KORANTEMPO, JAKARTA – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies atau Ideas Yusuf Wibisono menganggap rencana kenaikan tarif KRL memprihatinkan. Dia mengungkapkan perubahan tarif tidak tepat dilakukan di tengah rendahnya daya beli masyarakat serta bertentangan dengan tujuan menekan kemacetan di perkotaan.
Yusuf mengatakan KRL adalah sarana transportasi massal yang ditujukan untuk publik secara umum tanpa membedakan kelas ekonomi. Dia menegaskan, keberadaan KRL sebagai transportasi massal yang andal, aman, dan terjangkau sangat krusial untuk efisiensi sektor transportasi. Termasuk untuk menekan kemacetan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya kelas bawah dan menengah.
Seharusnya, ujar Yusuf, subsidi KRL digelontorkan makin besar seiring dengan upaya menekan kemacetan, menghemat subsidi bahan bakar minyak, dan transisi energi menuju net zero emission. “Sebuah kesalahan fatal jika penumpang KRL justru mendapat disinsentif berupa kenaikan tarif,” kata Yusuf.
Ia berpendapat semua penumpang KRL berhak mendapatkan pelayanan transportasi massal dengan tarif tiket yang setara sebagai bentuk pelayanan publik, bahkan bagi masyarakat yang mampu sekalipun. Makin banyak masyarakat kelas menengah ke atas yang menggunakan KRL, menurut dia, akan makin besar keuntungan bagi masyarakat dan perekonomian.
Subsidi tiket KRL, menurut Yusuf, justru harus ditingkatkan yang diiringi dengan peningkatan kapasitas dan daya angkut KRL. Tujuannya agar makin banyak masyarakat yang menggunakan KRL, apa pun kelas ekonomi mereka.
Pengalihan Subsidi Kendaraan Listrik
Ihwal besaran subsidi untuk angkutan kereta, Yusuf berujar, kebijakan saat ini masih salah arah. Misalnya pemberian subsidi bagi kendaraan listrik yang justru hanya akan dinikmati kelas menengah-atas. Besaran subsidi sepeda motor dan mobil listrik pada 2023 mencapai Rp 3,35 triliun, sedangkan subsidi PSO kepada PT KAI (Persero) hanya berkisar Rp 3 triliun per tahun dengan kecenderungan menurun.
Ia menyatakan seharusnya subsidi PSO untuk KAI terus ditambah, antara lain dengan menghapus subsidi kendaraan listrik dan mengalihkan anggarannya untuk subsidi PSO KAI. Jika subsidi kendaraan listrik 2023 senilai Rp 3,35 triliun dialihkan, subsidi PSO PT KAI akan melonjak lebih dari dua kali lipat.
Yusuf mengkritik arah pengembangan transportasi massal perkotaan yang justru diarahkan ke MRT, LRT, ataupun kereta cepat dengan meninggalkan KRL. Padahal MRT, LRT, dan kereta cepat adalah transportasi publik yang mahal dengan daya angkut terbatas. Subsidi tiket MRT dan LRT oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencapai Rp 1 triliun per tahun. Adapun penumpang MRT hanya di kisaran 70 ribu orang per hari dan LRT di kisaran 2.000 orang per hari. Sementara itu, jumlah penumpang KRL Jabodetabek mencapai 1 juta orang per hari.
Dia memperkirakan subsidi untuk setiap penumpang MRT dan LRT lima kali lipat lebih tinggi dibanding subsidi untuk setiap penumpang KRL. “Arah kebijakan pemerintah makin tidak jelas, diskriminatif, dan tidak berkeadilan,” ujar Yusuf.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/488348/dampak-kenaikan-tarif-krl