena mahal dan tak banyak menghemat waktu.

Faktor lainnya adalah inefisiensi dalam pembiayaan. Perbankan mendominasi pembiayaan dunia usaha, tapi dengan net interest margin atau pendapatan bunga bersih yang tinggi. Dampaknya, belanja modal pemerintah dan badan usaha menjadi lebih mahal.

 Waspada Target Ambisius

Yusuf mengatakan target investasi yang terlalu tinggi berbahaya. “Hal tersebut akan membuat kita cenderung terlalu mudah memberi berbagai insentif yang bebannya akhirnya ditanggung APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).”

Obsesi berlebihan pada investasi juga punya efek lain. Indonesia sudah terseret dalam jebakan investasi berkualitas rendah, yaitu investasi ke sektor ekstraktif yang lebih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Yusuf mencontohkan, minat terbesar penanaman modal asing dalam beberapa tahun terakhir ini tertuju pada industri logam dasar dan pertambangan. Adapun porsi penanaman modal dalam negeri lebih besar di pertambangan.

Investasi di aktivitas seperti penghiliran tambang memang padat modal. Namun penyerapan tenaga kerjanya rendah. “Masih pula menggunakan tenaga kerja asing dalam jumlah besar,” ujar Yusuf. Belum lagi jika harus menghitung dampaknya pada lingkungan.

Urusan penyerapan tenaga kerja ini mendatangkan masalah tersendiri. Tingginya investasi selama ini tidak dibarengi dengan tambahan lapangan kerja. Pada 2013, setiap Rp 1 triliun investasi mampu menyerap 4.594 tenaga kerja. Satu dekade kemudian, pada 2023, setiap Rp 1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.283 tenaga kerja.

Untuk menghindari risiko ini, Yusuf berpendapat, pemerintah perlu berfokus pada penguatan kembali daya saing sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan berbasis petani, peternak, serta nelayan rakyat skala keluarga. “Dan pada saat yang sama mendorong penghiliran pertanian, perkebunan, perikanan, serta peternakan,” katanya.

Industrialisasi berbasis kebutuhan penduduk yang besar seperti Indonesia ini, menurut Yusuf, akan jauh lebih berkelanjutan dalam menciptakan lapangan kerja dan lebih mensejahterakan rakyat dibanding bergantung pada pasar ekspor yang cenderung fluktuatif.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/488241/target-investasi-prabowo-gibran-2025